Sebelum mengulas sejarah penggunaan cadar (Arab: niqab) dalam Islam pertama kali yang harus ditegaskan di sini adalah bahwa cadar sebelum Islam datang sudah digunakan oleh perempuan di wilayah “gurun pasir”.
Cadar di Masa Pra Islam
Abdul Halim Abu Syuqqah dalam An-Niqab fi Syariat al-Islam, (2008: 48) menyatakan bahwa niqab merupakan bagian dari salah satu jenis pakaian yang digunakan oleh sebagian perempuan di masa Jahiliyyah. Kemudian model pakaian ini berlangsung hingga masa Islam. Nabi Muhammad SAW tidak mempermasalahkan model pakaian tersebut, tetapi tidak sampai mewajibkan, menghimbau ataupun menyunahkan niqab kepada perempuan. Andaikan niqab dipersepsikan sebagai pakaian yang dapat menjaga marwah perempuan dan “wasilah” untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka -sebagaimana klaim sejumlah pihak- niscaya Nabi Muhammad SAW akan mewajibkannya kepada isteri-isterinya yang dimana mereka (isteri-isteri Nabi) adalah keluarga yang paling berhak untuk dijaga oleh Nabi. Namun justru Nabi tidak melalukannya. Juga tidak berlaku bagi sahabat-sahabat perempuan Nabi. Hal ini merupakan bukti bahwa niqab -meskipun terus ada hingga di masa Islam- hanyalah sebatas jenis pakaian yang dikenal dan dipakai oleh sebagian perempuan. Kemudian bagi ummahat al-mukminin (isteri-isteri Nabi) memiliki perbedaan dimana mereka dikhususkan atas kewajiban mengenakan hijab di dalam rumah dan menutup semua badan dan wajahnya ketika keluar dari rumah sebagai bentuk memperluas hijab yang diwajibkan di dalam rumah.
Cadar dalam Sejarah Umat Islam
Niqab atau cadar hanyalah bagian dari pakaian yang dikenakan oleh sebagian perempuan Arab dari baik Pra Islam (sebagaimana penjelasan di atas) maupun setelahnya. Tidak ada perintah khusus mengenai pakaian ini, baik kewajiban maupun kesunahannya. (lebih lengkap baca dalam Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr ar-Risalah, vol. IV, hal. 220)
Diriwayatkan dari Abdullah ibn Umar ra bahwa ia berkata, “Ketika Nabi Muhammad SAW menikahi Shafiyyah, beliau melihat Aisyah mengenakan niqab di tengah kerumunan para sahabat dan Nabi mengenalnya.” (Ibn Sa’d, thabaqat)
Dalam hadis riwayat Ibn Majah yang diinformasikan dari Aisyah, bahwa ia berkata, “Pada saat Nabi SAW sampai di Madinah -dimana saat itu beliau menikahi Shafiyyah binti Huyay- perempuan-perempuan Anshar datang mengabarkan tentang kedatangan Nabi. Lalu saya (Aisyah) menyamar dan mengenakan niqab kemudian ikut menyambutnya. Lalu Nabi menatap kedua mataku dan mengenaliku. Aku memalingkan wajah sembari menghindar dan berjalan cepat, kemudian Nabi menyusulku”. (HR. Ibnu Majah)
Dari riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa niqab sebagai salah satu bentuk atau jenis pakaian di masa awal Islam memang sudah ada. Hanya saja pakaian ini terbilang cukup langka dalam kehidupan sosial umat Islam (perempuan) baik di Makkah maupun Madinah. Oleh karenanya, dalam riwayat-riwayat tersebut dalam rentetan redaksi kata “niqab” hampir selalu terdapat kata “tanakkur” (menyamarkan diri dari orang lain). Hal ini juga bisa dimaknai bahwa ummahatul mukminin menutup wajah mereka dari khalayak umum dengan menggunakan penutup lain (selain niqab) seperti ujung jilbabnya. Di sisi lain kata “tanakkur” yang terdapat dalam redaksi riwayat-riwayat di atas juga sangat dimungkinkan menunjukkan makna bahwa pakaian yang digunakan oleh isteri Nabi adalah pakaian yang tidak biasa. Jadi, niqab yang disebutkan dalam redaksi riwayat di atas adalah sebuah wasilah untuk “tanakkur” dimana pakaian tersebut pakaian khusus yang digunakan oleh sejumlah perempuan Arab pra Islam saat keluar dari Makkah ataupun Madinah. Dan itu sangat sedikit dan jarang.
Hukum Memakai Cadar
Perdebatan para sarjana fikih mengenai hukum penggunaan cadar memiliki keterkaitan dengan persoalan batas aurat bagi perempuan. Dari sini khilafiyyah mengenai hal ini tidak bisa dihindari. (Ramadhan Buthi, ila kulli fatat tu’min billah, Damaskus: Maktabah Al-Farabi, tt, hal. 30)
Meski demikian, dalam tataran praksisnya penggunaan cadar tidak bisa dilepaskan konteks sosial-budaya masyarakat setempat. Artinya, penggunaan cadar di sebuah daerah yang memiliki kultur yang cocok dengan pakaian tersebut tidak menjadi sebuah masalah. Sebaliknya, penggunaan cadar di daerah lain dengan kultur yang berbeda dengan kultur Arab, misalnya Indonesia, yang sejauh pembacaan saya tidak memiliki tradisi penggunaan cadar bagi perempuan, hukum mewajibkan penggunaan cadar adalah makruh. Hal ini sebagaimana pendapat dalam madzhab Malikiyyah.
(الشرح الكبير للشيخ الدردير وحاشية الدسوقي (1/ 218
(وَ) كُرِهَ (انْتِقَابُ امْرَأَةٍ) أَيْ تَغْطِيَةُ وَجْهِهَا بِالنِّقَابِ وَهُوَ مَا يَصِلُ لِلْعُيُونِ فِي الصَّلَاةِ لِأَنَّهُ مِنْ الْغُلُوِّ وَالرَّجُلُ أَوْلَى مَا لَمْ يَكُنْ مِنْ قَوْمٍ عَادَتُهُمْ ذَلِكَ
Makruh bagi seorang perempuan menutup wajahnya dengan niqab –sesuatu yang menutupi mata- saat melakukan salat, karena hal itu termasuk berlebih-lebihan (ghuluw) –lebih-lebih bagi laki-laki-. Kemakruhan ini berlaku selama penggunaan niqab bukan bagian dari adat atau tradisi setempat. (Syaikh Addardiri, Syarah al-Kabir, vol. I, hal. 218)
(قَوْلُهُ: وَانْتِقَابُ امْرَأَةٍ) أَيْ سَوَاءً كَانَتْ فِي صَلَاةٍ أَوْ فِي غَيْرِهَا كَانَ الِانْتِقَابُ فِيهَا لِأَجْلِهَا أَوْ لَا (قَوْلُهُ: لِأَنَّهُ مِنْ الْغُلُوِّ) أَيْ الزِّيَادَةِ فِي الدِّينِ إذْ لَمْ تَرِدْ بِهِ السُّنَّةُ السَّمْحَةُ (قَوْلُهُ: وَالرَّجُلُ أَوْلَى) أَيْ مِنْ الْمَرْأَةِ بِالْكَرَاهَةِ (قَوْلُهُ: مَا لَمْ يَكُنْ مِنْ قَوْمٍ عَادَتُهُمْ ذَلِكَ) أَيْ الِانْتِقَابُ فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَادَتُهُمْ ذَلِكَ كَأَهْلِ نَفُوسَةَ بِالْمَغْرِبِ فَإِنَّ النِّقَابَ مِنْ دَأْبِهِمْ وَمِنْ عَادَتِهِمْ لَا يَتْرُكُونَهُ أَصْلًا فَلَا يُكْرَهُ لَهُمْ الِانْتِقَابُ إذَا كَانَ فِي غَيْرِ صَلَاةٍ وَأَمَّا فِيهَا فَيُكْرَهُ وَإِنْ اُعْتِيدَ كَمَا فِي المج (قَوْلُهُ: فَالنِّقَابُ مَكْرُوهٌ مُطْلَقًا) أَيْ كَانَ فِي الصَّلَاةِ أَوْ خَارِجَهَا سَوَاءٌ كَانَ فِيهَا لِأَجْلِهَا أَوْ لِغَيْرِهَا مَا لَمْ يَكُنْ لِعَادَةٍ وَإِلَّا فَلَا كَرَاهَةَ فِيهِ خَارِجَهَا بِخِلَافِ تَشْمِيرِ الْكُمِّ وَضَمِّ الشَّعْرِ فَإِنَّهُ إنَّمَا يُكْرَهُ فِيهَا إذَا كَانَ فِعْلُهُ لِأَجْلِهَا وَأَمَّا فِعْلُهُ خَارِجَهَا أَوْ فِيهَا لَا لِأَجْلِهَا فَلَا كَرَاهَةَ فِيهِ وَمِثْلُ ذَلِكَ تَشْمِيرُ الذَّيْلِ عَنْ السَّاقِ فَإِنْ فَعَلَهُ لِأَجْلِ شُغْلٍ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ
فَصَلَّى الصَّلَاةَ وَهُوَ كَذَلِكَ فَلَا كَرَاهَةَ وَظَاهِرُ الْمُدَوَّنَةِ عَادَ لِشُغْلِهِ أَمْ لَا وَحَمَلَهَا الشَّبِيبِيُّ عَلَى مَا إذَا عَادَ لِشُغْلِهِ وَصَوَّبَهُ ابْنُ نَاجِيٍّ.
Ad-Dasuqi memberikan penjelasan atas pendapat Ad-Dardidiri sebelumnya bahwa kemakruhan penggunaan cadar bukan hanya di dalam salat, tetapi juga di luar salat.
Wallahu A’lam bis-Shawab