Sistem naqth (titik) yang digagas oleh Abu al-Aswad, di dalam sejarahnya masih digunakan hingga masa Khalil al-Farahidy (w. 100 H./789 M). Penghitungan tahun ini setidaknya berdasar pada fakta bahwa fase tahsin (upaya memperindah dan mempermudah Al-Qur’an) berikutnya dilanjutkan oleh upaya Khalil, sebagaimana akan diuraikan pada tulisan ini.
Titik sebagai penanda i’rab (bunyi akhir kata) diterapkan sebagaimana rumusan pertama Abu al-Aswad, dengan warna berbeda. Penerapan sistem berjalan efektif selama beberapa waktu, hingga dirasa memunculkan beberapa masalah.
Sebagai catatan, upaya tahsin (memperindah) mushaf Al-Qur’an usai penulisan yang dilakukan Utsman tidak berlangsung sekali (Al-Sholih, 1977: 91), paling tidak ada tiga kali fase. Fase pertama sebagaimana dijelaskan pada part sebelumnya (baca: Mengenal Kembali Elemen Mushaf Al-Quur’an: Harakat 1) adalah pemberian harakat bagian awal, yakni dengan memberikan titik pada akhir setiap kata. Fase kedua juga dilakukan dengan pemberian titik pada setiap huruf untuk membedakan antara satu dengan huruf yang lain, yang akan dijelaskan pada part selanjutnya, insyaAllah. Dan fase ketiga, adalah fase penyempurnaan harakat.
Pada masa Khalil ini, mushaf Al-Qur’an telah dilengkapi dengan berbagai macam titik dengan berbagai fungsi dan tujuan. Dalam disiplin ilmu Al-Qur’an dikenal naqth i’rab, atau mudahnya dikatakan sebagai titik tanda harakat, dan naqth i’jam yang tak lain merupakan titik-titik yang terdapat pada setiap huruf. Kedua jenis titik ini dibedakan penulisannya dengan menggunakan warna merah untuk titik harakat dan hitam untuk titik huruf.
Banyaknya tanda titik yang tersebar pada setiap halaman mushaf Al-Qur’an ini yang kemudian melahirkan problem, baik kepada pembaca maupun penulis. Bagi pembaca, kesalahan pembacaan bukan hal yang tidak mungkin lagi dihindari karena terkadang tidak dapat membedakan satu dengan yang lainnya. Sedangkan bagi penulis, dianggap kerepotan karena harus selalu mengganti warna pada satu kali proses penulisan.
Evaluasi dan perubahan dirasa perlu dilakukan dengan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Menukil dari Al-Farmawy, jika tidak mengganti tanda harakat, maka dengan memodifikasi tanda titik huruf. Hal ini yang kemudian menggugah naluri kebahasaan Khalil al-Farahidy, seorang pakar bahasa dan sastra yang juga dikenal sebagai penemu ilmu ‘arudl (not dan tangga lagu) (2004: 317).
Dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan di atas, Khalil al-Farahidy membuat rumusan baru. Fathah yang semula berupa titik di atas huruf ia ganti dengan alif kecil yang membentang dari kanan ke kiri di atas huruf. Dlammah menjadi wawu kecil yang juga diletakkan di atas huruf, dan kasrah dengan ya’ kecil tanpa titik yang terletak di bawah huruf.
Selain perubahan bentuk tiga harakat, Khalil juga menciptakan rumusan baru atas tanda baca lain, diantaranya tasydid atau syiddah, sukun dan hamzah. Tasydid ia rumuskan dengan kepala huruf syin (ش) dengan meniadakan tanda titik di atasnya. Syin, tak lain merupakan kepanjangan dari syadid. Sukun dilambangkan dengan kepala huruf kha’ (خ)yang berarti khafif atau ringan, juga dengan membuang titik di atasnya. Sedangkan hamzah, karena kedekatannya dengan huruf ‘ain (ع) dilambangkan dengan kepala ‘ain (A-Farmawy, 2004: 318-320).
Dengan pembaharuan tanda yang dilakukan oleh Khalil ini diharapkan dapat memberikan kemudahan baik bagi para pembaca, karena tidak dipusingkan lagi dengan tanda-tanda yang jumbuh (bercampur) satu dengan yang lainnya, serta bagi para penulis, dapat melakukan proses penulisan mushaf dengan lebih efisien karena antara garis huruf, titik pada huruf dan harakat ditulis menggunakan satu jenis warna tinta.
Rumusan Khalil ini yang kemudian dipergunakan dan diterapkan pada setiap mushaf Al-Qur’an bahkan hingga saat ini, meski sebenarnya pada awal perumusannya, tanda-tanda ini justru tidak diterapkan pada mushaf Al-Qur’an. Penerapannya pada mushaf dijumpai pada era berikutnya dengan sedikit modifikasi yang tidak secara subtansial, lebih kepada penyederhanaan dan variasi bentuk, misalnya pada harakat kasrah yang semula berbentuk ya’ yang kemudian dihilangkan bagian kepalanya sehingga tinggal garis lurus saja.Wallahu a’lam bi al-shawab.