Beberapa waktu lalu, saya menemani seorang kawan untuk menghadiri undangan jamuan makan malam di salah satu restoran mewah di Kota Surabaya. Kawan saya ini seorang tokoh nasional, dan dia layak untuk mendapatkan undangan makan malam jenis ini. Kawan saya ini diundang oleh salah seorang habib tajir di Kota Pahlawan. Dan, restoran itu milik si habib pengundang itu.
Saya sebenarnya agak “malas” ikut karena saya membayangkan akan teralienasi dalam jamuan makan malam kaum kaya ini. Tapi saya harus datang, lebih karena saya menghormati kawan saya yang saya tahu berniat baik dengan mengajak saya.
Sepanjang jalan saat berangkat ke lokasi, saya tidak bisa membuang perasaan tak nyaman. Di samping perasaan rendah diri sebagaimana yang saya sampaikan di atas, saya membayangkan saya akan makan semeja dengan seorang habib, pasti akan membuat makan malam saya tidak asyik. Mana mungkin saya bisa makan kalap seperti yang biasa saya lakukan dengan kawan saya itu?
Bayangan saya, yang akan saya temui malam itu sosok yang bersurban dan berjubah putih. Menempatkan dirinya dalam jamuan makan malam itu sebagai titik pusat semesta. Kalimat-kalimat yang keluar dari lisannya dipenuhi dengan khutbah kebenaran, atau membicarakan orang-orang berdosa yang layak untuk dikutuk.
Pokoknya, saya membayangkan makan malam itu akan menjadi semacam forum dakwah, di mana titah sang habib adalah kata putus atas segala hal yang mungkin muncul dalam pembicaraan di meja makan itu. Ah, apa asyiknya makan malam seperti ini? Mending saya memilih makan lalapan di warung-warung pinggir jalan. Rasanya nendang dan kita leluasan makan sekalap apapun.
Akhirnya, sampailah di kami restoran yang dituju. Tidak ada nama restoran mencolok yang terpasang di depannya sebagaimana restoran-restoran lain.
Saya langsung bisa mengukur, restoran ini pasti hanya untuk kalangan elit terbatas, dan sudah dikenali oleh para pelanggan kelas khusus itu.
Kami dan kawan disambut hangat oleh seorang laki-laki paruh baya dengan istrinya. Si laki-laki memakai celana dan kemeja biasa, seperti pakaian saya. Si istri juga berpakaian biasa layaknya perempuan-perempuan yang biasa saya temui sehari-hari. Saya tetap menunggu kehadiran sang habib dengan resah sampai kawan saya membisiki saya bahwa laki-laki inilah si habib itu.
Keramahannya menyambut kami dan kesederhanannya membuat saya langsung merasa nyaman. Ketakutan-ketakutan saya sepanjang jalan seketika hilang. Sambil menikmati makanan-makanan super lezat, kami semua terlibat dalam perbincangan yang sangat hangat, seakan saya adalah bagian dari pertemanan mereka yang telah terbangun lama.
Tidak ada dalil yang keluar dari satu mulut pun orang yang hadir dalam jamuan makan malam itu, apalagi kutukan terhadap orang berdosa di luar sana. Tak juga ada rencana sweeping tempat-tempat kemaksiatan atas nama amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam obrolan di meja makan itu, saya selalu memanggilnya Habib. Rupanya panggilan saya itu membuatnya risih. Dia meminta saya agar cukup memanggil namanya atau memanggilnya Pak XXX. Kekaguman saya kepada sosoknya dan didikan yang selama ini saya dapatkan dari kiai-kiai saya tentang kewajiban menghormati keturunan Rasulullah, membuat saya bersikeras untuk tetap memanggilnya Habib.
Saya katakan padanya, saya memanggilnya habib bukan karena “keharusan sosial” tapi sungguh-sungguh keluar dari penghormatan tulus saya kepadanya.
Malam sudah mendekati pukul sepuluh. Jamuan makan malam mewah itu akhirnya selesai. Tanpa sadar, saya telah makan cukup banyak hingga ketika berdiri dari kursi terasa sekali perut tak lagi ada ruang untuk dijejali makanan lain di malam itu. Kami mohon pamit. Dengan sangat ramah, si habib dan istrinya mengantar kami sampai halaman depan restoran di mana mobil kami terparkir.
Saat mengantar kami itu, si Habib dengan suara direndahkan berkata ke saya, “Saya selama ini tidak ingin dipanggil habib sekalipun saya keturunan Rasulullah. Setiap kali ada orang yang memanggil saya habib, saya selalu merinding karena saya merasa tidak layak. Saya juga takut panggilan itu akan menbuat saya menjadi sombong dan merasa lebih suci dan mulia dibanding orang-orang lain. Panggilan habib hanya layak disematkan kepada keturunan Rasulullah yang mewarisi kemuliaan akhlak beliau.”
Saya katakan padanya bahwa dia memiliki kerendahan hati yang sungguh agung, karena itu saya ingin tetap memanggilnya habib.
Dia melanjutkan, “Yang perlu diketahui banyak orang, tidak setiap keturunan Rasulullan mencerminkan kemulaiaan sang Rasul sekalipun dia dipanggil habib. Kesombongan tetaplah kesombongan sekalipun dilakukan oleh keturunan Rasul. Kejahatan tetaplah kejahatan sekalipun dilakukan oleh seorang habib. Tidak ada kejahatan yang berubah menjadi kebaikan hanya karena dilakukan oleh orang yangn dipanggil habib oleh para pengagumnya.”
Sambil menjabat tangan saya tepat sebelum saya masuk mobil, dia menegaskan, “Tak setiap habib adalah orang terhormat.”
Jika saat berangkat saya diliputi dengan perasaan tak nyaman, saya pulang dengan kekaguman luar biasa terhadap sosok habib yang saya temui malam itu. Kawan saya yang duduk di samping saya memandang saya dengan senyum-senyum. Dia tahu persis apa yang saya rasakan.[]