Pada paruh awal abad ketujuh Masehi, penguasa muslim melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang jauh dari negeri Arab. Sebagai contoh, penaklukan Mesir dan negeri-negeri di Mesopotamia. Penaklukan daerah-daerah ini meniscayakan adanya tatanan masyarakat baru, menyusun sistem pemerintahan, serta mengembangkan warisan infrastruktur yang telah didirikan penguasa sebelumnya, seperti kuil pemujaan atau gereja.
Tak luput juga dari perhatian para penguasa ini adalah pengembangan fasilitas pelayanan masyarakat seperti sanatorium untuk lepra dan xenodochia, yang dikenal masyarakat Bizantium untuk merawat orang sakit dan miskin.
Dinasti Umayyah memindahkan pusat kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus. Perpindahan pusat pemerintahan ke Damaskus ini turut berdampak pada sistem dan infratstruktur kekhalifahan Islam, yang notabene daerah Damaskus sebelumnya dikuasai oleh kekaisaran Bizantium.
Di bawah kekuasaan khalifah kelima Dinasti Umayyah, Abdul Malik bin Marwan (wafat 705 M), bahasa Arab mulai ditetapkan sebagai bahasa resmi negara, uang diproduksi sebagai alat tukar ekonomi, serta inisiasi pembangunan infrastruktur di Damaskus dan daerah kekuasaan lain. Kekuasaan ini dilanjutkan oleh putra dan penerus tahtanya, Al Walid I (wafat 715), yang memperluas wilayah ekspansi kerajaan dan giat membangun pusat pemerintahan.
Beberapa sumber Islam klasik menyatakan bahwa Al Walid I inilah yang pertama kali mendirikan fasilitas layanan kesehatan di kalangan muslim, yang disebut dengan bimaristan. Imam Ath-Thabari mencatat setidaknya ada dua peranan Al Walid I dalam pembangunan institusi kesehatan di kalangan muslim: pertama, ia membuat lebih banyak sanatorium untuk penderita lepra, dan kedua, memulai pembangunan bimaristan di Damaskus.
Menurut Ahmed Ragab dalam buku The Medieval Islamic Hospital: Medicine, Religion, and Charity, mencatat bahwa bimaristan disebut sebagai cikal bakal sistem rumah sakit di era modern. Institusi ini mulanya dikenal di Persia. Bimaristan menyediakan tempat rawat, dokter, serta obat-obatan. Secara harfiah, arti bimaristan adalah tempat untuk orang-orang sakit.
Kendati belum banyak bukti otentik seputar adanya bimaristan di era Dinasti Umayyah, utamanya di masa Al Walid I itu, ada beberapa sejarawan yang menyebutkan bahwa Al Walid – mungkin juga penguasa Umayyah lain, pernah membangun ulang suatu tempat kecil yang melayani penderita lepra, buta, dan kaum disabilitas, yang didirikan penguasa sebelumnya. “Klinik” kecil inilah yang disebut-sebut menjadi bimaristan pertama yang dibangun oleh pemerintahan Umayyah.
Dari sana Al Walid I ditengarai membangun tempat pelayanan kesehatan yang disebut al-bimaristan al-shaghir, guna melayani orang-orang di Damaskus. Bimaristan kecil ini terletak dekat dengan masjid pusat pemerintahan Dinasti Umayyah. Nantinya di masa dinasti-dinasti mendatang, kita akan mengenal bimaristan–bimaristan yang lebih besar dan berpengaruh, seperti Al-Bimaristan an-Nuri dan Al-Bimaristan al Manshuri.
Pembangunan fasilitas layanan kesehatan tersebut tak lepas dari kebutuhan masyarakat muslim urban kala itu, serta adopsi model sistem bimaristan yang sudah populer sebelumnya di Bizantium dan Persia. Seperti disinggung di atas, situasi ini tak lepas dari pengaruh penguasa Bizantium yang berkuasa sebelumnya di Damaskus.
Kekhalifahan Umayyah meninggalkan ragam bangunan infrastruktur, tak lepas dari giatnya pembangunan monumen dan masjid-masjid megah. Perhatian para penguasa Umayyah akan infrastruktur itu dikatakan sebagai bentuk usaha mengikuti gaya para penguasa Bizantium yang mendirikan monumen-monumen sebagai bukti kedigdayaan.
Dalam konteks ini, pembangunan fasilitas kesehatan era Dinasti Umayyah, khususnya Al Walid I, bukan hanya soal perhatian akan kesehatan masyarakat. Bimaristan yang telah dan akan dibangun oleh penguasa mendatang, merupakan usaha melanjutkan dan mengungguli kemegahan warisan Bizantium, seperti gereja dan kuil pemujaan.
Kendati demikian adanya, bimaristan semakin mentereng di dataran Timur Tengah pada era Dinasti Abbasiyah. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah suatu ketika Khalifah Harun Al Rasyid meminta jasa seorang dokter non-muslim terkenal dari Jundishapur, yang bernama Jibril bin Bakhtisyu’, agar memimpin pembangunan bimaristan di Baghdad. Konon Jundishapur kala itu dikenal dengan adanya institusi pendidikan kedokteran yang maju.
Dengan demikian, bimaristan di era pasca Dinasti Umayyah mulai kian populer dan mendapat sorotan penguasa. Tidak hanya difungsikan sebagai tempat pelayanan kesehatan, namun juga tempat pendidikan dan penelitian. Bimaristan disebut sebagai “cikal bakal” rumah sakit era modern karena secara perencanaan, rancang bangun, serta manajemen, ia sejalan dengan konsep rumah sakit di masa kini – sebagaimana dicatat Ahmed Ragab.
Di masa-masa selanjutnya, bimaristan era kerajaan Islam menjadi model pelayanan kesehatan yang banyak diikuti, serta para dokter dan ilmuwannya seperti Al Razi, Ibnu Sina, atau Al Zahrawi – sebagaimana sudah kita kenal, karyanya menjadi rujukan di berbagai belahan dunia.
Wallahu a’lam.