Seorang teman bercerita pengalamannya berinteraksi dengan kawan-kawan yang berbeda keyakinan dalam satu grup whatsapp. Dengan gaya medoknya, teman saya yang berasal dari Jawa ini mendapat pertanyaan tajam dari temannya yang berbeda keyakinan atas masalah Salmafina Sunan.
“Kenapa kalau non-muslim yang convert (maklum, kata teman saya, temannya yang bertanya itu anak Jaksel yang sering menggunakan bahasa campuran) ke muslim kok selalu dibangga-banggakan, tapi kalau muslim yang convert ke non-muslim kok di-bully?”
Saya penasaran dan ingin sekali mendengar jawabannya. Sayangnya, ia tak langsung menjawab, ia membagikan salah satu unggahan akun gosip di instagram dan meminta teman-teman di grup whatsappnya untuk membaca satu-persatu komentar di unggahan tersebut sambil menambahkan catatan, “Coba hitung, berapa banyak komentar yang positif dibanding komentar negative?”
Semua orang yang ada di grup tersebut hampir sepakat kalau komentar negatif lebih mendominasi. Tak puas dengan hal itu, seisi grup mempertanyakan relevansi komentar negatif yang ada pada unggahan akun gosip tersebut dengan bullying yang menimpa Salmafina.
Teman saya hanya menjawab, “Ya, karena ada dunia maya, ada medsos. Coba kalau nggak ada, nggak ada yang ngebulli, kan? Heheh”
Walaupun sama sekali tak ada kaitannya dengan pertanyaan teman-teman di grup Whatsappnya, tapi saya pikir, ada benarnya jawaban aneh teman saya ini. Dalam penelitian We Are Social, Indonesia menjadi negara ke-5 pengguna internet terbesar di dunia.
Di sisi lain, hasil penelitian Central Connecticut State University (CCSU) menunjukkan bahwa tingkat literasi di Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Bisa dibayangkan, dengan tingkat literasi yang rendah, tapi paling berisik di internet, apa saja yang dibicarakan?
“Eh, kalau zaman dahulu, saat ada sahabat yang keluar dari Islam, kira-kira dibully nggak ya sama Rasulullah atau sahabat-sahabat yang lain?” Teman saya ini malah balik bertanya ke saya.
Saya jawab lagi, “Zaman Nabi, nggak ada medsos, bro!” Kitapun serentak tertawa. Saya pun melanjutkan cerita saya.
Pada masa Nabi, sama sekali tidak pernah mengeksekusi orang yang hanya sekedar murtad. Alfi Syahriati, dalam sebuah penelitiannya menunjukkan, walaupun Nabi SAW pernah memerintahkan sahabat untuk membunuh orang yang keluar dari Islam, namun murtad bukanlah alasan satu-satunya.
Biasanya, orang-orang yang diminta Rasul untuk dibunuh selalu berkaitan dengan keamanan negara, seperti orang yang murtad tersebut mengancam membunuh seseorang, menyebarkan rahasia negara dan lain sebagainya.
Dalam hadis yang biasa digunakan sebagai landasan untuk membunuh orang murtad, ada bagian-bagian hadis yang seharusnya dikutip secara utuh dan tak boleh dikutip sepotong-potong.
عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ فَأَحْرَقَهُمْ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Dari ‘Ikrimah mengatakan, beberapa orang Zindiq diringkus dan dihadapkan kepada ‘Ali, lalu Ali membakar mereka. Kasus ini terdengar oleh Ibnu Abbas, sehingga ia berujar; ‘Kalau aku (menjadi orang yang bertanggung jawab menghukum), aku tak akan membakar mereka karena terdapat larangan Rasulullah Saw: “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah” dan aku tetap akan membunuh mereka sesuai sabda Rasulullah Saw: “Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah!”
Yang perlu diketahui dari hadis ini adalah, bahwa pada saat itu Ali bin Abi Thalib sedang melawan kafir zindiq. Zindiq dalam hal ini adalah orang yang menyebunyikan kekafirannya dan menampakkan dirinya sebagai seorang muslim atau orang munafiq. Syahriati mengungkapkan bahwa ilat dibunuhnya orang tersebut untuk menjaga keamanan umat Islam (hifdz an-nafs), bukan hanya sekedar murtad.
Hal ini bisa jadi karena mereka merencanakan sesuatu. Walaupun terlihat jelas bahwa keputusan Ali sendiri mendapat penentangan dari Ibn Abbas. Selain itu, dalam sejarahnya, Islam juga memiliki trauma dengan keberadaan kaum munafiq ini.
Hal ini diperkuat dengan hadis lain yang menjelaskan hukuman mati bagi munafik. Badruddin al-Aini dalam Umdatul Qari menjelaskan, bahwa yang dimaksud hukuman mati untuk munafik ini adalah orang munafik yang mengajak orang lain untuk melakukan pembangkangan kepada Amirul Mukminin (sebagai kepala negara) dan keluar dari Islam, jika tidak, maka ia hanya dihukum sesuai keputusan kepala negara.
Imam an-Nawawi dalam Syarh al-Minhaj ketika menjelaskan hadis yang berkaitan dengan pembunuhan selalu mengaitkan hal itu dengan solusi yang paling akhir. Imam an-Nawawi mengungkapkan Rasul SAW sebenarnya ingin mencegah perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan hal yang membahayakan kaum muslim, namun pencegahan tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dan elegan.
Jika tidak bisa dicegah dengan cara yang baik, maka baru diminta untuk berperang. Jika setelah diperangi masih mengulangi kesalahannya, maka solusi terakhir adalah dibunuh, itupun jika hanya itu satu-satunya untuk mencegah perbuatannya tersebut.
Lalu mengapa solusi terakhir saat itu harus diperangi dan dibunuh?
Pembunuhan dan peperangan pada abad pertengahan saat itu merupakan suatu hal yang lazim. Jika kita membaca Sirah Ibn Hisyam, dikisahkan bagaimana orang Arab harus bertahan dan berperang untuk mempertahankan sumber air. Pada masa seperti itu, berperang dan membunuh adalah kebutuhan hidup. Suku yang tak mampu bertahan akan ‘digilas’ lawan. Hal semacam ini juga lazim terjadi pada masa yang sama di belahan lain, Eropa misalnya.
Dalam sejarah, beberapa sahabat sempat keluar dari Islam, bahkan jauh sebelum Rasulullah SAW menjadi kepala negara Madinah saat itu. Dalam riwayat al-Hakim, Nasai dan Ahmad disebutkan bahwa para sahabat yang tidak percaya dengan kejadian Isra Miraj Nabi SAW memilih keluar dari Islam. Oleh Imam at-Thabari dalam Jamiul Bayan, disebutkan sekitar 60 orang yang murtad dalam kejadian itu. Namun Rasulullah tidak memerintahkan untuk membunuh 60 orang ini.
Riwayat al-Baladzuri dalam Ansab al-Asyraf, juga menyebutkan ada dua orang yang murtad setelah hijrah ke Habasyah. Dua orang tersebut adalah Ubaidullah bin Jahsy dan as-Sukran. Keduanya murtad dan wafat di Habasyah. Seperti kejadian Isra Miraj, Rasul juga tidak memerintahkan para sahabat untuk mengejar keduanya dan membunuhnya.
Ada dua hal yang bisa kita telisik dari peristiwa murtadnya 60 orang saat peristiwa Isra Miraj dan dua orang ketika berada di Habasyah, serta mengapa Rasul tidak memerintahkan untuk membunuh mereka.
Pertama, saat itu negara Madinah belum berdiri. Peristiwa murtadnya 60 orang tersebut adalah perisitiwa personal dan hanya berkaitan dengan kepercayaan yang ia miliki. Tidak (belum) ada sama sekali upaya mereka untuk mengancam keamanan Nabi, apalagi saat itu keadaan umat Islam baru sedikit, sehingga setahun setelahnya (622 M) saat nabi dan umat Islam terancam, mereka lebih memilih hijrah ke Madinah.
Kedua, ketika dua sahabat yang hijrah ke Habasyah murtad, Rasul tidak memerintahkan untuk membunuh mereka karena murtadnya mereka tidak akan mengancam keselamatan kaum muslim. Hal ini karena raja Habasyah sendiri bersahabat baik dengan Rasul, sehingga tak dimungkinkan adanya pemberontakan dan semacamnya.
Sahabat sendiri atas peristiwa murtadnya mereka tidak ingin ambil bagian untuk berkomentar, apalagi membully hingga membunuh mereka. Belum ada sumber atau literatur yang penulis temukan terkait komentar sahabat atas murtadnya 60 orang saat Isra Miraj dan dua orang saat hijrah ke Habasyah.
Mungkin sahabat zaman dahulu masih mikir-mikir, “Daripada sibuk komentar iman orang lain, mending mikirin iman sendiri yang masih bolong-bolong!”
Wallahu a’lam.