Pembacaan atas diskursus Islam di Indonesia beberapa tahun belakangan senantiasa terfokus, atau dikaitkan, dengan polarisasi Islam menjadi moderat dan radikal. Ekstremisme menjadi salah satu pemicu utama.
Pelbagai kajian kemudian dilakukan tidak hanya untuk merespon dan menimbulkan efek jera, tetapi juga untuk menelisik akar persoalan demi kebutuhan aksi pencegahan. Perbincangan kemudian mengarah pada sepak terjang dakwah Islam di pesantren, sekolah Islam, hingga sosial media.
Beberapa tahun lalu pesantren pernah diteliti, dicemaskan menjadi hotbed bagi terorisme, tetapi temuan yang didapat menunjukkan hal yang sebaliknya. Pesantren ternyata menjadi fortress bagi Islam Indonesia yang moderat, toleran, inklusif, dan peka terhadap keberagaman.
Temuan itu kemudian menjadi salah satu turning point penelitian lanjutan terkait instrumentalitas pesantren dan santri bagi Islam yang rahmatan lil ‘alamiin vis-a-vis yang persekusif.
Tetapi, temuan atas instrumentalitas pesantren ini dibarengi temuan lain yang tidak kalah mencemaskan. Bahwa narasi Islam di sosial media dikuasai lebih banyak oleh kalangan ultra konservatif dan radikal, yang kemudian menyetir pembentukan tren post-Islamisme di Indonesia.
Kalangan santri dianggap terlambat ‘mempesantrenkan’ sosial media, belum termasuk indikasi bahwa sebagian santri dianggap tidak ‘menjual’ dalam hal public speaking. Belum lagi bahasan yang dibawakan mungkin tidak beresonansi dengan kebutuhan mainstream kosmopolit Muslim.
Dengan ‘hingar-bingarnya’ vokal kalangan Islam ultra-konservatif dan radikal dalam menyetir klaim kebenaran di sosial media pada akhirnya mengancam ortodoksi agama di Indonesia. Tidak heran kemudian NU dan Muhammadiyah, sebagai dua organisasi yang dianggap representasi Islam di Indonesia, berusaha saling merangkul, saling menemukan titik temu. Tidak lagi bersitegang sebagaimana dua-tiga dekade lalu hingga muncul ketabuan bagi orang NU menikah dengan orang Muhammadiyah; hingga ‘muncul’ terma agama NU dan agama Muhammadiyah.
Dengan adanya ‘musuh bersama’, keduanya tidak lagi berebut ortodoksi, alih-alih bergerak menjadi sharing ortodhoxy. Banyak orang Muhammadiyah mempelajari sufisme, sebagaimana orang NU mengadopsi ide-ide Islam modernis.
Penguatan dan pengayaan konten narasi Islam moderat telah dilakukan di sosial media, demi menawarkan narasi alternatif terkait terma-terma Islam yang beberapa tahun belakangan dihegemoni oleh kalangan ultra-konservatif seperti terma jihad, hijrah, dan khilafah.
Kemudian, ada pengakuan terhadap kontribusi santri bagi negeri, seiring dengan menggemanya ortodoksi ‘hubbul wathon minal iman’ yang secara tidak langsung menempatkan ortodoksi khilafah sebagai sempalan. Karena bagaimanapun dipoles ia dengan dalil keagamaan, khilafah yang mengancam keutuhan dan perdamaian dianggap tidak selaras dengan Islam substantif dan bahwa membela Tanah Air dari ancaman model demikian adalah bagian dari iman. Resolusi Jihad hadratussyaikh kemudian diketengahkan sebagai rujukan.
Sebagaimana kita tahu, para santri ini tidak bisa dilepaskan dari sepak terjang pendidikan Islam di pesantren. Tidak bisa dipungkiri bahwa pesantren memegang peran penting dalam kemerdekaan dan pembangunan Indonesia, utamanya dalam menawarkan pendidikan akhlak bagi kalangan-kalangan marginal, pedesaan, dan terhegemoni.
Ia adalah antitesis dari pendidikan Barat yang pada waktu itu rasis. Ia menjadi basis perlawanan. Tetapi pesantren pernah mengalami pasang surut seiring perubahan zaman, masuknya modernitas dan industrialisasi.
Dengan asumsi bahwa pesantren menawarkan ortodoksi Islam ramah yang dibutuhkan oleh Indonesia demi menjaga keutuhannya, maka pesantren perlu diperkuat. Tak heran jika kemudian pemerintah beritikad baik menyusun RUU Pesantren yang ternyata tidak hanya membahas pesantren tetapi juga lembaga pendidikan enam agama di Indonesia.
Konten RUU ini juga menarik karena menawarkan titik temu antara Islam ala NU dan Islam ala Muhammadiyah. Pada akhirnya memperkuat sharing ortodhoxy yang telah terbangun.
Apa buktinya?
Pertama, dalam menjabarkan Islam, muncul terma taawun, tawazun, dan tawasuth yang walaupun sebetulnya dapat dikatakan ‘sesuai’ dengan Muhammadiyah, terma-terma tersebut sangat khas NU. Tetapi dalam menjelaskan harapan yang dicita-citakan, muncul terma ‘berkemajuan’ yang sangat khas dengan progresivitas Islam ala Muhammadiyah. RUU ini seperti mencoba memperkuat gagasan Islam wasathiyah melalui penguatan ‘hotbed’-nya.
Kedua, ada penekanan pada kitab kuning sebagai ciri khas dan prasyarat pesantren, sedangkan kitab kuning adalah instrumen khas di kalangan tradisionalis Muslim terutama NU.
Bagi kalangan NU, seseorang belum layak disebut ustaz jika belum fasih membaca kitab kuning. Corak pembelajaran kitab kuning sentris ini kemudian menjadi ciri khas pesantren secara umum. Di sisi lain orang-orang Muhammadiyah yang sangat lekat dengan kesan ‘sekolahan’, biasanya dianggap ‘hanya mampu baca kitab putih’. Alhasil, penekanan pada kitab kuning sangat khas ortodoksi NU.
Tetapi, pada RUU tersebut ada penekanan pada formalisasi pendidikan Islam yang berjenjang khas sekolahan umum, yang sejatinya adalah semangat pembaruan KH. Ahmad Dahlan.
Sekali lagi ada pengakomodasian bagi ideal Muhammadiyah. Dan dalam banyak hal, bagi saya, baik untuk pesantren demi memperkuat kapasitas dan kompetensi para lulusannya. Apalagi, RUU tersebut mengatur keharusan dorongan dan pembinaan dari pemerintah bagi pesantren; keharusan pesantren coop dengan standar mutu pendidikan. Kesemuanya demi keberlangsungan dan keberlanjutan sharing ortodhoxy Islam demi kemaslahatan umat.
Dengan mempertimbangkan jumlah santri yang banyak, ditopang oleh penguatan kualitas pesantren, diharapkan dapat memperkaya resource bagi narasi alternatif dan ortodoksi Islam ala Pesantren. Sebagai pengimbang post-Islamisme di kalangan kosmopolit, Itikad ini baik, bahkan telah menarik perhatian sejak proses legislasi, apalagi dalam pengimplementasian.
Santrinisasi Indonesia mungkin akan lebih substantif ketika pesantren tidak hanya direkognisi tetapi secara sistematis diperkuat, dirawat, dan dikembangkan.
Wallahu A’lam.