Belum lama ini, Kantor Staf Presiden (KSP) mengklaim bahwa Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin mampu menghadirkan kerukunan antar-umat beragama di Indonesia selama satu tahun masa kepemimpinan.
Menurut KSP, fenomena intoleransi dan konflik agama mulai menghilang. Ini tercantum dalam dokumen Capaian Kinerja 1 Tahun Jokowi-Ma’ruf yang diunggah di situs resmi KSP.
“Hanya dengan bersatu, kita akan menjadi negara kuat dan disegani,” kata Jokowi dalam dokumen tersebut.
Dalam dokumen itu disebutkan juga bahwa saat ini tidak ada lagi orang Indonesia yang intoleran terhadap perbedaan. Sebaliknya orang Indonesia saat ini benar-benar menghargai perbedaan agama, suku, serta etnis.
Jika melihat dari indeks yang sempat dirilis oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI, pada 2019 lalu, klaim adanya peningkatan kerukunan antar-umat beragama (KUB) tersebut memang tampak masuk akal.
Seperti diketahui, pada 16 Mei-19 Mei 2019 dan 18-24 Juni 2019, Kemenag sempat menggelar survei yang melibatkan sedikitnya 13.600 responden dari 136 kabupaten/kota yang tersebar di 34 provinsi.
Menggunakan metode penarikan sampel secara acak berjenjang dan margin of error sekitar 4,8 persen, survei Kemenag menimpulkan bahwa bahwa semua provinsi memiliki tingkat kerukunan umat beragama yang tinggi dan sangat tinggi.
Hanya saja, teruntuk klaim bahwa “tidak ada lagi orang Indonesia yang intoleran terhadap perbedaan”, Presiden Jokowi mestinya meragukan laporan KSP tersebut. Dengan kata lain, persoalan intoleransi ini senyatanya masih menjadi mimpi buruk bagi sebagian masyarakat kita.
Dalam setahun terakhir, misalnya, telah terjadi setidaknya 25 kasus terkait rumah ibadah, termasuk penolakan rumah ibadah, perusakan, penyegelan, hingga intimidasi dan pembubaran paksa kegiatan keagamaan. Ini jika merujuk pada Amnesty International Indonesia.
10. Hak atas kebebasan beragama
Setahun terakhir, terjadi setidaknya 25 kasus terkait rumah ibadah, termasuk penolakan rumah ibadah, perusakan, penyegelan, hingga intimidasi dan pembubaran paksa kegiatan keagamaan.
— Amnesty International Indonesia (@amnestyindo) October 20, 2020
Lebih dari itu, fenomena menjamurnya pendakwah yang menyerukan kebencian kepada mereka yang berbeda juga masih menjadi persoalan tersendiri bagi masyarakat hari ini. Dan, jangankan para pendakwah nir-akhlak begituan, Menteri Agama Fachrul Razi nyatanya masih suka genit melakukan narasi kontra-produktif, seperti sentimen cadar dan good-looking atau tidak good-looking.
Jadi, kalau dikatakan bahwa “tidak ada lagi orang Indonesia yang intoleran terhadap perbedaan”, sepertinya memang nanti dulu deh.