Sampai Kapan Mau Denial dengan Teror atas Nama Agama?

Sampai Kapan Mau Denial dengan Teror atas Nama Agama?

Sampai Kapan Mau Denial dengan Teror atas Nama Agama?
foto diduga pelaku bom bunuh diri di gereja katedral makassar (sumber: Twitter)
Setiap kali terjadi aksi teror yang dilakukan oleh kelompok teror, baik yang mengakibatkan korban jiwa atau kerusakan fasilitas publik maka publik akan otomatis dibanjiri dengan narasi-narasi yang mencoba menjauhkan agama dari aksi teror tersebut.
Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa ada kelompok atau organisasi yang menjadikan agama sebagai motivasi bagi mereka untuk memilih dan memakai teror sebagai salah satu cara meraih tujuan mereka. Ini yang disebut dengan religiously-motivated terrorism.
Selain kelompok yang percaya bahwa dunia harus dirusak dulu baru bisa kembali murni, alias berpaham apokaliptik, maka ada juga kelompok teroris yang ingin menciptakan pemerintahan yang berbasis agama dan ada juga kelompok teroris yang ingin menciptakan pemurnian agama. Walaupun ada perbedaan, ketiga kelompok menjadikan agama sebagai motivasi mereka.
Kalau agama bisa dijadikan sebagai motivasi bagi kelompok atau organisasi untuk memilih dan memakai teror dalam tujuannya meraih kekuasaan maka pertanyaannya adalah apakah agama juga bisa dipakai sebagai solusi terhadap aksi teror?

Baca juga: Imam Abu Hanifah dan Teror Khawarij

Menurut saya, ada celah dalam praktik beragama yang bisa dieksploitasi oleh individu atau kelompok demi meraih tujuan duniawinya. Celah itu ada pada hakikat penghakiman tertinggi yang ada pada Sang Pencipta, menurut agama dimaksud.
Secara teologis, umat beragama percaya bahwa penghakim tertinggi, yang maha benar, dan sebutan-sebutan kesempurnaan lainnya ada pada sang pencipta. Dengan demikian maka secara teologi, yang punya otoritas untuk mengatakan siapa benar dan siapa yang salah hanya ada pada sang pencipta.
Nah, ketika hak itu ada di sang pencipta maka ada celah bagi individu atau kelompok untuk menafsirkan ajaran di dalam agama menurut versi mereka dan memposisikan penafsiran mereka sebagai penafsiran yang paling benar, termasuk menjadikan tafsir mereka sebagai alasan untuk memakai teror dalam aksi mereka.
Umat beragama lain bisa saja berargumen bahwa tafsir kelompok atau organisasi mereka itu salah, tapi argumen yang sama pun dipakai oleh kelompok/organisasi teroris dimaksud. Yang terjadi adalah kedua kelompok ini akan semakin memperkuat apa yang disebut dengan echo chamber, yaitu ketika dua kelompok saling mengklaim kebenaran versi mereka, tapi hanya pada kelompoknya masing-masing. Sederhananya adalah akan terjadi perang tafsir.
Hal ini akan diperparah ketika negara tidak mampu untuk melakukan penegakan hukum karena agama dijadikan juga dieksploitasi demi mengejar suara, dukungan dan simpatisan demi elektabilitas dan kekuasaan. Akibatnya adalah aparat keamanan pun akan semakin gamang untuk menangkal penggunaan atau eksploitasi agama.
Nah, bagaimana caranya agar agama menjadi solusi dan tidak lagi dijadikan motivasi oleh individu atau kelompok dalam memilih teror sebagai taktik demi mencapai tujuannya?
Menurut saya, sudah banyak contoh dalam praktik bernegara dan beragama, ketika negara dan umat beragama secara dewasa dan sadar memisahkan diri dari kelompk teror yang termotivasi oleh agama.
Kedewasaan ini akan membuat aparat penegak hukum tidak ragu untuk bertindak berdasarkan aturan hukum yang ada, tanpa takut bahwa apa yang mereka lakukan akan dianggap menistakan agama. Kedewasaan ini juga diharapkan bisa secara gradual meniadakan penggunaan politik identitas dalam praktik bernegara.
Tapi sepanjang kedewasaan dalam praktik beragama itu belum ada, termasuk penggunaan politik identitas dalam praktik bernegara, maka celah dalam agama akan tetap bisa dieksploitasi oleh individu atau kelompok, termasuk dengan memilih dan memakai teror demi mencapai tujuan mereka.

Sampai kapan? Mungkin sampai Sang Pencipta sebagai pemegang otoritas tertinggi itu datang dan membuat pengadilan di bumi ini. (AN)

Baca juga: Mengapa Gereja, Polisi, dan Simbol Asing Jadi Sasaran Aksi Teror di Indonesia?