Jika kita setuju Ahok dibui lantaran dakwaan penodaan agama, selayaknya kita tak keberatan jika Ustad Abdus Somad alias UAS diseret ke pengadilan. Jika video itu terbukti menodai agama, beliau bisa menghabiskan sebagian umurnya dalam penjara.
Saya tak setuju. Saya juga tak setuju jika olok-olok Habib Rizieq soal “Yesus bidannya siapa” itu juga harus berakhir di penjara. Sejak lama saya berpandangan pasal penodaan agama dalam pasal 156a KUHP dihapus. Jika tak bisa, diperlukan kebijakan moratorium. Ada, tapi tak dipakai. Sebagai gantinya pasal ujaran kebencian.
Tapi, tak setiap yang menyinggung perasaan kita sebagai umat sudah barang tentu ujaran kebencian. Tindakan ini memerlukan beberapa unsur. Di antaranya, niat, kebencian, diskriminasi, dan kekerasan, termasuk ajakan kekerasan dan melakukan kekerasan verbal.
Sebagai umat Islam, pernyataan UAS dalam video itu jelas mencerminkan sebagian wajah dakwah kita. Hal serupa dihadapi agama lain. Saya tak jarang mendengar ceramah bernada mengolok-olok semacam ini saat saya menjadi santri. Artinya saat kekuasaan Pak Harto masih kuat. Jika sekarang ini video UAS banyak diributkan itu artinya ada kemajuan berarti dalam kehidupan beragama kita. Orang banyak mengerti konten semacam itu kurang etis yang bisa mendongkrak tensi konflik.
Video UAS bagi saya contoh baik untuk mendiskusikan di mana batas-batas ujaran kebencian, olok-olok, penghinaan, pelanggaran etika penyiaran agama. Apakah setiap olok-olok harus berujung pengdilan. Apakah kritik yang tajam adalah penghinaan? Bagaimana kasus UAS ini tetap memberi kita ruang di mana kritik atas agama tetap diperlukan agar agama terus berkembang dan bermanfaat bagi umatnya?
Isu ini juga bisa diperluas dengan membicarakan proseletisme, ajakan untuk masuk atau meyakini agama tertentu, yang dijamin UU tapi kontroversial. Bagaimanapun proseletisme ini sering menggunakan cara kritik keras pada agama lain sembari meyakinkan agama atau keyakinannyalah yang tepat.