Badiuzzaman Said Nursi – selanjutnya ditulis Said Nursi – (1877-1960) adalah orang besar pada zaman besar. Sebab, sepeninggalnya, dia dikenal dengan reputasi sebagai tokoh pembaharu Islam yang moderat dan berpikiran modern di Turki. Pengaruh pemikirannya bukan hanya dalam bidang pendidikan, tetapi juga dalam bidang akidah, tasawuf, ilmu kalam, sejarah, dan bahasa. Selain di Turki, pemikirannya juga – disebut-sebut – memengaruhi dunia Islam.
Orang besar ini hidup pada zaman besar. Sebab, selama hidup lebih dari delapan dasawarsa, banyak peristiwa besar yang terjadi di dunia. Dia tidak hanya mengalami bahkan terlibat dalam Perang Dunia I, tetapi juga mengalami geger Perang Dunia II. Dia tak hanya menyaksikan detik-detik kehancuran Kekhalifahan Turki Usmani yang menuai pro-kontra di dunia Islam, tetapi juga merasakan masa transisinya menuju tatanan baru, Republik Turki.
Alih-alih pasif, pada zaman besar ini dia justru aktif terlibat. Sebagai sosok yang dididik secara ketat oleh pendidikan keislaman dan dipengaruhi secara kuat oleh Islam, maka semangat keislamannya membuncah. Laksana ideolog, dia tidak hanyut dalam fenomena Perang Dunia I dan II serta punahnya Kekhalifahan Turki Usmani menjadi Republik Turki. Melainkan, dia beringsut mencari jawaban atas kekacauan yang terjadi.
Dari permenungannya, sampailah dia pada akar persoalan: materialisme. Bukan hanya komunisme, melainkan kapitalisme juga – menurutnya – masalah hilir yang mengacaukan Turki dan dunia saat itu. Oleh karenanya, dia kembali ke dasar spiritualisme Islam. Selain menyelamatkan jiwanya, dia juga bertekad untuk menyelamatkan masyarakat Turki dari pengaruh materialisme, baik dalam bentuk komunisme maupun kapitalisme.
Kendati banyak kekurangan, namun – tetap saja – hancurnya Kekhalifahan Turki Usmani pukulan keras bagi dunia Islam, termasuk bagi Said Nursi. Namun, alih-alih gontai dan terkapar, ulama yang satu ini justru tetap berdiri dan menjaga semangatnya untuk menyebarkan pengaruh Islam ke masyarakat. Tekadnya, Turki boleh menjadi republik yang sekuler, tapi masyarakatnya harus islami. Kelak, jika zaman mendukung, maka Turki akan berganti lagi menjadi negara islami.
Oleh karena itu, di sela-sela hukuman yang mengisolasi fisiknya, dia fokus menulis. Benar saja, fisiknya dikerangkeng tapi imajinasinya bebas dan tulisannya menggema ke berbagai penjuru dunia. Ada lebih dari 130 risalah yang lahir dari kearifannya. Risalah-risalah tersebut dikumpulkan ke dalam Kulliyat Rasa’il an-Nur (Koleksi Risalah Nur). Isinya empat seri utama: al-Kalimat, al-Maktubat, al-Lama’at, dan al-Syu’a’at.
Jelas, bukan tulisan biasa. Melainkan Risalah Nur merupakan eksplorasi pemahaman keislaman seorang Said Nursi yang cemerlang. Kecemerlangannya sendiri diafirmasi gurunya, Syeikh Fathullah Effendi, sehingga Said Nursi dijuluki Badiuzzaman (kekaguman zaman). Selain itu, Risalah Nur bukanlah tulisan biasa karena dirangkai dengan mengikutkan emosi (penjiwaan) penulisnya yang adalah pejuang perang dan pejuang pendidikan.
Bagaimana sejarah – yang relatif – lengkap Said Nursi, Turki, dan Risalah Nur ini? Bacalah “Biografi Badiuzzaman Said Nursi” yang diterbitkan Risalah Nur Press dan dicetak untuk pertama kali pada Februari 2020. Diterjemahkan oleh Saifullah Kamalie, ahli bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah, judul aslinya “Sirah Badi’uzzaman Said an-Nursi”. Dengan xxx + 1004 halaman, buku ini terbilang tebal dan memerlukan ketekunan tertentu untuk membacanya.
Kalau ada kritik, maka kritik terhadap buku ini adalah banyaknya puja-puji yang dilantunkan kepada figur Said Nursi. Terutama hal itu akan terasa berlebihan menurut para pembaca yang gandrung pada paparan fakta-fakta dan analisa yang kaya dalam historiografi. Namun dalam bentuknya seperti sekarang, buku ini tetap mampu menampilkan Said Nursi yang manusiawi: seorang Muslim yang gelisah lalu menemukan ketenangan jiwa dan mendapatkan semangat dari Islam.
Sebagaimana dikatakan tim penyusunnya, secara garis besar, sejarah hidup Said Nursi bisa dibagi menjadi dua babak. Pada babak kesatu, sejarah kehidupan figur ini hingga berusia 50 tahun. Dalam buku ini, hal itu dipaparkan pada Bagian Pertama (Periode Awal Kehidupan Said Nursi). Dimulai dari kelahiran, kisahnya berlanjut ke tahap pertumbuhan, tahap pembelajaran, bertempat tinggal, sampai kedatangannya di Istambul dan terjun ke kancah politik.
Said Nursi bukan hanya turut bertempur dalam Perang Dunia I, tetapi juga pernah ditawan di Rusia. Pasca bebas, dia kembali ke Istambul dan aktif di Darul Hikmah al-Islamiyah. Selain itu, dia bergabung dengan militer nasional Turki dan mengabdi sebagai tentara. Tidak lama berselang, dia berangkat ke Ankara dan berkiprah sebagai anggota parlemen di kota itu. Akhirnya, babak ini dipungkas dengan perjalanan uzlahnya ke Van, tanah kelahirannya, di Turki timur.
Pada babak kedua, Said Nursi – sebagaimana diterangkan tim penyusun buku ini – menunaikan pengabdian besarnya, yaitu pengabdian terhadap iman dan Al-Qur’an. Babak ini tampak pada bagian kedua (Periode Barla) hingga bagian akhir, yaitu bagian kesepuluh (Perkembangan Risalah Nur di Luar Negeri). Jelas melanjutkan kisah terakhir pada babak kesatu, babak ini dimulai dengan peristiwa dihukumnya Said Nursi dengan hukuman pengasingan oleh penguasa.
Peristiwa itu terjadi ketika dia tengah beruzlah ke Turki Timur, lantas dia diasingkan dan dijadikan tahanan rumah di Desa Barla, sebuah desa terpencil di sebelah barat kota Isparta, Turki barat. Seperti karya tulis fenomenal lainnya dari para pejuang di berbagai negara, dari pengasingan ini, Said Nursi pun melahirkan Risalah Nur. Karya tulisnya ini peninggalan penting dan paling direkomendasikan untuk dibaca dibanding biografinya ini yang personal sentris dan fana.
Sebab, Risalah Nur menjawab beberapa pertanyaan mendasar yang sering ditanyakan orang-orang di sepanjang zaman: “Siapakah saya?”, “Dari mana saya berasal?”, “Kemana akan pergi?”, “Apa tugas saya?”, “Dari mana asal makhluk-makhluk ini?”, “Bagaimana kesudahannya?”, “Apa esensi dan hakikatnya?” dan seterusnya. (AN)