Siapa yang tidak kenal dengan sahabat yang satu ini. Namanya menjadi populer ketika idenya untuk menggali parit (khandaq) menjelang perang Khandaq disetujui dan diamini oleh Rasululullah dan sahabat-sahabat beliau.
Ia dulunya adalah penganut agama Zoroaster (penyembah api). Nama aslinya Mabah bin Budakhsyan bin Mursilan bin Bahbudzan bin Fairuz bin Syahrak. Salman lahir di Ishfahan, tepatnya di desa Jiyyun yang mayoritas penduduknya beragama Zoroaster.
Abu Nu’aim al-Ashbihani dalam Ma’rifat al-Sahabah menjelaskan bahwa ayah Salman adalah kepala suku di desanya. Salman mendapatkan kasih sayang lebih dari ayahnya, sehingga ia tidak pernah diperkenankan keluar rumah layaknya gadis perawan.
Sebagai penganut agama majusi yang taat, Salman sangat rajin melaksanakan ajaran majusi, yakni menyembah api. Bahkan ia ditugaskan ayahnya untuk menjaga kuil api di tempat pemujaan penganut agama majusi.
Salman adalah satu dari sekian sahabat Nabi yang tidak edan dunia (zuhud). Meski ia adalah gubernur Madain dengan gaji 5000 dinar (kira-kira 8,5 M per tahun), gaji itu tidak pernah ia pakai. Semuanya ia sedekahkan. Ia lebih suka makan dan minum dari hasil tangannya sendiri.
Abu al-Faraj bin al-Jauzi dalam kitabnya Bahr al-Dumu’, menceritakan kisah kezuhudan Salman sebagai berikut. Sore itu Salman melaksanakan pernikahan dengan gadis pujaan hatinya dari keluarga berada. Shawwab namanya. Ia adalah gadis keturunan Kindah. Usai melangsungkan pernikahan, Salman tidak langsung pulang, tetapi sowan-sowan dulu ke senior-seniornya, terkhusus Rasulullah SAW.
Malamnya, ia baru pulang ke rumah. Ketika sampai di rumah, Salman mengetuk pintu, lalu memanggil-manggil istrinya. Sayangnya tidak ada jawaban apa pun dari dalam rumah. Salman merasa jengkel, lalu ia berbual, “Istriku, apa engkau tuli dan bisu? Kenapa engkau tidak menjawab panggilanku?.”
Tidak ada tanda-tanda kemarahan dari raut wajah Shawwab, meski ia dianggap tuli dan bisu oleh suaminya sendiri. Shawwab menjelaskan dengan suara lirih dan penuh kelembutan, “Wahai sahabat Rasulullah, aku tidak tuli juga tidak bisu. Perlu engkau ketahui wahai suamiku, bahwa aku ini pengantin baru. Aku malu bercakap-cakap denganmu.” Salman menerima penjelasan istrinya, lalu ia tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Salman segera masuk ke dalam rumah. Betapa kagetnya Salman al-Farisi ketika seluruh ruangan rumahnya dihias dengan tirai-tirai dan beberapa baju bergelantungan yang semuanya terbuat dari sutera.
Awalnya Salman ingin sekali marah, namun ia tahan. Ia kemudian bertanya, “Istriku, apa aku tidak salah lihat. Apakah Kabah pindah ke rumah kita?”
“Wahai sahabat Rasulullah, kami para pengantin perempuan suka sekali menghias rumah-rumah kami,” jelas Shawwab lalu pergi ke arah dapur.
Kali ini Salman menghargai istrinya. Tak terucap sedikitpun kata-kata dari mulutnya. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, sebagai isyarat ia setuju dengan tradisi para pengantin perempuan suku Kindah.
Untuk kedua kalinya, Salman dibuat kaget istrinya. Kali ini, Salman harus meluapkan seluruh isi hatinya demi kebaikan rumah tangganya. Di dalam rumah tersebut, banyak sekali budak-budak milik Shawwab. Mereka membawakan berbagai minuman dan makanan yang sengaja dibuat istri Salman untuk menyenangkan hati suaminya.
Sebenarnya Salman tidak mau menyakiti hati istrinya. Namun apa boleh dibuat, Salman segera memanggil istrinya agar bisa bercakap-cakap empat mata. “Istriku, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang tidur di tempat yang empuk, berpakain indah, memakai kendaraan mewah, dan makan makanan yang lezat, maka orang tersebut tidak akan mencium bau surga.’
Kali ini istri Salman yang mengalah demi untuk menyenangkan hati suaminya, seorang sahabat yang dicintai Rasulullah SAW. Ia pun memanggil budak-budanya, lalu berkata, “Wahai sahabat Rasulullah, aku saksikan kepadamu bahwa semua yang ada di dalam rumah ini aku sedekahkan untuk Allah dan semua budak aku bebaskan. Cukuplah aku makan gandum. Dan aku akan membantumu mengurus rumah tangga dan mencari nafkah.” Salman berkata, “Semoga Allah merahmatimu dan menolongmu.”
Wallahu a’lam.