Konflik antara umat Islam dan Hindu di India pasca munculnya sebuah komentar yang kontroversial dari seorang politikus partai BJP masih belum mereda. Setelahterjadi bentrokan di negara bagian Uttar Pradesh, pada Minggu 12 Juni 2022, pihak berwenang setempat melakukan penggusuran rumah-rumah umat Islam yang dituding terlibat dalam bentrokan.
Ini bukan kali pertama terjadi konflik yang melibatkan Islam dan Hindu di India, tidak terhitung lagi berapa kali hubungan keduanya memanas. Bahkan, pada awal tahun 2022 sebuah kelompok ekstrimis Hindu menyerukan ancaman genosida kepada umat Islam di India. Saat itu, pihak yang berwenang setempat mampu mengambil tindakan tegas, seorang biksu yang dianggap sebagai provokator ditangkap.
Tidak berselang lama, muncul kasus lain berupa diskriminasi kepada umat Islam. Kali ini, seorang siswi sebuah sekolah menengah atas di Distrik Udupi dilarang mengikuti pembelajaran karena mengenakan hijab pada Februari 2022. Saat itu, video yang menanyangkan pelarangan dan pengusiran siswi tersebut viral di media sosial, yang kemudian memicu kemarahan umat Islam di India, dan masih banyak peristiwa lain semacam itu.
Dua contoh kasus tadi memperlihatkan bahwa umat Islam di India kerap menjadi korban, namun bukan berarti umat Hindu tidak pernah merasakan hal yang sama. Hanya saja, sejak tahun 2014, umat Islam semakin sering mengalami diskriminasi. Jika ditelusuri, maka dapat ditemukan bahwa hal tersebut erat kaitannya dengan kekuatan politik yang sedang berkuasa. Sebagaimana diketahui, pada Pemilihan Umum di India tahun 2014, Partai Bharatiya Janata (BJP) keluar sebagai pemenang dan Narendra Modi terpilih menjadi Perdana Menteri yang menjabat hingga saat ini.
Partai BJP yang dikenal sebagai partai nasionalis memiliki afiliasi dengan sebuah organisasi Hindu bernama Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS). Banyak anggota mereka juga terpilih untuk menduduki kursi jabatan di bawah pemerintahan Modi. RSS sendiri memiliki cita-cita yang jelas, yakni menjadikan India sebagai negara agama Hindu. Mereka juga berkeinginan untuk “menghindukan” tidak hanya umat muslim, melainkan juga umat Kristen. Mereka ingin “menghindukan” India. (Alfian M. K., 2020)
Salah satu contoh upaya “menghindukan” India yang telah dilakukan adalah mengganti nama-nama kota dengan nama yang berasal dari tradisi Hindu. Pada tahun 2018 silam, Modi mengganti nama kota “Allahabad” menjadi “Prayagraj”. Nama “Allahabad” diberikan oleh Sultan Akbar dari Kesultanan Mughal, sedangkan nama “Prayagraj” merujuk kepada salah satu situs peribadatan umat Hindu. Penggantian nama tersebut dianggap oleh pemerintah India sebagai upaya memperbaiki “kesalahan” yang dilakukan oleh Kesultanan Mughal. (Lauren Frayer, 2019)
Konflik Hegemoni Sebagai Akar Permasalahan
Konflik antara Islam dan Hindu di India memiliki sejarah yang panjang, setidaknya hal tersebut terjadi sejak upaya penaklukan India oleh Dinasti Umayyah. Menurut Badri Yatim dalam pengantar buku Islam di Asia Selatan, pada abad ke-8 masehi, saat Islam mulai bertransformasi menjadi salah satu kekuatan besar di dunia, India memiliki karakteristik “proteksionisme” dalam menerima Islam. Karakteristik tersebut berbeda dengan kawasan lainnya seperti Afrika, Persia dan Turki. (Ajid Thohir, dkk., 2006)
Maksud proteksionisme adalah sikap menerima Islam bukan dengan ‘apa adanya’, melainkan ‘ada apanya’. Maksudnya, di satu sisi mereka menerima keberadaan Islam. Namun, di sisi yang lain, mereka tetap berupaya memproteksi peradaban lokalnya yang ditopang adat istiadat setempat dan spritualisme Hindu-Buddha. Dengan kata lain, mereka mempersilahkan Islam masuk ke India, tetapi mereka tidak rela jika Islam berkuasa di sana.
Sejak abad ke-8 itulah mulai terjadi interaksi antara Islam dan Hindu di India. Kontestasi di ranah politik yang begitu intensif berlangsung, keduanya sama-sama berusaha untuk memperjuangkan kepentingan ideologi masing-masing: umat Islam sebagai “pendatang” berusaha menancapkan pengaruhnya di India, sedangkan umat Hindu sebagai “tuan rumah” berusaha mempertahankan India agar tetap berada di bawah pengaruhnya.
Islam datang ke India melalui penaklukan, tidak hanya ingin mendakwahkan ajaran Islam, tetapi juga ingin menguasai India. Pada awalnya, muncul kerajaan-kerajaan Islam yang berskala kecil. Seiring dengan perkembangan Islam yang semakin pesat di sana, mereka mencapai puncak kejayaan pada abad ke-16 dengan berdirinya Dinasti Mughal. Metode dakwah melalui penaklukan ini membuat umat Hindu sebagai “tuan rumah” merasa tersingkirkan.
Selama masa kepemimpinan Mughal, konflik antara Islam dan Hindu tidak begitu terlihat, karena kekuatan Islam yang begitu dominan dengan Dinasti Mughal-nya. Barulah pada masa keruntuhan Mughal yang bersamaan dengan kedatangan Inggris di India, benih-benih konflik antara Islam dan Hindu di India mulai muncul ke permukaan. Benih-benih tersebut semakin subur di bawah pemerintahan kolonial Inggris yang menerapkan politik adu domba (devide et impera).
Sejak saat itu, tidak terhitung banyaknya konflik Islam dan Hindu yang terjadi di India. Dalam tulisan Randy Wirayudha, tercatat sejumlah kerusuhan berskala besar terjadi, seperti kerusuhan Kalkuta tahun 1964, kerusuhan Gujarat tahun 1969, pembantaian Nellie tahun 1983, kerusuhan Bhalgapur tahun 1989, kerusuhan Mumbai tahun 1992, dan pembantaian Gujarat 2002. Ribuan nyawa melayang dalam berbagai kerusuhan tersebut.
Alih-alih mencoba memahami satu sama lain agar konflik tidak kembali terjadi, baik umat Islam maupun Hindu lebih memilih untuk berebut kekuasaan, dengan anggapan bahwa yang berkuasa akan lebih leluasa menjalankan ideologi dan keyakinannya, serta akan lebih mudah menyingkirkan siapapun yang menghalangi. Mereka berada dalam bayang-bayang hegemoni masa lalu: umat Islam merindukan hegemoni pada masa Dinasti Mughal, dan umat Hindu merindukan hegemoni pada masa Dinasti Maurya dan Dinasti Gupta.
Jika konflik hegemoni seperti itu masih terus berlangsung, maka harapan agar konflik antara umat Islam dan Hindu di India mereda akan sulit tercapai. Baik umat Islam maupun umat Hindu harus berusaha menyingkirkan ego masing-masing. Umat Hindu sebagai mayoritas berusaha untuk berlapang dada dan melupakan luka lama karena tersingkirkan saat Dinasti Mughal berkuasa. Sebaliknya, umat Islam harus mengehentikan mimpi untuk dapat membawa kejayaan Mughal kembali ke masa kini.
Tidak ada yang diuntungkan dalam konflik yang berkepanjangan. Upaya untuk membangun negara yang lebih maju menjadi terhambat, karena hubungan antar-kelompok belum bisa merekat. Rakyat jelata semakin menderita dan banyak yang meregang nyawa karena dipermainkan oleh mereka yang berkuasa. (AN)