Kisah Murtad Cut Fitri Handayani: Apakah (Tidak) Boleh Pindah Agama di Indonesia?

Kisah Murtad Cut Fitri Handayani: Apakah (Tidak) Boleh Pindah Agama di Indonesia?

Membaca kisah Cut Fitri Handayani yang pindah agama dan dipersekusi. Apakah tidak boleh pindah agama di Indonesia?

Kisah Murtad Cut Fitri Handayani: Apakah (Tidak) Boleh Pindah Agama di Indonesia?

Baru-baru ini, santer tersebar di media sosial tentang Cut Fitri Handayani, seorang perempuan asal Aceh yang keluar dari agama Islam (murtad), lalu memeluk Kristen yang menjadi keyakinan barunya. Ia kemudian mendapatkan kecaman luar biasa dari keluarganya, bahkan ia mengalami persekusi dan fitnah yang dilancarkan dari pihak keluarga.

Sekarang, Fitri sudah memiliki suami baru seorang Kristen. Dalam kronologinya, diceritakan bahwa keluarganya yang tidak terima, menuduh bahwa ia dibawa kabur atau diculik oleh seorang debt collector Kristen kemudian dicuci otaknya untuk menerima Kristen, bahkan kabarnya sampai nyaris melupakan keluarganya.

Kemudian keluarga Fitri, termasuk ibunya yang sudah tua, beramai-ramai menjemput Fitri di kediamannya sekarang, di Medan, Sumatera Utara. Fitri berusaha dipaksa kembali ke Aceh namun ia menolak. Fitri tetap tinggal di Medan, akan tetapi kedua anak Fitri dirampas dan dibawa pulang ke Aceh. Yang lebih parah, ada suatu kelompok di Langsa, Aceh, yang hendak secara paksa membawa Fitri kembali ke Aceh dan memaksanya kembali memeluk Islam. Banyak video amatir yang merekam kejadian tersebut dan tersebar di berbagai media sosial.

Kelompok ini bahkan sempat meminta Dinas Sosial, aparat hukum, dan FPI setempat untuk memaksa Fitri kembali ke Aceh. Ada juga seorang pemuka agama yang mengecam tindakan Fitri memeluk Kristen.

Tak lama, muncul video di kanal Youtube berisi klarifikasi yang disampaikan oleh Fitri langsung terkait perpindahannya dari Islam ke Kristen. Ia mengatakan bahwa semua yang dituduhkan keluarga kepadanya tidaklah benar. Ia melanjutkan dengan tangis sesenggukan bahwa proses keluarnya dari Islam dan memeluk Kristen dilakukannya secara sadar dan sehat jasmani maupun rohani serta tanpa paksaan.

Video tersebut merupakan respon atas tuduhan yang dilontarkan keluarganya kepadanya. Tangisannya pun pecah ketika ia meminta anaknya dikembalikan, ia sempat memohon untuk hanya meminta satu anak saja jika memang tidak bisa keduanya.

Fenomena tersebut menciptakan pernyataan retorik, “apakah boleh melakukan perpindahan agama di Indonesia?”. Jawabannya tentu boleh banget! Namun, jawaban itu ringan sekali diucapkan jika fenomenanya adalah perpindahan seseorang dari Kristen, atau agama lain, ke Islam. Orang-orang yang kemudian disebut mualaf ini justru dielu-elukan setelah memeluk Islam dan bahkan “langsung” menjadi pemuka agama dengan slogan “mantan pastor”, dan lain sebagainya.

Tapi bagaimana jika fenomenanya terbalik, dari Islam ke agama lain. Kristen, misalnya. Seperti kasus yang dialami oleh Cut Fitri Handayani di atas yang ternyata berbuntut tindakan tidak menyenangkan. Langsung maupun tidak langsung, kejadian yang menimpanya tersebut termasuk salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Kekecewaan keluarga besar Fitri atas keputusannya untuk keluar dari Islam dan memeluk Kristen itu sangat wajar dirasakan. Namun, mereka tetap tidak memiliki hak sedikitpun untuk memaksa Fitri meninggalkan agama barunya, apalagi melakukan persekusi. Mengambil kedua anak Fitri secara paksa juga termasuk perbuatan yang justru sangat tidak mencerminkan Islam sama sekali.

Sebagian Muslim seakan langsung tersulut emosi dan tidak terima ketika ada salah satu kaumnya yang keluar dari Islam, dan memeluk keyakinan lain. Memangnya apa alasan yang tepat dan diterima untuk menolak perpindahan agama?

Tulisan ini bukan dalam kapasitas membolehkan, apalagi mendorong orang lain untuk keluar dari agama Islam.Tulisan ini hanyalah hasil keresahan penulis terhadap keputusan seseorang yang dibatasi bahkan diintervensi melalui persekusi, juga keprihatinan dalam melihat tindakan orang-orang Islam yang justru tidak mencerminkan nilai Islami sama sekali.

Jika mengacu pada Undang-Undang, dijelaskan dalam pasal 28 E UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Setiap orang berhak meyakini kepercayaan sesuai dengan hati nuraninya”.

Dalam konteks Islam, tentu kita boleh saja mengatakan bahwa Kristen itu agama sesat dan tidak diterima di sisi Allah. Cut Fitri Handayani tersesat dan akan masuk neraka. Namun, bagaimana jika Fitri sendiri merasa yakin bahwa Kristen adalah agama yang benar? Mengapa orang lain harus marah ketika ia tidak menanggung beban atas keputusan Fitri sendiri. Kecewa memang boleh, namun tentu tidak dibarengi dengan tindakan-tindakan yang justru mencoret citra Islam sendiri. Jangan-jangan, justru tindakan-tindakan tersebut yang mempengaruhi persepsi orang terhadap Islam. Dari sini, tampaknya kita perlu berhati-hati dan instropeksi diri.

Jika para mualaf dan mereka yang berbondong-bondong menjadi “ustadz” dadakan, yang justru isi ceramahnya hanya menjelek-jelekkan agama sebelumnya saja dielu-elukan, akan tetapi ketika ada satu orang saja yang masuk Kristen, mereka langsung kebakaran jenggot, saya takut bahwa kedepannya, Islam akan dipandang sebagai agama paksaan, terbelakang dan jauh dari toleransi. Termasuk fenomena di luar negeri yang bahkan membunuh orang-orang murtad.

Para pemuka agama dan pendakwah memang wajib mensyi’arkan ajaran Islam. Apalagi keluarga sendiri jika ada salah satu kerabatnya yang keluar dari jalan yang lurus. Namun, persoalan hati, bukankah hanya Allah Swt. yang mengaturnya. Semua keputusan individu seharusnya dijamin oleh sebuah hukum, dan ternyata UUD RI telah mengaturnya dalam pasal yang sudah disebut di atas.

Allah Swt. telah memberikan manusia akal pikiran dan hati nurani untuk menentukan pilihannya, dan Allah Swt. sendiri yang memberikan disclaimer dalam al-Qur’an, do it with your own risk, apa yang kamu putuskan dan lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak.

Mari kita gunakan akal sehat dalam beragama, jangan sampai kelak Islam tidak lagi dilihat sebagai ajaran yang membawa keamann dan kedamaian. Jangan sampai kelak kita kehilangan jargon Islam rahmatan lil ‘alamin karena ulah kita sendiri yang mempraktikkan cara beragama secara sempit.

Wallahu a’lam bisshawab.