Countering Violent Extremism (CVE) lahir dari kegagalan pendekatan militer Amerika Serikat dalam memerangi terorisme. Pasca peristiwa 9/11, mantan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush mengeluarkan program Global War on Terorism (GWOT) untuk memerangi terorisme sampai ke akar-akarnya.
Pendekatan militer yang digunakan Amerika pada waktu itu tidak sepenuhnya disetujui. Beberapa negara di Eropa menolak pendekatan ini. Tapi Bush sangat yakin inilah cara terbaik melenyapkan terorisme. Dalam pidatonya, Bush mengintruksikan markas dan tempat latihan teroris di Afghanistan harus dihancurkan. Dengan penuh kepercayaan diri, Bush memastikan dengan cara itu kelompok teroris akan lumpuh dan tidak akan berkembang.
Bush mengawali program GWOT ini dengan memerangi al-Qaeda. Kelompok ini dianggap sebagai aktor utama dalam penyerangan WTC. Seluruh kekuatan militer Amerika Serikat dikerahkan untuk menyerang al-Qaeda. Penyerangan al-Qaeda ini pula yang menjadi alasan Amerika untuk mengirim pasukan ke Afghanistan dan Irak. Sayangnya, usaha yang dilakukan Bush tidak membuahkan hasil maksimal. Yang terjadi justru sebaliknya, alih-alih melemahkan dan mematikan, al-Qaeda malah semakin kuat. Bahkan mereka mampu mengendalikan para pendukungnya dari jarak jauh.
Tahun 2004 misalnya, sebuah kelompok yang diduga terafiliasi dengan al-Qaeda meledakkan bom di stasiun kereta api Madrid. Ledakan itu menewaskan 191 orang. Ketika peristiwa ini terjadi, Amerika masih menduduki wilayah kekuasaan al-Qaeda. Ini menunjukkan bahwa pendekatan militer yang digunakan Amerika tidak terlalu efektif dalam menghambat perkembangan terorisme.
Jenna Jordan dalam buku Leadership Decapitation Strategic Targeting of Terrorist Organizations mengkritik kebijakan memerangi teroris dengan pendekatan militer, terutama operasi pemenggalan pimpinan teroris. Ini bukan cara terbaik dalam melawan terorisme. Berhasil atau tidaknya strategi perang melawan pimpinan teroris tergantung pada infrastruktur kelompok, ideologi, dan dukungan rakyat. Apalagi sebagian kelompok teror mengadobsi model gerakan perang tanpa pimpinan (leaderless resistenca model), sehingga mereka tetap melakukan aksi tanpa harus menunggu komando dari pimpinan utama.
Karenanya, meskipun ditarget ratusan kali, pimpinan karismatiknya juga sudah tewas, al-Qaeda tetap masih eksis dan jaringannya bertambah kuat. Menurut Jordan, operasi menarget pimpinan teroris untuk sementara waktu mungkin bermanfaat, tetapi masih menyisakan masalah untuk jangka panjang.
Di antara masalahnya adalah munculnya pemimpin baru dari kelompok teroris, mereka menjadi semakin ekstrim, dan lahirnya kelompok baru yang lebih kejam. Pasca terbunuhnya Abu Bakar al-Baghdadi misalnya, ISIS terpecah belah menjadi beberapa bagian, menyebar di berbagai wilayah, dan melakukan aksi kekerasan di banyak wilayah.
Karena gagalnya pendekatan militer ini, pendekatan Countering Violent Extrimisme (CVE) yang sebelumnya sudah diterapkan di Belanda dan Inggris, mulai diadopsi di Amerika, dan dipopulerkan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pendekatan CVE tidak hanya fokus pada memerangi orang yang terlibat aktif dalam jaringan terorisme, tetapi juga ideologi yang melatarbelakangi lahirnya aksi kekerasan.
Sebelum program kontra narasi ekstremisme/Countering Violent Extremism (CVE) disebarluaskan secara global, istilah “violent extremism” itu sendiri sangat jarang digunakan di Barat. Dahulu, istilah ini beberapa kali digunakan untuk penyebutan kelompok ekstrem kanan dan neo-nazizme.
Dalam literatur pemerintah Inggris, istilah ekstremisme pada umumnya merujuk pada gerakan politik ekstra-parlementer, aktivis hak-hak binatang, aktifis lingkungan, gerakan perdamaian, anti fasisme, nasioanlisme Irlandia, komunisme, dan gerakan politik Islam. Sampai akhir 2004, ekstremisme Islam di Inggris, dalam literatur resmi masih dipahami sebagai organisasi yang berusaha merekrut Muslim untuk aktif dalam politik jalanan.
Orang yang bergabung dalam gerakan ekstremis ini mungkin tidak akan melakukan kekerasan atau menganjurkan kekerasan, tetapi mereka menyediakan ruang bagi sebagian orang untuk melakukan kekerasan. Sejak tahun 2005 situasinya mulai berbeda, istilah ekstremisme yang sebelumnya sangat umum berubah menjadi kata kunci pembuatan kebijakan kontra-terorisme di Amerika Serikat, yang diarahkan secara khusus pada Islam radikal.
Tidak ada defenisi yang jelas dan disepakati terkait istilah “violent ekstremisme”, bahkan menurut Arun Kundhani dan Ben Hayes, jika terorisme sampai saat ini masih menjadi konsep ambigu dan belum didefenisikan secara objektif, konsep ekstremisme kekerasan lebih tidak jelas dan samar.
Perang melawan teroris, dalam perspektif CVE, menjadi tugas seluruh warga negara, dan tidak bisa hanya dibebankan kepada aparatus keamanan. Seluruhnya mesti bersatu dan berkolaborasi untuk mengurangi bahaya ekstremisme.
Pendekatan yang digunakan CVE lebih halus, non-kekerasan, dan menghindari pendekatan militeristik. Tujuan dari program CVE adalah untuk mencegah munculnya aksi kekerasan sebelum benar-benar muncul dalam suatu wilayah, komunitas, ataupun individu.
Perubahan pendekatan ini membuat Amerika Serikat tidak hanya fokus pada memerangi al-Qaeda, tetapi juga melawan ideologi yang melatarbelakangi lahirnya al-Qaeda. Memerangi ideologi teroris pada akhirnya dianggap sama pentingnya dengan melawan aktor teroris itu sendiri.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT