Foto seorang Habib mendadak viral di dunia maya. Postingan, terutama di status Whatsapp, netizen yang mengunggah foto Habib tersebut langsung bertebaran, bahkan ada netizen yang membuat tangkapan layar yang merekam aktivitas unggahan foto Habib tersebut. Menariknya, foto tersebut tersebar diiringi dengan narasi “Barakah” berupa mobil.
Komentar warganet pun mendadak ramai. “Umat Islam kok begini” bilang salah satu netizen dalam perbincangan pada kolom komentar di salah satu platform media sosial. Adapun netizen lain menyebutkan mengunggah foto orang tua lebih baik dari foto Habib tersebut.
Bahkan, salah satu pendakwah populis pun turut membuat konten terkait fenomena tersebut di akun TikTok miliknya. Dia sedih melihat umat Islam masih percaya soal ini. Di lain kesempatan, seorang akademisi di salah satu grup WA yang saya ikuti pun turut membagikan komentar panjang, yang dikaitkan dengan narasi kewalian hingga kepercayaan masyarakat.
Secara umum respon publik beragam, mulai dari menolak, menyayangkan, hingga misuh-misuh terkait fenomena ini, dan tidak sedikit berujung pada perdebatan. Walaupun, jika ditelisik lebih dalam, perbincangan warganet tidak tunggal. Bahkan, perdebatan di dunia maya bisa dibilang cukup kompleks, bahkan simpang siur.
Sayangnya, perbincangan terkait foto Habib Alex lebih banyak disikapi negatif. Diantaranya dipengaruhi posisi kelompok Hadhrami di masyarakat Nusantara yang sedang hangat diperdebatkan. Namun, terlepas dari perdebatan tersebut, narasi kewalian di tengah masyarakat Muslim Nusantara adalah pusat perbincangan di kalangan netizen.
Dunia kewalian sebagai bagian dari Islam tidak terhindarkan akan berkelindan dengan internet atau perkembangan dunia digital lainnya. Hari ini perjumpaan dengan media turut mewarnai kewalian di masyarakat Muslim. Mengapa? Dan apa hubungannya dengan foto Habib Alex?
***
Wali atau orang suci di dunia Islam tidak luput dari perkembangan media. Sebenarnya, hal ini bukan hal asing di tengah masyarakat Muslim. Buktinya, sebagian kita masih memasang foto sosok yang kita percaya atau ketahui sebagai seorang wali. Foto adalah salah satu perkembangan media yang telah berjumpa lama dengan kewalian, selain media cetak berupa buku atau kitab Manaqib yang merekam kisah-kisah hagiografis sang wali.
Perubahan atau pergeseran media memang tidak selalu mulus. Kabar buruknya ada saja penolakan. Namun, seiring berjalan waktu, kehadiran Wali di berbagai media foto hari ini bisa kita jumpai dengan sangat mudah. Bahkan, sebagian kisah-kisah hagiografis pun turut beradaptasi dengan menambahkan foto sebagai bagian dari kewalian tersebut.
Kisah-kisah hagiografis yang beradaptasi dengan media baru ini tentu membutuhkan peran aktor atau agensi, seperti ulama, kyai, hingga masyarakat. Beberapa bulan lalu, saya menyambangi rumah sepupu sembari bertanya siapa pendakwah yang akan mengisi ceramah di langgar di samping rumahnya. Sepupu saya tersebut menyebutkan nama seorang kyai sepuh di salah satu kota besar di Kalimantan Selatan.
Saya pun langsung merespon, “Apa tidak kasihan beliau harus menempuh perjalanan jauh, hanya untuk menyampaikan ceramah?” Sepupu saya tak butuh waktu lama langsung menimpali, “Tidak mengapa, hal ini dilakukan untuk mengambil barakah dari sosok wali seperti beliau (baca: sang ulama).”
Padahal, saya mengenal sosok ulama tersebut tidak pernah bersentuhan dengan narasi kewalian. Entah sejak kapan, beliau dikenal sebagai seorang wali. Inilah titik paling unik sekaligus kompleks dalam narasi kewalian, di mana dunia Islam tidak mengenal organisasi atau lembaga yang melegitimasi atau mengidentifikasi kewalian seseorang.
Ibnu Usman al-Hujwiri mengutip hadis qudsi yang menyebutkan bahwa Allah berfirman: “Kekasih-Ku (wali) berada di balik jubah-Ku, dan selain Aku, tidak ada seorangpun yang tahu kecuali kekasih-Ku.” Artinya, hanya seorang wali yang bisa mengenali wali. Menariknya, hal ini cukup tricky, karna bagaimana kita mengetahui seorang itu wali jika kita tidak mengetahuinya, terlebih kita bukan wali.
Jadi, masyarakat lah yang biasanya “mengangkat” atau “melabeli” seorang saleh sebagai seorang wali. Menariknya, masyarakat Muslim pula yang mengatur sikap yang patut kepada seorang wali. Foto Habib Alex yang berkelindan dengan kewalian, maka wajar jika ekspresi yang muncul juga turut berkelindan dengan perjumpaan media, karena masyarakat Muslim hari ini, termasuk Muslim Tradisionalis, sedang beradaptasi dengan beragam pengaturan, logika, hingga algoritma beragam platform media sosial.
Jika foto wali sudah memiliki model-model ekspresi yang telah “dianggap” baku, maka foto yang diunggah di dunia maya masih “mungkin” terus beradaptasi, tarik-menarik, hingga bernegosiasi untuk membentuk ekspresi yang baku. Bahkan, tidak jarang sebuah ekspresi juga mengalami rethinking setelah dianggap baku.
Sewaktu sekolah SD, saya pernah mendengar seorang teman dimarahi orang tuanya karena membawa tas sekolah ke toilet, padahal di dalamnya ada kotak pensil yang melekat foto seorang ulama yang dianggap wali oleh masyarakat Banjar. Wajar jika hari ini masih ada perdebatan terkait unggahan foto di beragam platform media sosial untuk mengharapkan barakah dari sang wali.
***
Wali, sebagaimana disebut oleh Imam Qusairi, adalah seseorang yang memiliki kedekatan dengan Allah Swt. Bahkan, Al-Hujwiri dalam kitab Kasyf al-Mahjub menambahkan bahwa wali adalah seseorang yang ketaatannya tidak bisa bantah. Saleh dan dekat dengan Allah Swt. dianggap syarat seorang wali terhadap akses atas kesucian.
Kepercayaan inilah yang menjadi titik berangkat imaji masyarakat atas kewalian. Dengan kata lain, ekspresi-ekspresi atau beragam sikap yang muncul atas kewalian sering disandarkan pada imaji tersebut. Wali, di sebagian masyarakat Muslim, dipercaya sebagai penghubung “Yang Sakral” dengan manusia-manusia.
Wali adalah tempat masyarakat ingin “sedikit” merasakan kesucian yang dianggap bisa mendekatkannya kepada Allah Swt. Oleh sebab itu, sesuatu yang bersifat dogmatis dan ritus kuno seringkali berjumpa di makam-makam Wali. Guillot dan Chambert-Loir menyebutkan bahwa, “Ketika menghadapi wali-waliNya, masyarakat seakan-akan melupakan ibadah-ibadah wajib di masjid dan menemukan kembali semua bentuk-bentu lama, termasuk paling aneh, dari pendekatan terhadap kesucian.”
Unggahan foto Habib di berbagai media sosial boleh saja dianggap negatif oleh sebagian masyarakat. Namun, harapan yang digantungkan dalam ekspresi tersebut adalah bagian dari usaha masyarakat Muslim, di saat bersamaan, juga berkelindan dengan tarikan rasionalitas dan logika algoritma.
Dalam dua bulan terakhir ini, Indonesia sering sekali kedatangan beberapa otoritas agama dari luar negeri, baik salafi atau sunni. Coba lihat kembali postingan di berbagai platform media sosial juga menggambarkan bagaimana irisan antara foto atau video ulama yang disertai dengan caption-caption berbentuk doa, yang dalam bentuk mungkin berbeda namun tak jauh berbeda dengan mereka yang mengunggah foto Habib Alex.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin