Dalam al-Qur’an dinarasikan bahwa Bani Israel pernah diserang besar-besaran oleh dua bangsa. Mereka diserang sebagai akibat dari kecongkakan dan kerusakan yang mereka lakukan di muka bumi. Penyerangan ini menghancurkan secara total bangsa Israel, termasuk bangunan megah yang pernah didirikan oleh nabi Sulaiman. Bangunan besar dan megah ini dihancurkan oleh bangsa Persia. Ibnu Khaldun menuturkan:
ثم خربه بختنصر بعد ثمانمائة سنة من بنائه وحرق التوراة والحصا وسبك الهياكل ونثر الأحجار. ثم أعادهم ملوك الفرس
“Kelak Masjid itu dihancurkan oleh Nebukadnezar, setelah delapan ratus tahun berdiri. Nebukadnezar membakar Taurat, tongkat milik Nabi Musa, melelehkan efigi-efigi, dan memporak-porandakan batuan-batuannya. Kemudian para penguasa Persia mengizinkan Bani Israil kembali ke Yerusalem.”
Istilah Masjid dalam kata yang dipilih Ibnu Khaldun di atas tidak selalu harus diterjemahkan dalam pengertian masjid yang kita pahami saat ini, yakni tempat peribadatan umat Islam. Masjid dalam bahasa Arab klasik bisa juga berarti kuil, gereja, sinagog dan sebutan untuk tempat peribadatan lainnya. Masjid al-Aqsha yang merupakan sebutan orang Arab baik di era Jahiliyyah maupun di era Islam sebenarnya adalah tempat peribadatan Yahudi (yang kemudian pernah juga menjadi kiblatnya Islam). Karena itu di Barat masjid ini disebut juga sebagai Solomon Temple atau Kuil Sulaiman.
Tempat peribadatan orang Yahudi yang sangat megah dan besar itu hanya berumur delapan ratus tahun. Di era penyerangan Nebukadnezar dari Persia, sinagog besar tersebut dihancur leburkan. Bahkan Taurat pun dibakar total sehingga dalam hal ini banyak orang Yahudi yang tidak mengenal ajaran leluhur mereka.
Kendati demikian, Tuhan mengutus Uzair yang merestorasi ajaran Taurat dan bahkan menulisaknnya kembali dalam bahasa Ibrani secara lengkap. Jadi perjanjian lama yang sekarang digunakan oleh orang-orang Yahudi tidak lain adalah penulisan ulang yang dilakukan oleh Uzair atau Ezra. Ezra juga dalam catatan Ibnu Khaldun disebut sebagai orang yang membangun kembali Kuil Sulaiman tersebut kendati tidak semegah seperti sebelum di zaman Nabi Sulaiman.
Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun melanjutkan penuturannya mengenai sejarah Masjid al-Aqsha ini:
بناه عزير نبي بني إسرائيل لعهده بإعانة بهمن ملك الفرس الذي كانت الولاية لبني إسرائيل عليه من سبي بختنصر وحد لهم في بنيانه حدودا دون بنائ سليمان بن داود عليهما السلام فلم يتجاوزوها….
“Uzair (Ezra) seorang Nabi dari Bani Israil saat itu membangun kembali Masjid Aqsha dengan bantuan penguasa Persia bernama Bahman (Artaxerxes) yang dalam kekuasaannya berhutang budi kepada Bani Israil yang sebelumnya digiring sebagai tawanan (di Babilonia) oleh Nebukadnezar. Bahman menetapkan batasan-batasan pembangunan kembali Masjid Aqsha dan membuatnya menjadi bangunan yang lebih kecil daripada yang ada di masa Nabi Sulaiman. Bani Israil tidak mau melanggar ketentuan seperti itu…”
Pasca wafatnya Ezra atau Uzair, banyak bangsa yang menaklukan Bani Israil secara bergantian. Bani Israil pernah dijajah oleh Yunani, Persia dan Romawi. Kendati sudah dibangun kembali di masa Ezra/Uzair, Bait al-Maqdis ini hanya simbol dari otoritas keagamaan dan tidak lebih dari itu. Hal ini jelas berbeda dengan yang terjadi di masa nabi Sulaiman dimana sinagog besar Yahudi ini tidak hanya mencerminkan otoritas agama namun juga otoritas politik.
Kendati demikian, otoritas agama dan otoritas politik ingin dikembalikan lagi di masa Herodus. Hal demikian seperti yang dapat kita lihat pada penjelasan Ibnu Khaldun:
ثم تداولتهم ملوك يونان والفرس والروم واستفحل الملك لبني إسرائيل في هذه المدة ثم لبني حشمناى من كهنتهم ثم لصهرهم هيرودس ولبنيه من بعده. وبنى هيرودس بيت المقدس على بناء سليمان عليه السلام وتأنق فيه حتى أكمله في ست سنين
“Bangsa Yunani, Persia dan Romawi silih berganti menguasai Bani Israil. Selama masa itu, wewenang memerintah yang leluasa dimiliki Bani Israil kemudian dilakukan oleh para pendeta Yahudi, Kaum Hasmonean. Kaum Hasmonean sendiri kemudian diganti oleh Herodus yang memiliki hubungan perkawinan dengan mereka, Kemudian diteruskan oleh anak-anak Herodus. Herodus membangun kembali Masjid Aqsha dengan sangat megah dengan mengikuti ancangan Nabi Sulaiman. Ia menyelesaikan pembangunan tersebut dalam jangka enam tahun.”
Kendati demikian, di tahun 70 masehi, bangunan megah ini diluluhlantakan kembali oleh Titus dari Romawi. Ibnu Khaldun secara singkat menjelaskan demikian:
فلما جاء طيطس من ملوك الروم وغلبهم وملك أمرهم خرب بيت المقدس ومسجدها، وأمر أن يزرع مكانه
“Kemudian Titus, salah seorang penguasa Romawi muncul dan mengalahkan bangsa Yahudi serta menguasai negeri mereka. Titus (tahun 70 Masehi) menghancurkan Yerusalem dan Masjid Aqsha yang ada di sana. Tempat bekas berdirinya kuil Sulaiman tersebut ia perintahkan untuk diubah menjadi ladang.”
Al-Qur’an menyebut penyerangan Titus terhadap Bani Israil ini sebagai wa’dul akhirah. Hal demikian dilakukan sebagai balasan atas kecongkakan mereka di muka bumi sehingga Tuhan murka terhadap mereka dan karena itu Tuhan mengutus Titus untuk menghancurkan Bani Israel. Bangunan Bait al-Maqdis dan Masjid al-Aqsha ini diratakan seperti tanah. Kendati demikian, masih ada sisa-sisa bangunannya, terutama Karang Suci, tempat persinggahan Nabi dalam melanjutkan perjalanan Mi’rajnya menuju Sidratul Muntaha.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana nasib Masjid al-Aqsha pasca penyerangan besar-besaran oleh Kaisar Titus?
Masjid al-Aqsha hanya tinggal puing-puingnya saja. Bahkan di Era Konstantin, sisa-sisa bangunan masjid ini hanya Karang Suci, tembok ratap dan beberapa puing lainnya. Kelak oleh Helena bekas Karang Suci ini dijadikan tempat sampah dan kotoran.
Kita akan perjelas lebih jauh bagaimana nasib Masjidil Aqsha di tangan orang-orang Kristen. Tentu kita akan masih membahasnya dalam bingkai deskripsi kesejarahan yang dikemukakan Ibnu Khaldun dalam kitabnya yang terkenal, al-Muqaddimah.