Memasuki pertengahan April, ada banyak isu yang dibicarakan. Covid-19 tentu masih jadi trending. Namun ada beberapa isu selingan yang tak kalah menarik, mulai dari dentuman di Jakarta hingga kabar akan ada penjarahan oleh Anarko pada tanggal 18 April. Yang mengumumkan bukan main-main, lembaga penegak hukum!! sembari memamerkan buku hasil razia mereka.
Sebagai lembaga yang dibekali beragam kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, pernyataan ini sepertinya tidak main-main. Informasi terkait perbuatan onar itu pertama kali diungkapkan setelah aparat menginterogasi tersangka pelaku vandalisme di Banten.
Aparat langsung melakukan tindakan pencegahan dengan melakukan berbagai razia. Barang bukti pun digelar untuk meyakinkan publik. Tetapi barang bukti ini yang justru membuat banyak orang bertanya-tanya.
Saya melihat beberapa judul buku yang dijadikan barang bukti. Saya sangat akrab dengan buku-buku tersebut karena pernah saya baca, saya lihat di toko buku, atau bahkan saya miliki. Namun saya justru bingung, mengapa buku-buku semacam itu bisa dijadikan alat bukti?
Jujur, saya awam dengan proses penindakan. Namun bagi saya, kesalahan mengidentifikasi alat bukti justru bisa menjadi bumerang bagi penegak hukum. Sama persis saat menggelar bukti terorisme dengan menampilkan Al-Quran dan buku tuntunan salat.
Salah satu yang menghebohkan adalah postingan Twitter Humas Polda Jabar (@humaspodlajbr) ketika menunjukkan ‘barang bukti’ kasus vandalisme. Ada tiga buku terkenal di sana, mulai ‘Sex and Revolution’ (Jean-Paul Sartre), ‘Negeri Para Bedebah’ (Tere Liye), dan ‘Seni untuk Bersikap Bodo Amat’ (Mark Manson).
Twit tersebut langsung jadi perbincangan di Twitter. Isinya mempertanyakan mengapa buku-buku tersebut dijadikan barang bukti. Meski pun pada akhirnya Twit tersebut dihapus (saya sudah tidak bisa mengakses jam 11) dan melalui media online aparat menjelaskan itu bukan barang bukti, melainkan ‘barang-barang yang diamankan’.
Apapun motifnya, publik terlanjur menelan informasi tersebut. Kini, publik bukannya takut dengan aksi penjarahan, malah takut dengan banyaknya razia buku yang tidak tepat sasaran. Lha, bukti vandalisme saja novel dan buku-buku yang tidak terkait dengan vandalisme, lalu apa yang bisa diharapkan dari razia selain memberangus kebebasan berpendapat? Mungkin begitu yang menghiasi kepala banyak orang saat ini.
Telegram polisi: CARI BUKU YANG COVERNYA MOLOTOV, POKOKNYA YANG ADA GAMBARNYA API, KALAU BISA, ADA BOTOLNYA.
Saat konpers, kumpulan cerita Eka Kurniawan dijadikan barbuk: Corat-Coret di Toilet.
(Inilah hasil kami mencegah rencana anarko melakukan penjarahan, kata polisi)
— fahri salam (@fahrisalam) April 12, 2020
Ternyata, jauh sebelum kasus Tere Liye, kasus kesalahan juga pernah terjadi. Saya ingat sebuah seminar penulisan yang saya ikuti. Saat itu yang mengisi adalah sastrawan Ahmad Tohari. Ia bercerita bagaimana novelnya berjudul ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ pernah membuatnya hampir dijebloskan ke penjara pada akhir 1980-an. Alasannya, novelnya tersebut menceritakan sejarah kelam bangsa di tahun 65. Gus Dur kemudian yang membuatnya tidak jadi dipenjara.
Peristiwa ‘salah tangkap’ seperti ini memang patut disayangkan. Buku, bagaimana pun isinya, adalah buah pikiran. Untuk melawan buku, jika tidak setuju dengan isinya, ya tinggal dibuat buku tandingan. Hal ini menciptakan kultur negara demokratis yang sehat.
Dulu, intelektual muslim mencontohkan dengan baik bagaimana pemikiran harus dilawan. Imam Al-Ghazali yang semasa muda sangat tertarik dengan filsafat kemudian mengalami pergeseran pemikiran. Ia kemudian menyerang filsafat yang dulu disukainya. Al-Ghazali menulis Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Filsafat).
Bagaimana ulama lain merespons? Ibnu Rusyd (Alverous), salah seorang filsuf muslim tidak sependapat dengan Al-Ghazali. Ia kemudian menulis kitab Tahafut Al-Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan) untuk menanggapi tulisan dari Al-Ghazali. Jika demikian, publik sebagai pembaca akan semakin cerdas dan bijak.
Pemberangusan buku hanya menambah beban intelektual Indonesia. Padahal, pada tahun 2016 minat baca di Indonesia sangat rendah. UNESCO menyebut bahwa minat baca masyarakat kita hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang, hanya 1 saja yang rajin membaca. Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang diriset oleh UNESCO. Kita hanya lebih baik dari negara bernama Botswana, yang bahkan nama negaranya sangat asing di telinga kebanykan kita.
Gaes, Indonesia adalah negeri muslim terbesar di dunia. Tahukah kamu mengapa dulu peradaban Islam maju? Ya karena semua pendapat dihargai. Yang disebut era kemunduran Islam adalah ketika penguasa menentukan mana bacaan yang boleh dan mana bacaan yang tidak boleh. Wallahua’lam.
BACA JUGA Razia Buku: Melanggengkan Kebodohan, Menuai Ketakutan Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini