Islami.co (Haji 2024) — Ada beberapa hal yang perlu diketahui jemaah dalam rangkaian haji. Salah satunya terkait salat Arbain di Masjid Nabawi. Beberapa jemaah menganggap salat Arbain bagian dari rangkaian ibadah haji yang harus dilakukan.
Terlebih seperti saat ini, kondisi jemaah cukup lelah pasca Armuzna. Sehingga memforsir tenaga untuk melakukan salat Arbain bisa berdampak pada kesehatan.
Padahal salat Arbain bukanlah suatu kewajiban, bahkan tidak termasuk dalam rangkaian ibadah haji yang dimuat dalam berbagai kitab fikih ulama salaf.
Fatwa Dar al-Ifta Mesir tentang shalat Arbain: Hanya sunnah
Dar al-Ifta al-Misriyyah, lembaga fatwa resmi Mesir mengeluarkan sebuah fatwa bahwa salat Arbain di Masjid Nabawi bukanlah sebuah kewajiban. Jika melakukan salat Arbain dapat menimbulkan madharat, seperti kecapean lalu berakibat pada sakit, maka tidak harus dilakukan, mengingat bahwa salat Arbain ini hanya sunnah. (Fatawa Dar al-Ifta al-Mishriyah).
Syekh Athiyyah Saqar, salah satu mufti Mesir juga menyampaikan hal sama ketika menjawab suatu pertanyaan tentang jemaah haji yang tidak memungkinkan melakukan salat Arbain.
، فهذا أمر مندوب وليس بواجب
Artinya, “Jika berdampak darurat pada bepergian sebelum mengerjakan salat Arbain, maka tidaklah masalah. Karena salat Arbain hanya sunnah, bukan perkara wajib.” (Athiyyah Saqr, mufti Dar Ifta al-Mishriyyah, 1997)
Oleh karena itu, jemaah haji tak perlu memaksakan diri dan memforsir tenaga demi bisa melaksanakan salat Arbain. Apalagi jika fisik lelah pasca puncak haji (Armuzna). Yang terbaik saat ini adalah menjaga kesehatan sehingga bisa kembali ke tanah air dalam keadaan sehat.
Dar Ifta al-Mishriyah juga menambahkan bahwa jemaah haji bisa tetap mendapatkan pahala salat Arbain meskipun tidak bisa melaksanakan secara lengkap, karena pertimbangan kesehatan dan madharat yang telah disebutkan sebelumnya. Caranya, dengan tetap diniatkan, tapi tak perlu dipaksakan. Athiyah Saqar berpedoman pada hadis berikut:
من هم بحسنة ولم يعملها كتبت له حسنة
Orang yang berkeinginan mengerjakan suatu kebaikan, tapi tidak dapat melakukannya, maka ia sudah ditulis mendapatkan kebaikan tersebut.
Salat Arbain bukan bagian dari Rangkaian Ibadah Haji
Dalam berbagai kitab fikih, baik fikih tradisional maupun modern, tidak ditemukan istilah salat Arbain dalam rangkaian ibadah haji. Term ini juga tidak termasuk dalam Rukun, Wajib, maupun Sunnah Haji. Hadis yang berkaitan dengan salat Arbain juga tidak masuk dalam kitab al-Hajj yang ditulis para ulama hadis kanonik.
Bahkan, Syekh Amin as-Syinqithi dalam Adwa’ al-Bayan menyebut, salat Arbain juga tidak berkaitan dengan ibadah haji, bahkan sama sekali tidak berkaitan dengan adab ziarah ke makam nabi.
كَمَا نَعْلَمُ أَنَّ هَذِهِ الْأَرْبَعِينَ صَلَاةً لَا عَلَاقَةَ لَهَا لَا بِالْحَجِّ وَلَا بِالزِّيَارَةِ
Sebagaimana kita tahu, salat Arbain tidak terkait dengan rangkaian ibadah haji maupun ziarah.
Adab ziarah ke Nabawi atau Raudhah menurut as-Syinqithi, hanya cukup dengan melakukan salat sunnah tahiyyatul masjid dan salam kepada Rasul SAW beserta dua sahabatnya: Abu Bakar dan Umar.
Artinya, Sesungguhnya (adab) ziarah sudah sempurna dengan salat tahiyyatul masjid dua rakaat, dan membaca salawat salam kepada Rasul SAW beserta dua sahabatnya Radhiyallahu anhu. Kemudian membaca dua kebaikanuntuk diri sendiri dan seluruh muslim. Jika ingin, boleh pulang, atau duduk sebentar.
Tujuan Salat Arbain: Latian Salat Berjamaah tanpa Terputus
Salah satu hadis yang menyebutkan term Arbain salatan (salat Arbain) adalah riwayat Anas bin Malik berikut:
مَنْ صلَّى في مَسْجدي أربعيَن صَلاةً، لا يَفوتُه صَلاةٌ، كُتِبَتْ له بَراءةٌ مِنَ النَّارِ، ونَجاةٌ مِنَ العَذابِ، وبَرِئَ مِنَ النِّفاقِ.
Orang yang salat di masjidku (masjid Nabawi) 40 kali salat, tak tertinggal satu pun, maka ia akan dicatat terbebas dari api neraka, selamat dari azab, dan bebas dari nifaq.
Syekh Amin as-Syinqithi menjelaskan secara gamblang perdebatan ulama terkait hadis ini. Menurutnya, para ulama tidak sepakat dengan kesahihan hadis ini.
Meskipun demikian, hadis ini masih boleh diamalkan, karena tidak berkaitan dengan halal haram. Selama berkaitan dengan fadhail amal, hadis daif boleh diamalkan.
Selain hadis di atas, ada juga hadis lain yang berkaitan dengan salat Arbain, namun tidak dikhususkan di masjid Nabawi, melainkan tempat secara umum, asalkan dilaksanakan secara berjamaah. Jumlah salatnya juga bukan 40 kali, melainkan 40 hari.
مَنْ صَلَّى أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ، يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى، كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
Orang yang salat selama 40 hari berjamaah, yang mendapati takbir pertama rakaat pertama, maka ia akan mendapat dua kebebasan: terbebas dari api neraka, dan bebas dari nifaq.
Syekh as-Syinqithi kemudian menjelaskan bahwa hadis tentang salat Arbain ini tujuannya adalah untuk latihan salat berjamaah, sekaligus melatih jemaah haji agar tetap berjamaah pasca pulang dari tanah suci. Sehingga jika tujuannya demikian, maka yang paling penting adalah melakukan salat berjamaah secara istiqamah di tanah air, tidak hanya pada saat di Masjid Nabawi.
وَلْيُعْلَمْ أَنَّ الْغَرَضَ مِنْ هَذِهِ الْأَرْبَعِينَ هُوَ كَمَا أَسْلَفْنَا التَّعَوُّدُ وَالْحِرْصُ عَلَى الْجَمَاعَةِ. أَمَّا لَوْ رَجَعَ فَتَرَكَ الْجَمَاعَةَ وَتَهَاوَنَ فِي شَأْنِ الصَّلَاةِ، عِيَاذًا بِاللَّهِ، فَإِنَّهَا تَكُونُ غَايَةَ النَّكْسَةِ.،
Sebaiknya diketahui bahwa tujuan Arbain sebagaimana disebutkan sebelumnya (dalam kitab Adwa al Bayan) adalah untuk menjaga salat jamaah. Adapun jika pulang (tanah air setelah haji) lalu meninggalkan salat Jamaah dan melalaikan salat, berlindunglah kepada Allah, sesungguhnya itu merupakan puncak kemunduran. (Syekh Amin as-Syinqithi, Adwa al-Bayan fi Idhahi Quran bil Quran)
Dari beberapa penjelasan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa salat Arbain hanya bagian dari pelengkap dari rangkaian ibadah haji, bukan utama dalam haji dan bukan sebuah kewajiban. Salat Arbain juga tidak termasuk dalam rukun, wajib, maupun sunnah haji sebagaimana ditetapkan para ulama. Jika tidak dilakukan, tentu tidak akan mengurangi pahala ibadah haji.
Bahkan, jika salat Arbain dapat menimbulkan madharat, seperti sakit hingga meninggal dunia karena kecapean akibat memforsir tenaga pasca puncak haji, maka sebaiknya tidak dilakukan. Karena menjaga kesehatan (hifdzun nafs) adalah kewajiban, sedangkan salat Arbain hanya sunnah. Mendahulukan yang wajib lebih baik dari pada mengerjakan sunnah. Dalam kaedah fikih disebutkan,
الْوَاجِبُ لَا يُتْرَكُ لِسُنَّةٍ
Artinya, “Perkara yang wajib tidak boleh ditinggalkan hanya untuk mengerjakan hal yang sunnah.”
Dalam kaedah fikih lain juga disebutkan,
, دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan.”
Wallahu A’lam.