Peringatan hari santri yang diselenggarakan setiap tanggal 22 Oktober, diacukan pada lahirnya Fatwa Resolusi Jihad yang diinisiasi oleh Hadratusyyaikh Hasyim Asy’ari pada Oktober 1945. Fatwa ini diputuskan setelah Rapat Akbar konsul-konsul Se Jawa-Madura pada 21-22 Oktober 1945 di Surabaya.
Resolusi ini muncul sebagai respons atas situasi politik pasca proklamasi 1945 di mana Sekutu, yang diboncengi NICA, ingin kembali menjajah Indonesia. Pendiri NU, dan sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang ini, bersama kiai-kiai yang lain membentuk strategi taktis menghadapi situasi politik yang krusial saat itu.
Momen ini memberikan gambaran dan pelajaran konseptual bahwa pesantren dengan kiai dan santri yang ada di dalamnya, sebagai salah satu unit sosial penting di masyarakat, memiliki dan sekaligus mengambil peran penting dalam mengawal kebebasan dan kemerdekaan dalam rangka membangun peradaban dan kemanusiaan. Mereka berada di garda depan dalam menghadapi krisis keagamaan, dunia dan kemanusiaan.
Hari-hari ini, dunia sedang dihadapkan pada banyak krisis: darurat sampah, krisis lingkungan, krisis kemanusiaan, krisis politik ekonomi dan homo digitalis sedang mencengkram kesadaran etis dan identitas manusia. Dan sekarang ini, apa yang harus dilakukan oleh orang-orang pesantren dalam situasi yang demikian?
**
Saya ingin membukakan beberapa kisah-kisah kiai di masa lalu untuk menyerap spirit yang mereka wariskan kepada kita.
Jauh sebelum peristiwa 22 Oktober 1945, para kiai di berbagai wilayah Nusantara telah mengambil peran penting dan visi yang jelas dalam membangun peradaban dan kemanusiaan. Kita bisa menarik agak jauh ke belakang, misalnya pada era akhir abad 18 M. Pada era ini, hidup Kiai Ahmad Rifai (1785-1870 M). Dia termasuk ulama cum intelektual organik; selain sebagai kiai Dampar yang mbalah kitab, dia juga mualif yang menganggit banyak teks keagamaan serta dai yang aktif melakukan gerakan sosial di tengah masyarakat.
Pandangan-pandangan keagamaannya sering dihubungan dengan konteks sosial politik yang dia hadapi sebagai bagian dari strategi kebudayaan. Misalnya, dalam teks Tabshirah, dia menyatakan bahwa rukun Islam hanya satu, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebagai pengikut Sunni dan setia pada mazhab Syafi’i pandangan Kiai Rifa’i ini tentu unik dan agak aneh. Dalam teks Tabyin al-Ishlah dia juga mengungkapkan cara pandang yang unik, yaitu pernikahan yang memakai wali hakim, tidak sah.
Dua pandangan dia di atas bisa kita pahami dan diambil spiritnya bila diletakkan dalam konteks sosial politik ketika teks itu ditulis. Pendapatnya yang pertama, merupakan strategi dakwah bahwa masuk Islam itu mudah: mula-mula cukuplah bersyahadat. Dengan cara ini, akhirnya orang berbondong-bondong masuk Islam. Setelah masuk Islam, barulah kepada mereka diajarkan tata cara salat dan kewajiban-kewajiban yang lain.
Spirit dari pandangannya itu adalah berdakwah haruslah bersifat kontekstual, mengasyikkan dan menentramkan. Alias sesuai dengan audiens. Bila ada jalur yang mudah janganlah memilih jalur yang susah dan ruwet, apalagi untuk masyarakat awam. Maka wajah dakwah bagi generasi milenial sekarang haruslah menyenangkan dan menentramkan; mengajak bukan mengejek; merangkul bukan memukul.
Sedangkan pandangan yang kedua memberikan pesan tentang kontra narasi terhadap penjajah Belanda. Penjelasannya sederhana. Belanda yang datang dan menguasai wilayah atau tanah di mana kita tinggal tidaklah memiliki otoritas hukum. Mereka melakukan praktik gasap, sebuah istilah dalam ilmu fikih, alias menggunakan sesuatu atau wilayah tanpa hak dan tak memiliki izin dari sang pemilik. Dalam bahasa politik, mereka adalah penjajah.
Penjajah alias gasap ini, dalam perspektif fikih, tentu tidak mempunyai otoritas hukum. Oleh karena itu, produk hukum yang dilahirkan dari ketok palu penjajah juga tak memiliki otoritas. Dan wali hakim yang dilahirkan dari penjajah, ilegal dan dengan demikian tidak memiliki otoritas hukum. Maka, pernikahan dengan memakai wali hakim yang diangkat Belanda, ilegal alias tidak sah.
Pandangan fikih semacam ini merupakan strategi politik dan budaya terhadap eksistensi penjajah Belanda. Produk hukum semacam inilah yang kemudian menyebabkan Kiai Rifai diasingkan oleh Belanda di Manado.
Sebagai pemikir Islam dan menguasai strategi gerakan, dia menyadari bahwa fikih itu selain dinamis juga berkelindan dengan kemaslahatan dan eksistensi kemanusiaan. Spirit yang diwariskan kepada kita adalah bahwa fikih tidak hanya bersifat deduktif rasional melainkan pada saat yang sama bersifat induktif kritis dimana realitas dinamika sosial politik menjadi objek yang harus dibaca dan dipahami secara kritis, konstruktif dan strategik.
Strategi serupa dilakukan oleh Kiai Muhammad Salih bin Umar al-Samarani al-Jawi (1820-1903). Dia seorang kiai penting dan sekaligus guru dari para ulama di Jawa pada awal abad 20 M, di antaranya Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hadratusysyaikh Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama). Di dalam kitab Majmu’ al-Syari’ah al-Kafiyah li al-‘Awam, dia menulis bahwa siapa saja yang memakai jas, topi dan dasi hukumnya murtad. Hadis tentang tasyabbuh dia gunakan sebagai dasar dari pandangannya ini.
Kita tahu, tiga pernik dari pakaian itu merupakan identitas yang khas dimiliki dan dipakai oleh Belanda. Ketika tidak punya mesiu, bom dan jenis senjata yang lain, Kiai Salih Darat, demikian dia dipanggil lebih akrab, menggunakan strategi kebudayaan sebagai jalan dan alat perlawanan terhadap Belanda. Konteks-konteks yang demikian, selain bisa kita gunakan memahami pandangan mereka, sekaligus juga kita bisa menemukan spirit dan pesan yang terdalam.
DNA akademik dan strategi politik inilah yang kemudian mengalir kepada para murid-muridnya, termasuk ke Hadratusysyaikh Hasyim Asy’ari, pencetus Resolusi Jihad. Dalam prinsip moralitas Jawa, kita diajarkan tentang sikap mandiri dan sekaligus berani dalam menjaga eksistensi dan marwah kemanusiaan dan tanah di mana kita dilahirkan. Sebagai ruh spiritual, cinta tanah air atau nasionalisme, sebenarnya bukan hal baru dalam khazanah di nusantara. Di Jawa kita diwarisi sebuah konsep: “Sadumuk bathuk, senyari bumi ditohi pati”. Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa juga mewariskan tridarma yang ciamik kepada kita, yaitu Melu Handarbeni, melu hangrungkebi, mulatsarira hangrasa wani.
Prinsip ini mengingatkan kita bahwa teritori, kemandirian, dan aset ekonomi merupakan hal strategis dalam percakapan dunia sekarang. Masyarakat pesantren dengan segala problem yang dihadapi, selaiknya mengambil peran strategis dalam isu-isu ini. Yang dihadapi masyarakat dan bangsa kita sekarang bukan hanya soal keagamaan, melainkan bagaimana nilai-nilai agama didayagunakan untuk merespon dan mengatasi masalah yang sedang dihadapi masyarakat dunia. Mirip ketika komite Hijaz yang diinisiasi oleh para ulama pesantren, Pancasila dirumuskan, dan Binneka Tunggal Ika menjadi jalan spiritual bangsa kita.
**
Selain strategi dakwah dan perlawanan terhadap kolonial Belanda, para ulama pesantren di masa lalu, melalui teks-teks keagamaan yang dianggit, juga melakukan konseptualisasi dan penjelasan ilmiah terhadap berbagai masalah yang muncul. Misalnya penjelasan Syeikh Mukhtar al-Bogori tentang hukum makan daging Belut yang secara artikulatif bisa kita temukan dalam kitab Al-Shawaiq al-Mugriqah lilauham al-Kadzibah. Ulama nusantara yang tinggal dan menjadi guru di Haramain ini memberikan jawaban dan sekaligus sanggahan terhadap pandangan orang Arab yang mengharamkan makan daging belut dan nyinyir terhadap perilaku orang nusantara yang makan daging belut tersebut.
Kasusnya bermula ketika para muslim Jawi naik haji dengan membawa bekal dendeng daging belut sebagai asupan protein. Melihat perilaku orang-orang Jawi ini, orang-orang Arab tertawa nyinyir. “Katanya alim dan paham agama, tapi daging ular kok dimakan”, begitulah kira-kira mereka memberikan respon.
Maklumlah. Di Arab tidak ada belut, karena bukan masyarakat agraris seperti wilayah-wilayah di nusantara. Dan belut, ketika itu, hanya ada dan hidup di lahan persawahan. Kondisi alam ini yang tidak ditemukan di dataran Arab ketika itu.
Secara historis realis, Syeikh Mukhtar kemudian menjelaskan hal-hal yang demikian dalam kitabnya tersebut. Dan setelah membaca penjelasan ilmiah yang ditulis Syeikh Mukhtar ini, orang-orang Arab akhirnya ikut juga makan daging belut.
Sikap dan strategi yang ditempuh syeikh Mukhtar ini memberikan teladan bahwa di samping perlunya jaminan kehalalan dalam dunia kuliner dan hal-hal lain, di tengah silang berita, isu dan prasangka, masyarakat diandaikan bersikap rasional dan memberikan penjelasan secara ilmiah dan artikulatif. Dalam konteks masyarakat digital sekarang yang semua orang, melalui jari-jarinya, bebas berkata-kata, berkomentar dan merespon serta menshare semua hal, kita perlu merenung sejenak, menyadari mengenai pentingnya konsep pengetahuan, pemahaman, kebenaran dan kebijaksanaan di dalam berkomunikasi, khususnya di lapak digital.
Kita tahu bahwa di era digital, manusia telah dibesarkan dalam habitus yang serba cepat, instan tapi nir makna, kehilangan kesakralan dan carut marut kebenaran. Dunia maya seperti tong sampah, semua hal ada dan dengan mudah kita mengambilnya. Habermas menyebutkan bahwa akibat situasi semacam itu beragam penyakit digital muncul, yaitu komunikasi yang terdistorsi, dehumanisasi dan pasca kebenaran alias semua orang bebas bicara semua hal tanpa memiliki kapasitas dan kredibilitas.
Di dalam kerumitan teknologi digital tersebut, masyarakat pesantren selaiknya bergerak cepat, menjadi subjek bukan objek dari teknologi digital tersebut. Etika dan moralitas digital serta fikih digital merupakan isu penting yang perlu dirumuskan dan dikembangkan dengan baik.
**
Satu hal lagi, warisan para mahaguru di pesantren yang bisa kita petik selain bidang keilmuan dan keagamaan adalah mengenai strategi politik mengamankan aset-aset ekonomi. Di Sumenep, saya pernah menemukan suatu manuskrip yang di dalamnya dibicarakan masalah tembakau. Dalam manuskrip tersebut disebutkan: wa gharasa tanbakan faka’annama zara al-nabiyy (Siapa yang menanam tembakau seakan dia berziarah ke makam Rasulullah di Madinah. Teks ini kemudian dilanjutkan, “Wa man haqqana ba’da al-dhuhri a’thahullahu hasanat” (barangsiapa yang merokok usai salat lohor maka Allah akan menganugerahinya banyak kebajikan).
Pernyataan ini tentu bukanlah hadis, tetapi dari sudut pandang politik, ia merupakan strategi suaka politik ekonomi atas tembakau sebagai salah satu aset ekonomi yang strategis di Madura. Kita tahu bahwa Sumenep sebagai salah satu penghasil tembakau terbaik di Indonesia. Oleh karena itu, dengan narasi dan gaya bahasa simbolik yang memanfaatkan artikulasi keagamaan, yaitu pahala dan ziarah ke makam Nabi, para ulama pesantren secara implisit mengajak masyarakat untuk menanam tembakau dan menikmati setiap hisapan rokok.
Bila kita letakkan dalam bingkai politik dan ekonomi di Indonesia sekarang, kisah ini menggerakkan kita untuk menjaga dan sekaligus mendayagunakan aset ekonomi dan lahan yang kita miliki untuk kemakmuran bersama seluas-luasnya. Di tengah ekonomi pasar bebas dan terbuka, aset negara selain dijaga keutuhannya juga kebermanfaatannya bagi kehidupan manusia seluas-luasnya. Tasharruful imam ‘ala al-ra’iyah manutun bil maslahah.
Inilah berbagai jalan jihad para santri di era milenial untuk memajukan dan kejayaan negeri. Peristiwa masa lalu bisa kita dayagunakan sebagai spirit menghadapi berbagai tantangan di masa kini. Mirip seperti orang memanah, selain fokus ke arah sasaran di depan, ia juga menarik tali busur ke belakang dengan kuat untuk memperoleh kekuatan yang sempurna hingga mengenai sasaran dengan tepat.