Mendengar nama Edward Said adalah membayangkan ‘imortalitas’ Orientalisme. Keduanya seperti tak terpisahkan. Said bukan semata penulis dan intelektual Amerika asal Palestina, tetapi ia sudah jadi raksasa, sudah jadi ideologi.
Edward Said, melalui Orientalisme, telah jadi Saidisme. Orientalisme Said persis Religion of Java-nya Geertz. Dipuja banyak orang lalu jadi patung yang kokoh. Meskipun dikritik, dihajar, ditelanjangi, dan dibedol anatomi kelemahan bagian per bagian dari isi patung emas itu oleh banyak sarjana sesudahnya, namun patung itu seolah tetap agung.
Salah satu magnet Orientalisme ketika terbit pertama kali di planet bumi ini, sebagian warga dunia seolah baru sadar bahwa Barat itu jahat dalam memperlakukan Timur. Bukan hanya orang-orangnya, tapi struktur kekuasaan, budaya, episteme dunia akademiknya dan seterusnya dan seterusnya.
Bagi Said, Orientalisme seperti representasi keseluruhan dirinya, jiwa raganya sebagai manusia Timur sekaligus Barat. Bagi Said, Orientalisme bukan semata pikiran dan mental orang-orang Barat yang memandang dunia Timur dalam tiga hal penting: (1) sebagai kajian akademik; (2) sebagai model pemikiran (style of thought) yang didasarkan atas distingsi epistemologis dan ontologis yang sengaja dibuat antara Timur dan Barat; dan (3) sebagai jenis pengetahuan Barat yang bertujuan mendominasi, merestrukturisasi, dan mendatangkan kekuasaan atas Timur, bukan sekedar itu!
Bagi Said, Orientalisme juga memori personal; potret dirinya dan bangsanya yang pernah dijajah Inggris, lalu setelah dewasa ia ditakdirkan “dikutuk” menjadi orang Palestina yang hidup di dunia Barat, di mana ia dijadikan tawanan oleh ideologi-ideologi yang tidak “mengizinkannya” mempelajari Orientalisme.
Tetapi dengan bekal pendidikan formal dalam bidang sastra dengan segala seluk beluknya, sikap kritisnya terus berkembang, hingga ia berhasil “menginventarisasi jejak-jejak” seluruh kebudayaan yang bertarung dalam dirinya.
Istilah “inventaris” (inventory) ia pinjam dari filusuf politik Italia, Antonio Gramsci. Akhirnya, bagi Said, Orientalisme tidak hanya “kesadaran kritis” yang menggunakan instrumen-instrumen penelitian historis, humanistik dan kultural yang dilakukan Said tentang Barat yang “memproduksi” Timur, tetapi juga Orientalisme adalah self-criticism: kesadaran kritis tentang diri-sendiri: mengapa kita inferior dan dibuat inferior? Mengapa mereka berhasil mengatur dan mendefinisikan kita? Mengapa mereka membuat kita menjadi objek tentang diri kita sendiri, padahal kita subjek, bukan?
Tetapi, benarkah Barat adalah sosok antagonis untuk dunia Timur? Benarkah keseluruhan usaha-usaha Barat untuk memahami Timur semata demi kekuasaan dan kolonialisasi? Benarkah Barat itu “imperialis, rasis dan jahat”? Benarkah apa yang diimajinasikan Said tentang “Barat” itu monolitik?
Kini muncul penantang Said yang sama-sama dari Timur: Ibn Warraq melalui karyanya, Defending The West: A Critique Of Edward Said’s Orientalism (2007). Hati-hati, Ibn Warraq ini “gila dan sadis”, dalam arti sikap kritis dan keseriusannya menelanjangi paragraf demi paragraf objek yang dikajinya.
Seperti halnya Said yang mungkin “dendam” dengan Barat, Ibn Warraq ini juga “sebal” dan “muak” dengan keluarga besar dan komunitasnya yang Muslim di Pakistan sana, yang ia anggap bertentangan dengan kemanusiaan dan ilmu pengetahuan.
Ia menemukan “hidup” di Barat. Karena “kecewa berat” dengan perilaku Muslim yang ia saksikan, ia keluar dari Islam alias murtad. Saya belum berani membaca karya-karya kritisnya seperti Why I am not a Muslim?, Leaving Islam, The Quest for the Historical Muhammad, dan lain-lain, yang oleh para sarjana dan kritikus Barat dipuji-puji sebagai seorang “anak manusia yang jujur dengan hati nuraninya dan setia kepada kebebasan intelektualitasnya”.
Tetapi dengan Defending the West ini segera saya tertarik. Dalam bab 2 dan bab 3 saja Warraq membuat 20 tema/topik kesalahan-kesalahan serius Said, apakah data dan informasi yang tidak akurat dan tidak komprehensif, atau kekeliruan rekonstruksi, perspektif dan kesimpulan (opini) Said sendiri. Semua dipreteli Warraq.
Saya hanya akan mendiskusikan empat topik utama: Pertama, soal Said yang anti Barat. Menurut Warraq, dalam sebuah pernyataan yang jujur pada 1994, Said menolak dituduh sebagai anti Barat dan bahwa fenomena Orientalisme adalah sebagian saja dari keseluruhan Barat.
Said mengklaim tak ada konsep atau definisi yang tetap terkait Orient (Timur) dan Occident (Barat) sebagaimana juga tidak ada realitas Timur yang abadi dan esensi Barat yang abadi.
Said juga tidak tertarik, karena kurang punya kapasitas, untuk menunjukkan apa itu sesungguhnya Orient dan Islam. Tetapi menurut Warraq, bagi orang yang telah selesai membaca Orientalisme, dia akan memiliki pemahaman yang cukup bahwa Said memang anti Westernisme (ide-ide tentang Barat). Lagi pula, keseluruhan polemik Said dalam Orientalisme memang muncul dari Said sendiri yang sudah mengkontraskan (kutub yang berlawanan) antara Timur dan Barat, Orient dan Eropa, Amerika dan non-Amerika, yang ia rekonstruksi sendiri secara vulgar dan “kasar”.
Said misalnya membuat karakterisasi tentang semua orang Eropa, katanya “Memang benar bahwa semua orang Eropa, ketika ngomongin soal Timur (Orient), pada gilirannya akan rasis, imperialis dan hampir etnosentris”. Dengan kata lain, menurut Warraq, semua orang Eropa tidak hanya rasis tapi “seharusnya memang menjadi rasis”.
Dalam beberapa kesempatan Said juga mengaku bahwa ia anti-essensialis, tapi dalam banyak tulisan dan kutipan-kutipan yang ia buat justru menunjukkan bahwa ia adalah seorang essensialis.
Kritikus Keith Windschuttle menyebut bahwa Said mengutuk pandangan-pandangan esensialisme, tapi jika melihat jeli tulisan-tulisannya terlihat jelas kalau Said ternyata seorang esensialis dan a-historis.
Said, lanjut Warraq, mengabaikan banyak data/fakta penting bahwa tidak sedikit pemikir, penulis, dan sarjana Eropa mulai abad ke-16 yang mendiskusikan tema tentang “para bangsawan yang biadab” sebagai alat/medium untuk mengkritik kebudayaan mereka sendiri dan mendorong sikap toleran terhadap budaya non-Barat (Eropa).
Seorang kritikus tajam abad 16 terhadap para bangsawana biadab itu adalah Peter Martyr Anglerius. Dalam karyanya De Orbe Novo (1516) peter mengkritik keras para aristocrat penakluk Spanyol sebagai “orang-orang yang rakus, sempit pikiran, intoleran, kasar, angkuh”.
Said juga, kata Warraq, mengabaikan pandangan-pandangan yang simpatik tentang Islam dari Voltaire dan Edward Gibbon, dua raksasa pemikir, filusuf dan sejarawan Eropa abad 16 dan 17.
Voltaire menemukan ajaran Islam tentang Tauhid (Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah) sebagai ajaran yang simpel, yang pada gilirannya mengajarkan tidak ada sistem kependetaan, tak ada mukjizat dan misteri yang berlebihan, dan Islam mendorong toleransi terhadap agama-agama lain. Hal ini kontras dengan Kristen (masa itu) yang tiran, eksklusif dan intoleran.
Seperti halnya Voltaire, Gibbon juga melukiskan Islam sebagai cahaya terang yang kontras dengan kekristenan. Gibbon menegaskan kemanusiaan Muhammad sebagai kritik atas doktrin pokok Kristen tentang ketuhanan Yesus.
Gibbon sebagai pemikir anti kependetaan menunjuk Islam sebagai agama rasional, anti lembaga kependetaan dan bebas dari struktur masyarakat kelas yang “terkutuk”, dengan figur sentralnya, Muhammad, sebagai pemimpin yang bijak dan adil yang sangat mempengaruhi cara pandang orang-orang Eropa tentang Islam sebagai saudara Kristen.
Mengapa para pemikir Besar Eropa abad Pertengahan ini—yang simpatik dengan Orient–luput dari mata Said? Mengapa Barat Eropa selalu dituduh negatif dalam memandang Timur? Begitu kira-kira kritik Warraq.
Kedua, salah paham (misunderstanding) Said terhadap kebudayaan Barat. Menurut Warraq, benang emas yang mengalir di dalam peradaban Barat adalah rasionalisme. Seperti yang dikatakan Aristoteles, “Manusia pada dasarnya selalu berusaha untuk tahu” (Man by nature strives to know). Usaha keras mengeksplorasi “ingin tahu” itu menghasilkan sains, dengan cara menerapkan berfikir (reason).
Keingintahuan intelektual (intellectual inquisitiveness) adalah ciri khas peradaban Barat (Eropa). Warraq merujuk kepada pernyataan J.M. Roberts, “Jelaslah bahwa keingintahuan orang-orang Eropa dan hobi mereka berpetualang (menjelajah) telah menjadi watak yang lebih dalam daripada sekedar (kepentingan) ekonomi, suatu keadaan yang penting sejauh keberadaan mereka.
“Ini bukan sekedar “kerakusan” yang membuat orang-orang Eropa pergi jauh menjelajah dunia. Kecintaan mereka terhadap “keuntungan” (menjelajah ini) tidak terbatas pada orang-orang atau kebudayaan tertentu. Di abad ke-16 mereka berbagi (pengetahuan dan pengalaman) dengan orang-orang Arab, India atau para pedagang Cina. Tetapi sebagian orang-orang Eropa ingin mengeksplorasi lebih jauh lagi.”
Pernyataan Roberts ini sangat penting bagi Warraq untuk menunjukkan watak natural orang-orang Eropa, yang sebagian besar digambarkan negatif oleh Said.
Menurut Warraq lebih lanjut, para pengikut Marxis, Freud dan anti-imperialis, telah mereduksi aktivitas manusia yang kompleks menjadi hanya sekedar uang, seks dan kekuasaan. Mereka kesulitan dan akhirnya tidak tertarik memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki keingintahuan intelektual yang sangat besar.
Kelahiran sains, sebagai hasil dari watak ingin tahu, memang berhutang kepada dorongan manusia untuk mencari jalan keluar dari masalah, untuk mengumpulkan emas, uang dan kekuasaan, tetapi jangan lupa sains juga muncul karena hasrat/dorongan ingin tahu, ingin tahu kebenaran. Karena itulah filusuf Karl Popper menyebut kerja-kerja intelektual sebagai “pencapaian spiritual”.
Hasrat ingin tahu ini, bagi Warraq, bukan sekedar soal materi atau hasrat menaklukan manusia lain (Orient). Akhirnya ini adalah pekerjaan yang sublim. Menurut Warraq, orang seperti Said harusnya ingat bahwa hasrat orang-orang Eropa untuk ilmu pengetahuan telah menuntun orang-orang Timur Dekat untuk “menemukan kembali” masa lalu, identitas dan kebudayaan mereka.
Pada abad 19 dan awal abad 20, penemuan-penemuan arkeologis yang sangat penting di Mesopotamia, Siria kuno, Palestina kuno, Iran dan Mesir kuno, adalah hasil keringat para ilmuwan Eropa, dan Amerika belakangan. Dari sini muncullah ilmu-ilmu: Egyptologi, Asyriologi, Iranologi dan lain-lain. Apakah kerja-kerja intelektual itu harus selalu dibaca sebagai kolonialisasi dan imperialisme? Kan tidak.
Menurut Warraq, penting ditunjukkan bahwa seringkali motif, keinginan, dan prasangka seorang sarjana tidak ada hubungannya dengan nilai ilmiah dari kontribusi sarjana itu. Para pengikut Marxis misalnya, menolak argumen lawan-lawannya bukan atas dasar ilmiah atau rasional, tetapi hanya karena asal-usul sosial dari sarjana yang bersangkutan, misanya mereka kaum borjuis atau para pendukung kapitalis.
Kefanatikan Theodore Noldeke, seorang sarjana Quran dari Jerman, sudah dikenal luas, dan seringkali jadi sumber olok-olok teman-temannya. Tetapi tidak ada satu pun sarjana Islam modern yang tidak mengakui karyanya, Geschichte des Qorans.
Begitu pula, kebencian Henry Lammen kepada nabi Muhammad juga sangat terkenal, tetapi seperti yang pernah dikatakan Profesor F.E. Peters, bahwa Lammens yang meragukan keaslian tradisi Muslim dan hubungan dekat antara al-Quran dan kehidupan Muhammad, tidak pernah dibantah.
Sebaliknya, menurut Warraq, seorang sarjana yang menunjukkan simpati terhadap seluruh aspek Islam juga belum tentu ia sarjana yang baik. Dalam kasus ini, Said misalnya, mengutip pendapat Norman Daniel sembari menyatakan kesetujuannya. Tetapi kata Warraq, Maxime Rodinson mencatat bahwa Daniel bukan seorang sejarawan yang obyektif melainkan seorang apologis Islam.
Yang cukup mengherankan, bagi Warraq, adalah bahwa Said memilih Louis Massignon dengan pujian-pujian setinggi langit karena sikap simpatik Massignon terhadap Islam.
Reputasi kesarjanaan Massignon memang tak diragukan. Biografi Hallaj, misalnya, pantas disebut sebagai masterpiece. Tetapi, jangan salah, kata Warraq, Massignon juga mencontohkan sifat-sifat yang oleh Said sendiri ia (sebenarnya) akan tolak dari orang lain.
Orang Prancis ini (massignon) bagi Warraq, bertanggung jawab telah mengabadikan mitos spiritual Timur sebagai lawan dari materialisme Barat. Said terus memujinya karena Massignon berhasil “mengidentifikasi suatu kekuatan vital tentang budaya Timur”, dan sebelumnya Said memberi tahu kita bahwa “Timur dinilai terlalu tinggi karena panteismenya, spiritualitasnya, stabilitasnya, umur panjangnya, sifat primitifnya, dan sebagainya”.
Massignon juga, menurut Warraq, menampilkan sifat-sifat yang tidak pantas yang tidak disebut oleh Said, yaitu anti-Semitismenya, dalam arti sentimen anti-Yahudi yang parah, suatu hal yang diakui sendiri oleh penulis biografinya.
Akhirnya, bagi Warraq, Massignon sebenarnya jauh dari contoh suri tauladan spiritualitas Kristen—seperti yang dipuji-puji oleh Said—ketika salah satu ketertarikan Massignon terhadap Timur adalah karena, di dalam kota-kota di Timur itu, Massignon senang mencari para pelacur perempuan, sesuatu yang ia tidak berani lakukan di Barat yang katanya “dekaden”.
Mircea Eliade menceritakan dalam Jurnalnya, “Pada suatu malam saya makan dengan Massignon. Kami berbicara selama beberapa jam. Wow sangat fasih! Ia, selain terobsesi dengan kejantanan, lagi dan lagi membicarakan para “pelacur muda perempuan”. Akhirnya bagi Warraq, Massignon hanya siap mengeksploitasi Timur jika hal itu cocok untuknya.
Bersambung ke tulisan selanjutnya.