Salah satu hal yang ditanyakan orang tua ketika memondokkan anaknya di pesantren kami adalah bagaiamana keamanannya? Sedang tidak ada pagar yang membatasi asrama dengan dunia luar.
Tak hanya asramanya, sekolahnya pun tidak ada pagar. Sekolah dan jalan utama hanya dipisahkan oleh sebuah selokan kecil yang kami beri jembatan.
Mula mula beberapa orang bertanya, bagaimana jika anak kabur dari pondok? Bagaimana jika anak bolos dari pelajaran? Bagaimana jika anak melakukan pelanggaran di luar?
Pertanyaan ini wajar mengingat, pada umunya, lembaga pendidikan selalu identik dengan pagar yang menjulang tinggi. Barangkali ini terjadi karena, pagar dianggap sebagai pembatas fisik yang efektif untuk mencegah kenakalan.
Lantas, bagaimana jadinya jika pagar ini tiada? apakah semua kenalan ini langsung muncul berhamburan?
Kenyataannya ternyata tidak seseram itu. Dalam pengalaman kami, ketiadaan pagar tidak lantas membuat anak-anak menjadi bengal. Justru sebaliknya, anak-anak mulai tumbuh kesadaran dirinya. Bahwa keinginan untuk patuh atau makar atas kesepakatan sepenuhnya ada di diri mereka.
Dengan sistem seperti itu bukan berarti, anak-anak semuanya patuh dan tidak ada pelanggaran. pada kenyataannya pelanggaran tetap ada, tapi pendekatannya bisa lebih mendasar. bahwa ketiadaan pagar adalah bentuk lembaga memberi kepercayaan pada santri untuk mengelola dirinya sebagai orang dewasa. ketika terjadi pelanggaran, bukankan itu bagian dari menyalahgunakan atau melukai kepercayaan yang diberikan?
Lalu apa yang terjadi jika anak melukai kepercayaan itu? Merespons itu, kami memutuskan kepercayaan itu diambil sedikit demi sedikit. misalnya, kepercayaan lembaga utk memberikan akses internet, kepercayaan lembaga memperbolehkan rambut gondrong, dan kepercayaan-kepercayaan lain.
Pertanyaan lainnya adalah, bagaimana caranya kami bisa tau jika anak melakukan pelanggaran?
Jawabannya adalah dengan membangun pagar piring yang kokoh. pagar piring adalah istilah yang dipopulerkan oleh romo mangunwijaya, seorang Romo yang terkenal karena karya sosialnya, untuk menjelaskan kontribusi sosial.
“Jangan memagari rumahmu dengan beling (pecahan kaca) namun pagarilah rumahmu dengan piring,” Kata Romo Mangun
Kredo ini adalah ungkapan kegelisahan Romo yang melihat banyak sekali rumah rumah yang berpagar tinggi, seakan-akan menjadi penghalang Antara penghuni rumah dengan masyarakat di sekitarnya. alih-alih membangun pagar, romo mangun menyarankan untuk membina hubungan baik dengan warga disekitarnya, baik melalui kontribusi materil maupun non materil.
Aebagai pesantren yang berdiri di tengah pemukiman penduduk, menjadi penting untuk membina hubungan yang baik dengan tetangga. salah satunya melibatkan warga sekita dalam pengelolaan pesantren. misalnya dengan melibatkan warga sebagai koki, tenaga kebersihan, bahkan manajemen sarana prasarana.
Dari para warga yang terlibat inilah, seringkali pesantren mendapatkan informasi tentang keseharian anak ketika sedang berada di luar.
Bentuk lainnya adalah dengan menjadi jembatan akses antara masyarakat petani desa dengan lembaga penyedia modal dan pengetahuan.
Pak Tri, fasilitator dari program ini mengatakan ada sekitar 50 petani yang terlibat. Mereka diberikan akses pengetahuan berupa pendampingan dari konsultan pertanian utk beralih ke komoditas yang lebih menguntungkan seperti bawang atau edamame. Selain itu, pesantren juga memfasilitasi petani dengan akses ke lembaga yang memberikan bantuan seperti baznas.
Kerja-kerja sosial ini semata dilakukan Sebagai pembelajaran santri, bahwa dunia ini dibangun melalui kolaborasi-kolaborasi, membangun jembatan demi jembatan, bukan tembok demi tembok.