Sebelum membaca bagian ini, silahkan baca bagian sebelumnya.
Ketiga, keterlibatan kaum Orientalis dalam imperialisme. Tuduhan ini, kata Warraq, menjadi satu perhatian serius Said. Menurut Warraq, Salah satu tesis utama Said adalah bahwa Orientalisme bukan kegiatan ilmiah yang tidak memihak, tetapi sebuah upaya politis, dan kaum Orientalis sendiri memang sudah menyiapkan tanah yang subur untuk dan berkolusi dengan imperialis.
Jadi, menurut Warraq, Said memang sudah “mengunci” bahwa kaum orientalis berkolusi dengan imperialis untuk kepentingan imperialisme. “Sebelum fakta-fakta ada tentang studi Orientalisme, Orientalisme sendiri sebelumnya memang sudah membenarkan suatu model pemerintahan kolonial”, begitu kata Said.
Kaum Orientalis memang sudah menyiapkan pengetahuan untuk membuat Orient (Timur) tetap terkendali. Menurut Said lagi “….semakin banyak pengetahuan yang dibutuhkan, maka semakin banyak pula kekuatan yang sangat menguntungkan untuk mengontrol”.
Tesis Said ini, menurut Warraq, sesuai dengan pandangan seorang pemikir sosialis Koptik, Anwar Abdel Malek, bahwa Timur selalu dilihat oleh kaum orientalis sebagai hal yang tidak berubah, seragam/monolitik dan aneh”.
Lebih lanjut menurut Warraq, kaum Orientalis dituduh Said telah memberikan gambaran yang keliru tentang Islam, kata Said “Islam secara mendasar telah disalahpahami di Barat”. Jika dilihat secara jeli, menurut Warraq, ada beberapa hal yang aneh dan kontradiktif dengan Tesis Said sendiri.
Kalau memang kaum Orientalis punya pandangan yang salah tentang Timur, Islam, Arab, atau masyarakat Arab, bagaimana bisa “pengetahuan yang salah dan palsu” ini mampu membantu negeri-negeri Eropa imperialis menjajah sepertiga dunia? “Informasi dan kontrol” diulang-ulang Said, tapi “informasi dan kontrol yang salah?” kok tepat sasaran?
Menurut Warraq, dalam mendiskusikan Orientalis yang “kong-kalikong” dengan imperialisme, Said melakukan kesalahan fatal karena melupakan kontribusi besar kaum Orientalis Jerman.
Seperti sudah masyhur bahwa Orientalis Jerman adalah deretan sarjana-sarjana hebat tentang dunia timur (orient), tetapi, tentu saja Jerman tidak pernah menjadi penjajah, tidak pernah punya kekuasaan politik (menjajah) atas negeri-negeri di Timur, apakah Afrika Utara atau Timur Tengah, tidak pernah.
Bernard Lewis, Orientalis kenamaan yang juga mengkritik pola pikir Said, menulis, “Tidak ada waktu sebelum atau setelah zaman kekaisaran [Inggris dan Perancis], suatu kontribusi dalam (kualitas) jangkauan, kedalaman atau standar, yang bisa menandingi pencapaian pusat-pusat besar studi Timur (Orient) di Jerman dan negara-negara tetangganya. Kalau ada sejarah atau teori studi Arab di Eropa tanpa melibatkan orang Jerman itu sama artinya dengan sejarah atau teori musik atau filsafat Eropa dengan kelemahan yang sama.”
Karena itu kata Warraq, apakah masuk akal bagi para orientalis Jerman yang telah menghasilkan karya-karya bermutu, ternyata hanya (digunakan) untuk membantu Inggris atau Prancis dalam membangun kekaisaran mereka? Hanya sekedar untuk itu (kekuasaan)?
Menurut Warraq, mereka yang dilupakan Said bukan sekedar tokoh pinggiran (periferal) tetapi para kreator dan raksasa sebenarnya dalam bidang/kajian Timur Tengah, Islam dan studi-studi Arab.
Sebut saja sarjana-sarjana seperti Paul Kahle, Georg Kampffmeyer, Rudolf Geyer, F. Giese, Jacob Barth, August Fischer, Emil Gratzl, Hubert Grimme, Alfred Von Kremer dan banyak lagi.
Beberapa nama memang disebut Said seperti Theodor Nöldeke, Johan Fück, G. Weil, Carl Heinrich dan Carl Brockelmann, tapi karya-karya terpenting mereka tidak didiskusikan Said secara memadai. Jangan lupa, Nöldeke, pengarang Geschichte des Qorans (1860) menjadi fondasi bagi studi-studi Quran sesudahnya, dan Nöldeke dianggap sebagai pionir bersama-sama dengan Goldziher dalam studi Islam di Barat.
Menurut Warraq, bukan hanya banyak sarjana Jerman yang “dihilangkan” oleh Said tapi juga sarjana Rusia seperti Belayev dan Tolstov, sarjana Italia seperti Leoni Caetani, dan banyak sarjana Yahudi yang mengkaji Islam secara simpatik, yang tidak disebut dan diberi peringkat secara layak oleh Said.
Menurut Warraq lebih lanjut, mengargumentasikan bahwa kaum Orientalis Prancis dan Inggris, entah dengan cara bagaimana, menyiapkan lahan bagi kaum imperialis adalah mendistorsi (mengubah) sejarah secara serius. Kursi pertama (the first chair) untuk studi Arab di Prancis didirikan pada 1538, sedangkan ekspansi Prancis pertama ke Arab melalui Napoleon dimulai tahun 1798.
Di Inggris, kursi pertama untuk studi Arab didirikan pada 1633 di Cambridge, namun serangan Inggris pertama ke wilayah Arab menjelang abad kesembilan belas. Jadi kata Warraq, di mana letak keterlibatan Orientalis dengan kaum imperialis? Ketika dua kursi studi Arab dimulai di Barat, saat itu kaum Muslim sedang menguasai wilayah Mediterania, sementara negeri-negeri di Balkan di bawah kekuasaan Turki Utsmani. Sekali lagi, bagaimana menghubungkan Orientalisme sebagai studi di abad 16 dengan imperialisme Eropa di abad 18 dan 19?
Hal lain yang cukup fatal dilakukan Said adalah mereduksi Goldziher, seorang orientalis Jerman paling penting dari semuanya. Goldziher hanya diceritakan oleh Said dalam tiga baris saja, sementara Henry Kissinger mendapat tiga halaman dalam Orientalisme Said.
Menurut Warraq, mustahil menutupi peran Goldziher dalam merintis studi Islam di Eropa. Karya Goldziher, Muhammadanische Studien (1888-89) dan karya-karyanya yang lain “meliputi, secara luas, keseluruhan tradisi literal dan budaya Arab Islam, menyangkut sejarah teks, ushuluddin, hadis, fikih, tafsir, syair-syair, sastra, linguistik Arab dan lain-lain, yang memperkaya cakrawala sejarah dan kebudayaan dunia Arab sendiri, sebelum dan sesudah Goldziher”.
Bagi Warraq, tak berlebihan jika disebut bahwa teman-temannya (dan kaum Orientalis Eropa) terpukau oleh Goldziher. Sebelumnya, Said menyebut pengaruh besar Orientalis Silvestre de Sacy kepada Ernest Renan, dan dua raksasa Orientalis Prancis ini kemudian mempengaruhi secara umum para Orientalis Eropa dalam studi teks, mitos, bahasa, teknik analisis dan lain-lain, termasuk Goldziher.
Tetapi Goldziher, kata Warraq, tidak pernah dipengaruhi oleh de Sacy, Renan atau Orientalis Prancis manapun. Goldziher, kata Warraq, secara meyakinkan, dipengaruhi oleh Abraham Geiger, seorang Yahudi di masa Pencerahan, dan oleh Moses Mendelssohn dan Immanuel Kant.
Goldziher, lanjut Warraq, seorang sarjana yang tidak hanya konsisten menjaga onjektivitasnya, tetapi juga seorang pengamat yang simpatik terhadap dunia Islam. Dia sering mengkritik Westernisasi dan pengaruh (negatif) Barat atas Timur Dekat. Dia secara khusus juga “membenci” para misionaris Kristen dan tak ada sikap simpati bagi Zionisme.
Goldziher terpukau dengan nilai-nilai Pencerahan, dan merasa bahwa wawasannya tentang Islam sama-sama relevan bagi orang Yahudi karena kesimpulannya tentang iman yang baik sebenarnya memiliki dimensi universal bagi siapa pun.
Spiritualitasnya yang empatik kepada Islam dan kaum Muslim dapat dibaca dari konklusinya yang luar biasa: “Saya menjadi yakin dalam hati bahwa saya adalah seorang Muslim. Di Kairo, di tengah ribuan orang-orang saleh, saya meletakkan dahi saya di lantai masjid. Tidak pernah dalam hidup saya, saya merasa lebih taat, lebih benar-benar taat, daripada di hari Jumat yang agung itu.”
Apakah suara Orientalis yang hebat ini yang dimaksud oleh Orientalis-nya Said? Apakah pantas seorang Orientalis yang sangat penting ini hanya dikasih tiga baris saja dalam Orientalisme?
Keempat, Orientalisme dan musik. Menurut Warraq, sejak abad ke-16 hingga 19, banyak artis dan musisi Eropa yang dengan senang hati “merayakan Timur”. Dari mulai Johan Sebastian Bach, Mozart, Beethoven, hingga Christoph Willibald Gluck, dan Andre Ernest Modeste Gretry.
Mereka membuat simponi, orchestra dan syair-syair yang mengapresiasi tentang Timur, tentang “sungai-sungai di Timur yang tak tersentuh dan pantai-pantai yang tak memiliki mimpi”, yang merujuk kepada keindahan negeri Cina, Turki, Persia, India, Babilonia, Mesir dan Irak.
Ada juga ode dan simfoni dari para musisi Eropa itu tentang “berdoa kepada Allah” dan indahnya “panggilan adzan”. Dari mana mereka menggubah musik-musik yang indah tentang Timur itu? Dari mana mereka membuat cerita tentang The Arabian Nights? Darimana Mozart menggubah simfoni Die Zauberflöte, dan Il Seraglio? Darimana muncul sejumlah novel dan lukisan-lukisan tentang dunia Timur yang tak ternilai harganya? Tak lain, kata Warraq, dari persentuhan, perjumpaan, riset dan refleksi para seniman Eropa dengan Timur.
Timur di sini bukan “orang lain”. Timur di sini bukan dianggap sebagai “ras rendah”. Para seniman Barat itu tidak selalu digambarkan “jahat” dan “rasis”. Hubungan harmonis dan apresiasi simpatik antara kesenian dan kemanusiaan Barat dan Timur itu juga banyak luput dari kamera Orientalisme Said.
Masih ada belasan topik lagi yang menjadi address kritik-kritik tajam Warraq atas Orientalisme. Bagi Warraq, Orientalisme adalah “dosa Said”. Dalam banyak hal Said tidak jujur. Said bukan sejarawan, karena itu analisis-analisis sejarahnya banyak yang keliru. Kompetensinya sebagai kritikus sastra ketika bicara Timur juga sangat dipertanyakan.
Tetapi kata Warraq, lebih dari apa pun, “dosa-dosa Said” melebihi kesalahan dan inkompetensinya. Dosa Said yang paling mencolok adalah bahwa Arab dan Muslim adalah korban dari keserakahan Barat dengan motivasi merusak Timur. Said selalu menggambarkan Timur sebagai korban abadi dari imperialisme Barat, dominasi, dan agresi.
Bagi Warraq, Said mengartikulasikan untuk khalayak elit intelektual suatu kepercayaan yang populer bahwa semua problem, semua masalah dan semua kesulitan di Timur Tengah adalah hasil dari konspirasi Barat-Zionis.
Akhirnya kata Warraq, langsung atau tidak, Orientalisme seolah membangunkan fundamentalisme Islam, dan pada gilirannya radikalisme Musim di Timur Tengah untuk “menghajar balik” Barat dan orang-orang, meskipun Muslim, yang sepaham dengan Barat.
Para cendekiawan Muslim, khususnya dari Timur Tengah, Asia, dan Asia Tengah, yang kritis terhadap dunia Islam, dalam ancaman terus-menerus karena dicap pro-Barat. Dari beberapa cendekiawan ini, yang paling terkenal adalah Salman Rushdie, dan yang kurang terkenal adalah Ibn Warraq sendiri, yang sampai hari ini harus terus bersembunyi untuk melindungi diri dan keluarga mereka dari para ekstrimis Islam yang “memvonis” Rushdie dan Warraq sebagai murtad dari Islam dan menjadi target pembunuhan.
Terlepas dari kritik Warraq yang “ideologis”, yang seolah tak ada yang positif dari Said, dan cara Warraq sendiri yang “lebay” dan “provokatif”, tetapi saya menikmati karya Warraq ini.
Sebenarnya, model kritik Warraq ini mirip dengan Tahafut al-Falasifah karya Ghazali yang mengkritik Ibn Sina dan Al-Farabi, tapi kedua Filusuf ini tak punya kesempatan untuk memberi respons karena sudah meninggal jauh sebelum Ghazali menulis Tahafut.
Begitu pula, ketika Ibn Rusyd menulis Tahafut al-Tahafut untuk mengkritik Ghazali, sayang Ghazali-nya sudah wafat sebelum karya Ibn Rusyd itu muncul (Ghazali wafat 1111, Ibn Rusyd wafat 1198).
Edward Said meninggal pada September 2003, dan karya Warraq, Defending the West baru terbit pada 2007, empat tahun setelah kematian Said. Artinya, Ghazali sudah tak punya kesempatan membantah Ibn Rusyd, sebagaimana Said tak punya waktu lagi untuk “menghajar balik” Warraq.
Soal Tesis yang dilawan anti-Tesis yang kemudian memunculkan Sintesis, dan begitu pula sirkulasi teori dan kritik teori, telah mengembangkan dunia ilmu pengetahuan kita. Perspektif kita menjadi cerah. Inilah yang mungkin telah hilang dalam diskursus intelektual Islam Indonesia dalam 10 atau bahkan 20 tahun terakhir setelah kepergian para Begawan-cendekiawan Muslim tanah air.
Kini kita hanya ribut soal bendera, soal identitas politik, soal kursi kekuasaan, soal halal-haram dan rebutan kavling surga. Mungkin zaman sudah berubah. Kini masanya angin populisme, simulakra, hiper-realitas, yang instan, dengan follower, lalu viral, lalu “pergi lagi bersama angin”, gone with the wind.