Santri Punya Modal Besar untuk Jaga Lingkungan: Belajar dari Pesantren Al-Ihya Ulumaddin Cilacap

Santri Punya Modal Besar untuk Jaga Lingkungan: Belajar dari Pesantren Al-Ihya Ulumaddin Cilacap

Dengan berbagai modal yang sangat lebih dari cukup, para santri kini selayaknya turut tanggap dan aktif mendakwahkan isu-isu lingkungan di tengah masyarakat.

Santri Punya Modal Besar untuk Jaga Lingkungan: Belajar dari Pesantren Al-Ihya Ulumaddin Cilacap

Si Mbah Chasbullah pernah ngendikan (berkata), santri kudu bertani biar gak rebutan pengimaman.”

Kalimat ini menjadi salah satu ‘buah tangan’ kami saat pulang dari pesantren Al-Ihya Ulumaddin, Cilacap yang membuat kami tersentak, bagaimana tidak, rebutan pengimaman ini sudah jadi tradisi para alumni pesantren saat sudah boyong dari pondok dan kembali ke masyarakat.

Pengimaman atau mihrab ini sering kali membuat para alumni pesantren di sebuah daerah harus bertikai satu sama lain. Sebuah masjid yang sudah memiliki imam tetap misalnya kurang memberi kesempatan kepada alumni pesantren lain yang ada di daerahnya, entah karena perbedaan almamater pesantren atau pemahaman keagamaan. Persaingan itu sejatinya ada di mana-mana, bukan hanya pengusaha atau pegawai karir, tapi juga para ustad yang notabenenya belajar agama di pesantren.

Kiai Shoiman Nawawi namanya, salah satu dewan pengasuh di Pesantren Al-Ihya Ulumaddin yang telah memberi kami oleh-oleh ini. Saat itu, kami dari redaksi Islamidotco yang bekerjasama dengan Greenpeace Indonesia bertandang ke ndalem beliau dalam rangka belajar dan meliput kegiatan santri dalam mengolah sampah dan kegiatan jaga bumi yang lain.

Kaul pengasuh Pesantren asal kota yang terkenal dengan Pulau Nusa Kambangan ini bisa dimaknai beragam. Pertama, santri tak hanya jago berdakwah, memimpin masyarakat saat salat (menjadi imam salat), tapi juga harus mampu menjadi pemimpin dalam bidang keduniawian.  Kedua, santri bisa menjadikan pekerjaan sebagai sarana dakwah, karena membimbing dan membina masyarakat tak hanya di masjid. atau Ketiga, santri harus menjadi agen perubahan lingkungan. Di antara ketiga tafsiran ini nampaknya, tafsiran ketiga ini yang lebih jarang terfikirkan. Namun sepertinya Kiai Shoiman Nawawi mengarahkan kalimat kiai Chasbullah tersebut pada poin terakhir ini.

Kiai Shoiman sendiri bukanlah sarjana pertanian atau pengurus Paguyuban Tani di daerahnya. Namun karena pesan khusus dari Mbah Chasbullah, Kiai asal Pangandaran ini kemudian belajar banyak hal tentang solusi krisis lingkungan, mulai dari pengolahan sampah, hingga pertanian. Hasil dari belajarnya itu kemudian diterapkan untuk mengolah sampah dan pertanian di pesantren Al-Ihya Ulumaddin Cilacap. Lain kali, kami tuliskan sendiri bagaimana cara Al-Ihya Ulumaddin memanfaatkan pertanian untuk makan santri dan mengubah sampah menjadi berkah.

Argumentasi Islam dan Lingkungan yang Tak Biasa-Biasa Saja

Suara tilawah dari speaker masjid pesantren menandakan adzan Maghrib akan segera berkumandang. Namun perjumpaan kami di ndalem Kiai Shoiman sepertinya masih belum akan berakhir. Kami menikmati diskusi seputar pengembangan pesantren dan isu lingkungan. Saya menganggap diskusi dan penjelasan beliau ini punya ciri khas dan tak biasa. Tak seperti ustad-ustad yang kalau ngomongin lingkungan dalilnya itu-itu saja dan retorikanya kurang menarik.

Di tengah diskusi itu, Kiai Shoiman bercerita bahwa Kiai Chasbullah Badawi pernah ngendikan agar para petani menggunakan pupuk organik. Bahkan sang kiai setengah mengultimatum bahwa jika menggunakan pupuk non-organik, petani itu sudah zalim sama tanah. Disebut zalim karena membuat tanah rusak dan kehilangan unsur hara.

Kiai Shoiman juga melanjutkan, bahwa Islam ini punya modal besar untuk peduli lingkungan. Selain modal dari Al-Quran dan hadis sebagai rujukan, muslim juga memiliki modal sejarah dan peradaban. ada salah satu kitab yang ditulis oleh ulama zaman dahulu tentang pertanian. Namun kitab ini jarang diulas oleh pengkaji saat ini. Nama kitab itu adalah Al-Filahah karya Imam Abu Zakariya Ibnu al-Awwam al-Isybili. Kitab ini diyakini ditulis sekitar akhir abad kedua belas M. Ibnu al-Awwam membagi kitabnya menjadi dua kitab. Yang pertama membahas tentang Ma’rifat al-Ihtiyar al-Aradhiin wa al-Zabul wa sifat al-Amal fi al-Gharasah wa al-Tarkib wa ma Yattashilu bi Dzalik min ma huwa fi ma’nahu wa lahiq bih (mengetahui pemilihan tanah, pupuk kandang, dan air, serta uraian tentang cara menanam, serta hal yang berkaitan dengan cocok tanam) yang kedua berkaitan dengan al-Ziraah wa maa ilaiha wa filahah al-hayawan (pertanian dan segala hal yang ada di dalamnya, serta budidaya hewan).

Saat menguraikan integrasi ilmu keislaman dengan lingkungan, Kiai Shoiman mengutip sebuah fasal (pembahasan) dalam kitab fikih yang disebut Ihya’ al-Mawat, menghidupkan tanah mati. Namun, ia tak serta merta memaknai fasal dalam fiki tersebut secara letterlijk, melainkan mengontekstualisasikan dengan era sekarang. Menghidupkan lahan mati tidak hanya sebatas menggunakan tanah yang menganggur dan non-produktif, melainkan menyelamatkan tanah dari kerusakan. Di antaranya dengan tidak asal membuang sampah plastik, melainkan mengolahnya. Selain itu juga, dengan cara menggunakan pupuk organik, agar unsur hara tanah tetap ada.

”Kasihan tanah itu, nggak mampu mengurai (sampah plastik),” tutur Kiai Shoiman saat memberi pengajian di depan para santri.

Kiai Shoiman juga mengikuti pengasuh pesantren Al-Ihya Ulumaddin terdahulu, yaitu Kiai Chasbullah Badawi yang memiliki ajaran “bagusi tanah” memperbaiki tanah.

Cerita Alumni Pesantren: Berdakwah Melalui Pertanian

Seorang santri pernah menemui Kiai Shoiman dan bercerita bahwa ia sulit sekali mengajak masyarakatnya mengaji. Namun suatu saat ketika ia mulai bertani, menjadi ketua perkumpulan tani di daerahnya, turut pergi ke sawah bersama masyarakat, dan memberikan penyuluhan pertanian modern kepada masyarakat, ia mulai dilirik. Masyarakat di sana yang bekerja sebagai petani juga mulai mau diajak ngaji, salat jamaah bersama di sawah, dan menggelar kajian rutinan.

Dengan berbagai modal yang sangat lebih dari cukup, para santri kini selayaknya turut tanggap dan aktif mendakwahkan isu-isu lingkungan di tengah masyarakat. Apalagi di tengah krisis iklim yang ada di depan mata. Karena sebenarnya ilmu yang lebih utama dan paling utama dipelajari serta diajarkan, dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim adalah ilm al-hal, ilmu yang sangat dan sedang dibutuhkan oleh masyarakat, dalam konteks krisis iklim saat ini adalah ilmu terkait penanganan krisis lingkungan.

Santri perlu memaknai kembali ajaran-ajaran nash dan karya para ulama agar lebih relevan dengan kondisi saat ini. Mari rujuk dawuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang dikutip Kiai Shoiman berikut, “Ajarkan ilmu kepada anak-anakmu, tapi untuk kehidupan yang akan datang, karena kalau diajarkan ilmu sebagaimana yang kamu dapat saat belajar, maka dia tak akan siap dengan kehidupan yang akan datang.

Wallahu a’lam.