Jalan Sunyi dan Terasing: Menjadi Intelektual ala Edward Said

Jalan Sunyi dan Terasing: Menjadi Intelektual ala Edward Said

Menjadi intelektual bukan persoalan meraih gelar tinggi. Bagi Edward Said, menjadi intelektual berarti berkawan dengan kesunyian dan pengasingan.

Jalan Sunyi dan Terasing: Menjadi Intelektual ala Edward Said

Apa yang terlintas di kepala anda ketika mendengar kata intelektual? Bagi orang awam, termasuk saya dan anda, citra yang terbangun atas kata intelektual adalah orang yang telah lolos sertifikasi pengetahuan yang tinggi. Sarjana, Doktor bahkan Guru Besar di universitas-universitas itulah yang kemudian dipahami oleh orang awam sebagai sosok Intelektual. Pandangan tersebut tidak salah, akan tetapi bertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh Edward Wadie Said dalam bukunya yang berjudul Representation of the Intellectual atau dalam terjemahan Bahasa Indonesia berjudul Peran Intelektual. Dalam bukunya, Edward Said menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan intelektual dalam berfikir dan bertindak beserta hakikat yang terkandung di dalamnya.

Edward Said merupakan seorang penulis dan pemikir keturunan Palestina yang lahir di Yerusalem dan berkebangsaan Amerika. Dia meraih gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu sastra, yang sekaligus dikenal sebagai kritikus budaya dengan pengaruh besar di Dunia. Edward Said juga merupakan sosok Intelektual yang dengan dengan getol memperjuangkan hak-hak warga Palestina yang dijajah zionisme Israel. Ia memegang prinsip bahwa seberat apapun resikonya suatu kebenaran  harus selalu disampaikan.  Seperti halnya Noam Chomsky, Edward Said pernah mengalami pengasingan, diembargo oleh komunitas intelektual Barat, bahkan Dunia atas aspirasinya atas nasib Palestina yang kelewat berani.

Dalam buku Peran Intelektual, Edward Said mengemukakan bahwa “Intelektual merupakan pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada penguasa.” Maksudnya, seorang intelektual merupakan sosok yang dituntut memiliki bakat untuk mengartikulasikan suatu pesan dan pandangan yang filosofis kepada masyarakat luas, sehingga mampu untuk membangkitkan nalar kritis. Dengan demikian, masyarakat tidak mudah terlena oleh dogma, hegemoni, dan represi yang dilakukan oleh korporasi kapitalistik atau pemerintah yang korup.

Menurut Said, hakikat dari kehidupan seorang Intelektual adalah pengetahuan dan kebebasan. Karena dari situlah intelektual mendasarkan prinsipnya. Menjadi seorang intelektual memiki konsekuensi yang sangat besar. Ia harus memilki pemikiran yang universal dan tidak terayun-ayun dalam kepentingan-kepentingan. Menjadi manusia merdeka, meski itu berisiko membuatnya terasing dan tidak memiliki siapa-siapa.

Secara ektsrem, Said mengambil contoh bagaimana Theodor Wiesengrund Adorno memilih hidup terasing daripada tinggal di tengah pemerintahan yang fasis. Meminjam kata Adorno, Said menjelaskan bahwa seorang Intelektual bukanlah ia yang memiliki pengaruh raksasa dan berhasil mengubah dunia. Melainkan seseorang yang terus bersuara dan menulis sekalipun di tengah keterasingannya, sehingga di satu tempat seseorang masih membaca apa yang pernah ia tulis.

Menjadi seorang Inteektual berarti siap untuk selalu menjadi oposisi. Bukan hal yang baru ketika seorang intelektual menolak untuk diakomodasi dalam kompromi politik dan tahu pasti sikapnya akan berujung pada pengasingan, baik fisik maupun pemikiran. Seperti halnya Pramoedya Ananta Toer, Tan Malaka, Buya Hamka, Soekarno, Mohamad Hatta, dan tokoh-tokoh lainnya dalam konteks indonesia. Mereka yang teguh dengan prinsip, nilai luhur, dan mampu menjaga kemandirian berfikir dalam menyuarakan kebenaran.

Dalam konteks hari ini, pengasingan intelektual tidak hanya berhenti pada pengasingan secara fisik (dalam arti diasingkan di suatu tempat jauh dari rumah oleh rezim pemerintah) karena pemikiran atau ide yang dimilki. Akan tetapi, dalam menempa diri sebagai intelektual, kita juga dituntut untuk mampu “mengasingkan diri” dari kondisi kehidupan yang serba nyaman, hedon dan gemerlap yang makin dianggap lumrah. Berkat gelombang Westernisasi, modernisasi, dan materialisme, kita sering menganggap eksistensi gaya hidup sebagai hal lumrah dalam rupa hiburan yang gemerlap, makanan yang hanya bisa dibeli oleh kaum borjuis dan tren fashion mahal yang hanya diapakai oleh kaum berkelas tinggi. Ketahuilah bahwa yang gemerlap itu menutup mata kita terhadap penindasan bagi kaum yang lemah dan dilemahkan.

Sebagai kesimpulan, Edward Said menggugah kesadaran kita bahwa untuk menjadi seorang intelektual, berarti mesti siap untuk menjalani hidup dalam kesunyian dan keterasingan. Pertanyaannya: mampukah kita?