Orientalisme bisa kita definisikan sebagai suatu pemahaman tentang masalah-masalah ketimuran, dalam artian gagasan pemikiran yang mencerminkan berbagai kajian tentang negara-negara timur Islam. Objek kajian orientalisme meliputi sejarah peradaban, agama, seni, sastra, bahasa dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran di atas telah berpengaruh besar dalam membentuk persepsi negatif Barat terhadap Islam dan dunia Timur secara lebih luasnya.
Peradaban dan keilmuan Islam begitu megah. Itulah mengapa banyak sekali ulama-ulama klasik maupun modern yang berkembang dalam tradisi-tradisi keilmuan yang kuat karena mempelajari dengan tekun peradaban dan keilmuan Islam. Bukan hanya kalangan Islam saja, para sarjana Barat pun rupanya memiliki ketertarikan yang sama. Para outsiders (sebutan bagi sarjana di luar Islam) dengan semangat tinggi menekuni dan mempelajari tradisi-tradisi keilmuwan kita. Mereka yang kemudian disebut dengan orientalis.
Istilah orientalisme mulai muncul sejak abad ke-18 M. Abad ini bisa dikatakan sebagai peristiwa kolonisasi orang-orang Eropa terhadap dunia Islam. Di sini lah awal dari masa pencerahan dan kebangkitan dunia Barat. Pada abad ke-20 M peradaban Islam masih saja menyuguhkan Islam sebagai akidah dan etika tanpa menyentuh dimensi filosofis dalam aqidah Islam. Otoritas kitab suci dipandang sebelah mata oleh ideologi baru yang disebut “pencerahan” dan dianggap sebagai takhayul. Buruk sangka para penjajah, misionaris, dan birokrat sekuler Eropa bukan tanpa sebab. Karena dalem internal muslim sendiri ada saja pengajar Al-Quran yang bersikap otoriter.
Puncaknya adalah ketika Perang Salib berkecamuk. Tragedi tersebut menciptakan begitu banyak pandangan Eropa tentang Islam, termasuk anggapan bahwa Islam adalah musuh besar kekristenan. Meski ilmu pengatahuan tentang Islam masih terus berkembang, tetapi pandangan ini terus menerus didukung oleh Gereja Katolik Romawi, sehingga sentimen-sentimen anti-Islam terus tumbuh.
Para pemikir Barat secara terbuka mulai mempertanyakan dasar-dasar agama, khususnya Kristianitas dan gereja. Dalam lingkungan seperti ini, seorang filsuf Prancis Voltaire menulis sebuah drama yang berjudul Mahomet: tragedie, dia menyatakan bahwa al-Quran tidak logis dan tidak bisa dibaca.
Orang-orang Eropa terus menerus berusaha bagaimana mereka bisa lebih jauh memahami tentang Islam dan al-Quran. Lembaga pengajaran pertama kali muncul di Prancis dan Wina. Lembaga tersebut menyediakan kursus baik bahasa maupun budaya Islam. Di Inggris, George Sale menerbitkan terjemahan al-Quran berbahasa Inggris pertama yang langsung diterjemahkan dari al-Quran bahasa Arab.
Pada abad ke-19 M, universitas-universitas Eropa mulai memperluas program studi bahasa Arab dan studi Islam dengan memasukkan studi analisis al-Quran. Kuantitas ilmu pengatahuan terus meningkat, studi Islam dipindah dari yang awalnya adalah sub-bagian dari studi Oriental, menjadi bidang ilmu pengetahuan akademik yang independen.
Pada abad ke-20 M, studi tentang Islam dan masyarakat Muslim telah muncul sebagai bidang ilmu pengetahuan Barat yang signifikan. Di fase sejarah orientalisme inilah kemudian tampak proliferasi ilmu pengetahuan Barat tentang Islam dan al-Quran.
Pada abad ke-20 dan 21 M terjadi perpecahan akibat kesenjangan tradisional antara dunia Barat dan dunia Islam. Akibatnya, banyak dari para sarjana lintas agama dan negara berkolaborasi dan bekerja sama untuk mengkombinasikan pendekatan Islam tradisional dan pendekatan Barat dalam studi mereka tentang Islam dan al-Qur’an.
Dengan meningkatnya jumlah penduduk muslim di Barat, maka pemahaman para sarjana Barat terhadap Islam dan al-Quran semakin meningkat. Sejak Perang Dunia II, khususnya, studi Islam di universitas-universitas di seluruh dunia Barat telah dikembangkan dan diperluas mencakup sejumlah program studi orientalisme yang mencakup kajian bahasa, sejarah, dan ilmu-ilmu sosial Islam.
Selama abad ke-20, ilmu pengetahuan keislaman di Barat telah mengembangkan studi al-Quran dengan berbagai macam pendekatan. Mereka mengeksplorasi aspek-aspek umum terkait al-Quran tanpa mempertimbangkan pandangan umat Islam mengenai asal usulnya. Sementara di sisi lain banyak sarjana yang mempertanyakan pemahaman tradisional Muslim mengenai asal-usul al-Quran dengan menggunakan metode yang sama dengan apa yang mereka terapkan pada studi Bibel.
Dalam bidang hadis, sebagai contoh, Ignaz Goldziher menulis kajian kritik terhadap transmisi hadis Nabi Saw. dalam karyanya yang berjudul Muhammedanische Studien dia menuliskan bahwa “perhatian yang mendalam terhadap himpunan hadis yang amat luas akan melahirkan sikap skeptis ali-alih optimistis mengengenai bahan-bahan yang dikompilasi dengan hati-hati dalam kolesi Hadis.”
Dia juga menambahkan bahwa hadis ditransmisikan melalui isnad atau jalur transmisi yang bersifat lisan, bukan tertulis, yang menurut pandangan Goldziher ini berakibat manipulasi dan pemalsuan akan mudah masuk ke dalam literatur hadis. (Bersambung)
Tulisan bersambung ke: Sejarah Orientalisme (2): Perubahan Motif Orientalisme