Banyak orang menyebut Gus Dur tokoh yang multidimensi. Label yang ditempelkan padanya bisa berjejer panjang. Agamawan, cendekiawan, intelektual, budayawan, politisi, kolumnis atau esais, dan seterusnya. Hingga oleh sebagian orang ia diyakini sebagai seorang wali atau kekasih Allah. Yang tersisa, barangkali, bahwa tidak ada orang yang menyebutnya sebagai seorang sosiolog atau psikolog sosial.
Sosiologi adalah ilmu mengkaji masyarakat. Predikat sosiolog biasanya melekat pada orang yang sudah menjalani training berjenjang melalui pendidikan formal. Ia menyandang status sosiolog karena dipandang punya keahlian (teoritik dan aplikatif) di bidangnya dalam menganalisis dan menjelaskan secara formal dan sistematik atas fenomena kemasyarakatan.
Predikat sebagai pemikir sosial barangkali lebih pas dikenakan pada Gus Dur. Ini lantaran ia telah memproduksi aneka pemikiran sosial via tulisan-tulisan yang kebanyakan berupa esai atau kolom. Esai-esainya merentang ke berbagai topik. Diantaranya: pendidikan, pribumi Islam, demokrasi, pluralisme, Hak Asasi Manusia, negara-bangsa, pandangan hidup pesantren, sejarah dan peradaban, dan lain-lainnya.
Berbeda dari teori sosial yang formal dan sistematik, suatu pemikiran sosial umumnya berciri: (a) berisi refleksi yang kaya atas pengalaman, pendapat, penilaian, valuasi dan seterusnya; (b) diungkapkan via bahasa yang kurang formal dan pendekatan yang kurang sistematik; dan karena itu (c) tidak ditulis dalam definisi-definisi, konsep-konsep dan teori-teori yang formal; yang namun demikian (d) dapat menjadi basis teori sosial atau basis teoritisasi yang lebih sistematik bagi mereka yang tertarik pada formasi konsep dan pengembangan teori. Kendatipun demikian pemikiran sosial Gus Dur sangat penting dalam memberi kontribusi orisinil untuk memahami masyarakat modern di Indonesia dewasa ini.
Sekarang ini saya tidak hendak menulis pemikiran sosial Gus Dur. Biarlah ini saya tunda. Tidak juga saya membahas sejarah hidup Gus Dur yang berkaitan dengan asal-usul keluarga, kisah masa kecil hingga dewasa, atau riwayat pendidikan dan petualangannya di mancanegara. Biografi demikian ini kiranya sudah banyak ditulis dan diketahui secara luas. Saya membatasi diri hanya mengulas bagaimana cara Gus Dur berbicara mengenai dirinya sendiri dan mempresentasikan gagasannya via kolom dan esainya.
Bagi pembaca yang tak asing dengan kolom-kolom Gus Dur, ia segera mengenali betapa kuatnya pengaruh kosmologi Islam dan khazanah tradisi keilmuan pesantren dalam membentuk alam-pikiran cucu pendiri NU ini. Ia fasih menggunakan terma-terma keislaman, seperti ayat-ayat Al-Quran dan Hadist beserta maknanya serta kaidah dan teori hukum Islam (Islamic legal theory) beserta penerapannya. Penggunaan terma-terma keislaman yang terutama dalam fungsinya sebagai dasar peneguhan argumentasinya menunjukkan kedalaman penguasaan ilmu agamanya.
Gus Dur memang tumbuh dari lingkungan pesantren. Ayahnya, KH A Wahid Hasyim, adalah mantan menteri agama, sementara sang kakek, KH. Hasyim Asy’ari, adalah pengasuh Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur yang sekaligus pendiri organisasi keulamaan terbesar Nahdlatul Ulama (NU). Semasa remaja ia belajar dari pesantren ke pesantren. Berguru di Pesantren Tegalrejo Magelang, Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta dan pesantren lainnya. Secara khusus harus disebutkan bahwa Gus Dur berguru kepada Kiai Bisri Syansuri, seorang pecinta, penganut dan pelaksana hukum fiqh yang ketat, pendiri Pondok Pesantren Den Anyar Jombang, yang juga kakeknya dari pihak ibu. Untuk menghormati gurunya ini yang berjasa besar dalam meletakkan dasar-dasar keilmuan baginya, Gus Dur secara khusus k menulis sebuah biografi singkat Khazanah Kiai Bisri Syansuri: Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat, yang terbit Januari 2010.
Kedalaman pengetahuan Gus Dur pun semakin diperluas tatkala ia belajar di Kairo, Mesir dan Baghdad di Irak. Pengetahuan yang didalaminya tidak terbatas pada soal-soal keagamaan belaka, tetapi juga wawasan sejarah dunia dan filsafat. Dengan latar lingkungan dan pendidikan yang demikian, terutama penguasaannya atas dasar-dasar ilmu fiqh yang mendalam, kiranya mudah dimaklumi bila Gus Dur seakan gampang saja menemukan jawaban menurut cara-cara yang islami atas persoalan-persoalan hidup yang nampak rumit dipecahkan di mata kaum awam.