Secara garis besar, kekuatan politik di Indonesia terbelah menjadi dua kubu utama, yaitu kelompok Islamis dan kelompok Nasionalis.
Meskipun pembagian seperti itu tidak seluruhnya tepat mengingat kaum Islamis tidak serta merta tak nasionalis dan kaum Nasionalis belum tentu anti-Islam dan tidak semuanya non-muslim—dan pada prakteknya, demi meraih suara, kerap terjadi koalisi antar dua elemen yang berbeda itu—namun pengelompokan di atas semata-mata dimaksudkan demi mempermudah pemetaan arus besar dua aliran ideologi yang senantiasa mewarnai politik kekuasaan di Indonesia.
Meski tidak ada yang salah dengan partisipasi kedua aliran besar ideologi politik itu, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UU di Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa akhir-akhir ini kedua kubu telah mulai melahirkan elemen ekstrem di kalangan pendukungnya masing-masing.
Ekstremisme kedua kubu yang terwujud dalam pandangan dan ungkapan-ungkapan yang mencerminkan fanatisme agama, kebencian antar golongan, dan rasisme, kian kerap kita lihat dan kita dengar berlalu lalang di ruang publik, khususnya di media sosial. Kedua kubu mendasarkan sikapnya pada loyalitas yang berlebihan pada ideologinya, dan semangat kemarahan terhadap mereka yang dianggap lawan.
Karena saling merawat amarah, maka kedua kubu sering kali menjadi irasional; fanatisme dibalas dengan fanatisme, rasisme dibalas dengan rasisme. Akibatnya, kedua kubu terjebak dalam lingkaran setan, dan saling menyalahkan lawan sebagai pihak yang memulai pertikaian.
Dalam terminologi politik, lantaran mendasarkan sikapnya pada fanatisme primordial—baik itu agama maupun ras—maka para ekstremis kedua kubu sesungguhnya sama-sama tergolong ke dalam kelompok ultra kanan.
Di Amerika Serikat dan Eropa kita mengenal kelompok-kelompok ekstrem ultra kanan seperti Ku Klux Klan, Pegida, dan grup-grup neo-Nazi. Mereka fanatik terhadap kekristenan Barat dan supremasi kulit putih. Mereka membenci kulit berwarna, tak peduli apa pun etnis dan agamanya.
Intinya, mereka membeda-bedakan manusia berdasarkan keunggulan ras, mengklasifikasikan sesama warga negara berdasarkan kelas pribumi asli kulit putih dan pendatang asing kulit berwarna.
Pada dasarnya, fanatisme terhadap agama dan ras (agama dan ras apa pun) akan memunculkan sikap fasis, yaitu semangat untuk menggunggulkan kelompoknya dan mengecilkan kelompok lain; sebuah praksis purifikasi identitas: gairah untuk memurnikan kelompoknya dari anasir lain. Dalam kontkes bernegara dan berbangsa di Indonesia, maka muncul misalnya kelas muslim dan non-muslim, pribumi dan non-pribumi, asli dan pendatang, dan sejumlah pengklasifikasian primordial lainnya.
Dan cara pandang seperti itu memperoleh momentum untuk berkembang dan mengalami penajaman saat ditanam dalam lanskap persaingan politik, terutama ketika menjelang dan selama musim kontestansi kekuasaan seperti pilgub dan pilpres.
Dalam latar persaingan antar kubu ultra kanan di Indonesia, mari kita soroti kasus mutakhir yang terjadi pada Agustus lalu pada suasana perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-77, yaitu saling klaim dan saling ingkar peran sejarah antar mereka.
Di satu sisi, kelomok ultra kanan Islamis, lantaran demi meningkatkan modal politik mereka, mengajukan sejumlah klaim semisal yang dilakukan oleh Adi Hidayat bahwa Pattimura merupakan seorang muslim. Intinya, demi meningkatkan leverage politik, mereka merasa perlu menegaskan peran besar kubu mereka atas kemerdekaan negara ini.
Celakanya, upaya itu termasuk dengan menegaskan kembali peran etnis keturunan Arab dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Penegasan kembali dan klaim-klaim itu (baik yang benar seperti pencipta lagu-lagu mars H. Mutahar, perancang lambang Garuda Sulan Hamid II, pahlawan nasional AR Baswedan, dan yang masih simpang siur seperti soal kepemilikan rumah Pegangsaan 56, maupun yang ngawur seperti inisiator bendera merah putih) dilakukan oleh kubu ultra kanan Islamis lantaran etnis keturunan Arab diidentikkan dengan Islam: peran etnis keturunan Arab (baik yang habib maupun yang bukan) dianggap sebagai peran Islam.
Jadi, sebagaimana yang dikatakan oleh Budiman Sudjatmiko, penegasan kembali dan klaim-klaim itu bercampur aduk antara agenda Islamisme dan etnonasioanalisme Arab. Kenyataan ini menjadikan etnis keturunan Arab korban dari apa yang ia sebut sebagai “propaganda dengan cara-cara tak pantas”.
Terbukti, menyusul klaim-klaim yang dilakukan oleh Adi Hidayat dan juga akun@ekoboy2, berbagai macam meme dan konten video rasisme terhadap etnis keturuan Arab bermunculan.
Di antaranya adalah video yang beredar di media sosial berisi seorang pria yang tampil dengan wajah penuh kemarahan, merisak etnis keturunan Yaman sebagai suku yang tak memiliki peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Contoh lain adalah konten dalam kanal Youtube terkenal 2045 TV yang memiliki subscriber dan viewer cukup besar. Melalui salah seorang host-nya bernama Rinny Budoyo, tayangan itu bukan hanya menyerang si pelaku klaim-klaim peran keturunan Yaman, melainkan merundung keturunan Yaman secara keseluruhan.
Selain meyakini klaim-klaim itu sebagai politis (tepatnya manuver Anies Baswedan terkait Pilpres 2024), video berjudul “Waspadai Arabisasi Sejarah Indonesia” itu, menarasikan diskriminasi terhadap suku etnis keturunan Arab.
Dalam konten videonya itu, Rinny menggunakan istilah “kita” dan “mereka”; kita adalah rakyat atau bangsa Indonesia dan mereka adalah etnis keturunan Arab. Saya kutipkan secara persis sebagian narasinya:
“Sebagai etnis, mereka pasti bukan asli Indonesia. Dayak, Bugis, Papua, Jawa, Sumatera, hingga Ambon, bicara apa itu asli. Namun, bukan itu esensi utama, satu Indonesia dalam satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa adalah kunci kebersamaan kita.
Sama dengan etnis asing yang lain, ketika mereka datang dan diterima, seharusnya kita sudah menjadi satu Indonesia. Tidak ada etnis paling berjasa di negeri ini. Bila kini mereka seolah dengan kesal menggugat, mereka pamer jasa, itu seperti meludahi ramahnya rakyat Indonesia. Itu jelas bukan hal yang pantas untuk dilakukan oleh kaum pendatang, apalagi merasa yang paling eksklusif.
Ketika kita diam saja saat segala hal besar milik bangsa ini diklaim sebagai milik mereka, dan maka Iqra mereka perintahkan agar kita tahu peranan besar bangsa itu, sesungguhnya mentalitas kitalah yang harus dipertanyakan.”
Video itu ditutup dengan provokasi pecah belah berupa ajakan kepada rakyat Indonesia untuk meneriakkan perlawanan. Inilah contoh bagaimana kefanatikan dibalas dengan kefanatikan, kekacauan klaim dibalas dengan kekacauan klaim. Inilah contoh ekstremisme kedua kubu ultra kanan.
Lihatlah betapa absurdnya ekstremisme: klaim seorang netizen dengan akun @ekoboy2 (yang kita tidak tahu itu siapa), tiba-tiba diframe sebagai klaim seluruh etnis keturunan Arab (termasuk yang tidak paham politik, yang tidak tahu menahu soal klaim-klaim ini dan bahkan yang tidak setuju dengan postingan akun @ekoboy2 itu).
Suku keturunan Arab bukan hanya politisi Anies Baswedan, Rizieq Shihab, Yusuf Martak, dan Bahar Smith, namun terdiri dari jutaan orang lain yang beragam, dari yang bekerja sebagai pengemudi taksi, penyanyi, hingga yang menjadi pegawai negeri, anggota TNI dan Polri. Mereka adalah bagian dari rakyat dan bangsa Indonesia.
Sebagaimana keturunan Tionghoa, India, (atau Srilanka jika ada) suku keturunan Arab adalah orang Indonesia asli, sama seperti Jawa, Sunda, Bugis, dan lain-lainnya. Mereka bukan pendatang, apalagi asing. Semua suku yang disebutkan di atas itu, sudah ada di tanah ini sebelum Indonesia berdiri.
Menyebut suku keturunan Arab, Tionghoa dan India sebagai pendatang atau bangsa asing, itu bukan karakter bangsa Indonesia melainkan karakter pemerintah kolonial Belanda.
Tidak ada yang salah jika kita mencela Adi Hidayat dan postingan akun @ekoboy2. Namun, apabila kemarahan kepada Adi Hidayat dan akun @ekoyboy2, serta penolakan terhadap Anies Baswedan kita lampiaskan juga kepada tokoh-tokoh sejarah H. Mutahar, Sultan Hamid II, AR Baswedan dengan menegasikan peran mereka dalam ikut memerdekakan Indonesia, maka jelas itu sebentuk ekstremisme dan absennya penghormatan kepada para pahlawan bangsa.
Memang tak mudah melawan ekstremisme, baik itu ekstremisme agama maupun ektremisme rasial. Namun penentangan terhadap ekstremisme mesti tetap disuarakan. Dalam konteks ini, kita berharap para ekstremis ultra kanan Islamis menghentikan penegasan dan klaim-klaim tentang peran tokoh-tokoh Islam dan etnis keturunan Arab.
Para ekstremis ultara kanan Islamis mesti paham, seandainya para tokoh bangsa seperti Husein Mutahar, Sultan Hamid II, dan AR. Baswedan masih hidup pada masa sekarang, sangat mungkin mereka akan menjadi penentang Islamis.
Kita juga berharap para ekstremis ultra kanan Nasionalis menghentikan ujaran-ujaran rasismenya. Jangan menjadi “Ku Klux Klan” bagi suku keturunan Arab, Tionghoa, dan India di Indonesia. Yang mereka lakukan bukanlah nasionalisme melainkan rasisme dan nativisme.
Dalam konten Youtube-nya yang mengecam klaim-klaim Adi Hidayat dan akun @ekoboy2, Rudi S Kamri selain mengimbau agar kita tidak menglorifikasikan suku tertentu, juga berharap tidak ada lagi dikotomi pribumi dan non pribumi. Menurut host Kanal Anak Bangsa itu, saat ini bukan zamannya lagi untuk mendikotomi warga negara secara primordialistik seperti itu lantaran jika ditelisik secara DNA, semua orang Indonesia merupakan keturunan dari berbagai bangsa; tidak ada yang asli.
Seturut dengan itu—dalam kaitan rasisme di Indonesia—kita patut selalu mengingat sejarah persahabatan tiga tokoh pejuang kemerdekaan yaitu dokter Soetomo, AR. Baswedan, dan Liem Koen Hian. Bagaimana ketiga tokoh dari latar suku yang berbeda itu bahu-membahu dan saling menolong dalam mewujudkan cita-cita bersama, yaitu terbentuknya negara dan bangsa Indonesia; Indonesia untuk semua tumpah darah.