“Aku NU dan aku memilih bercadar,” ucap kawanku, Fidya saat kami sedang berbincang-bincang di bus perjalanan pulang ke Jakarta. Tiga hari ini kami memang mengikuti sebuah kegiatan bersama.
Ini kali kedua aku bertemu Fidya, sebelumnya kami berkenalan dan bertemu di acara diskusi Komunitas Bela Indonesia (KBI) di kawasan Jakarta. Baru di pertemuan kedua kami bisa berbincang banyak dan saling bertukar pikiran, meskipun sebelumnya kami juga sering berkirim DM di Instagram.
Sejak lama, aku ingin sekali ngobrol dengan Fidya tentang keputusannya untuk bercadar. Pernah aku bertanya di DM instagram, namun ia tidak membalas pesanku. Khawatir ia tersinggung dengan pertanyaanku, aku memilih tak bertanya lagi tentang itu dan cenderung menghindari obrolan yang sensitif.
Namun kali ini Fidya dengan enjoynya menceritakan kisah hidupnya, termasuk keputusannya menggunakan cadar dan perlakuan apa yang didapatkannya dari masyarakat. Awalnya aku pun tak menyangka bahwa Fidya adalah orang NU, karena aku cukup jarang menemukan teman-teman NU yang bercadar.
“Enam tahun aku mondok di Jombang dan aku ini NU, bahkan orangtuaku NU banget,” ucap Fidya meyakinkanku.
Baru satu tahun ini Fidya istiqamah menggunakan cadar. Kisah awalnya juga unik, bukan karena dia didoktrin oleh suatu golongan, tetapi karena ia mengalami iritasi akibat udara dan polusi yang buruk, ia akhirnya selalu menggunakan masker.
Hingga suatu hari, Fidya pernah memenangkan lomba dan mendapat hadiah gamis, kerudung plus cadar. Dari situlah ia mulai berpikir untuk mencoba menggunakan cadar dan kini mulai istiqamah menggunakannya. Bagi Fidya, dengan bercadar ia jadi lebih bisa menjaga diri, juga menjaga kontak fisik dengan lawan jenis sehingga lebih mudah menjaga wudhu.
Namun memilih bercadar juga cukup berrisiko, stigma-stigma buruk seringkali ditujukan padanya. Ditatap orang dengan tatapan sinis sudah menjadi makanan sehari-hari. Pernah suatu ketika, Fidya naik KRL, seorang ibu-ibu langsung memandangnya dengan tatapan aneh dan sinis. Ia pun menegur ibu tersebut hingga mereka berdebat pendapat dan Fidya akhirnya memilih untuk turun.
Saat berada di diskusi KBI pun ada seorang kawan kami yang bertanya “Kamu ikut pengajian apa sih? Kok pake cadar?.” Berbagai pertanyaan lainnya juga pernah dilontarkan kepada Fidya, seperti “Kamu pasti milih capres ini ya, kamu kan pakai cadar,” “Mau pasang bom di mana?,” “Kamu ikut organisasi apa sih? Sesat ya” dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Berbagai tuduhan negatif sudah biasa diterima Fidya, dari mulai dianggap ekstrimis, teroris, hingga antek ISIS. Namun Fidya mulai terbiasa dengan itu semua dan memilih tak mempedulikan omongan-omongan orang.
Awalnya aku pun mengira orang bercadar akan cenderung eksklusif dan menutup diri. Tapi bagi Fidya, menggunakan cadar sama sekali tak membuat pergaulannya jadi sempit, ia tetap berteman dengan siapapun dan ia tetap bebas pergi ke mana pun.
Don’t Judge the book from it’s cover, mungkin itu ungkapan yang tepat untuk memperbaiki cara pandang kita terhadap orang lain. Setiap orang tentu memiliki hak dan kebebasan untuk memilih agama yang dianut, pakaian apa yang dikenakan, juga bagaimana tampilannya. Jadi, sebaiknya kita perbanyak berdialog, bukan asal melabeli seseorang hanya karena melihat tampilan luarnya.