Sehari setelah mengumumkan susunan kabinetnya, KH. Abdurrahman Wahid, Gus Dur kembali ke rumahnya di Jalan Warung Silah, Ciganjur, Jakarta Selatan, sekitar bulan Oktober 1999. Menggunakan kendaraan Marcedes berlapis baja lengkap dengan pengawal ia melesat kearah Selatan.
Ia hendak pulang ke Ciganjur, sesampainya di sana ia sudah disambut warga dengan iringan shalawat. Dalam kesempatan itu pula Gus Dur menyampaikan, jika ia bersama keluarga berniat tinggal di Istana Merdeka.
Dalam sebulan sekali ia akan kembali ke Ciganjur untuk shalat Jumat dan menyapa warga. Bahkan rumahnya jadikan tempat pertemuan informal dengan orang di luar lingkungan istana.
Sebelum ditempati Gus Dur, persiapan dilakukan beberapa minggu, karena Istana Merdeka sudah lama tidak dihuni sejak Presiden Soekarno. Sementara Presiden Suharto dikabarkan tidak pernah menginap di Istana Merdeka. Sesekali hanya menghabiskan sebagian malam pada hari Raya Kemerdekaan RI, 17 Agustus, karena tidak betah dan dan takut hantu penghuni Istana.
“Biasanya Suharto menghabiskan sebagian malam Hari Kemerdekaan 17 Agustus di Istana, tetapi jelas ia tidak betah tinggal di sini dan takut akan hantu-hantunya, baik arti sebenarnya maupun kiasan,” tulis Greg Barton, dalam Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Biografi Gus Dur.
Gus Dur bersama keluarga dapat tinggal di Istana Merdeka, namun terlebih dulu ia diminta untuk bernegosiasi dengan orang halus penjaga istana.
Apalagi ada salah satu kamar di ujung ruang utama. Di kamar tersebut lampu harus dinyatakan, meski hanya dimasuki sekali dalam satu tahun yakni 17 Agustus untuk memindahkan bendera pusaka dari peti yang disimpan ditengah ruangan, yang terletak diantara relief perunggu besar dua pendiri bangsa Soekarno dan Hatta.
“Setelah pindah ke kamar Istana Merdeka tersebut, Gus Dur berkomentar tanpa basa-basi bahwa kamar itu memang dihuni orang halus,” tulis Greg Barton lagi.
Hal ini seolah-olah Gus Dur telah berhasil menundukkan dan bernegosiasi dengan makhluk halus tersebut sebelum menempat kamarnya.
Setelah tinggal di Istana, Gus Dur menggunakan kantor di sisi lain ruang utama bernama Bina Graha. Gedung ini seperti bergaya Soviet, yang tak lain adalah kantor Soekarno saat ditinggal di Istana.
Gus Dur sangat betah menggunakan kantor tersebut yang digunakan rapat-rapat kebinet dan acara resmi.