Menjelang pelantikan Joe Biden sebagai Presiden AS, 20 Januari ini (Rabu malam waktu Indonesia), Washington kembali tegang. Penyerbuan gedung Capitol, Washington — simbol demokrasi Amerika 6 Januari 2021 lalu, oleh para pendukung presiden pecundang Donald Trump — akankah terjadi lagi Rabu 20 Januari ini?
Sepintas peristiwa Capitol adalah luar biasa, terjadi di negeri demokrasi paling tua di dunia. Para penyerbu Capitol seperti orang sakit jiwa, memakai atribut aneh-aneh, membawa senjata, seakan mau perang melawan musuh Amerika. Begitu pula halnya presiden sakit jiwa Donald Trump — kenapa bisa terpilih dalam sistem demokrasi liberal Uncle Sam? Tragisnya, Trump pun menikmati tragedi Capitol dari siaran tivi di White House. Edan.
Amerika dengan demokrasi liberalnya, memang terkadang keterlaluan. Kepemilikan senjata, misalnya, dianggap sebagai hak individu untuk menjaga keamanan diri di negeri demokrasi. Padahal gegara kebebasan kepemilikan senjata telah menjerumuskan Amerika menjadi negeri paling rentan penembakan tanpa alasan. Melihat fenomena itu, sejumlah presiden AS — antara lain Barack Obama — mengusulkan UU Pembatasan kepemilikan senjata. Tapi selalu gagal. Senat dan DPR menolaknya.
Trump adalah presiden yang mendukung kebebasan kepemilkian senjata. Setelah peristiwa penyerbuan Capitol, apakah Biden akan kembali mengusulkan pembatasan kepemilikan senjata seperti halnya Obama?
Senjata dan Sakit Jiwa
Jumat (14/12/012), Adam Lanza (20), menembak mati ibunya, lalu menembak mati 20 anak SD dan 6 orang dewasa, kemudian menembak dirinya sendiri. Kota Newtown di Negara Bagian Connecticut, AS, itu menjadi saksi bisu kebiadaban Adam Lanza yang mengerikan tersebut.
Lima bulan sebelumnya, peristiwa yang nyaris sama terjadi saat pemutaran perdana film Batman: The Dark Knight Rises di gedung bioskop Aurora, Colorado, AS, Kamis malam waktu setempat (19/7/012). Seorang pria bertopeng yang mengidentikasi diri sebagai The Joker, musuh Batman, tiba-tiba menembakkan senjata secara membabi-buta ke tengah penonton film itu. Akibatnya: 12 orang tewas dan 71 lainnya luka-luka. Pria pembantai itu, ternyata James Eagan Holmes, 24, seorang mahasiswa Colorado University, dengan spesialisasi kedokteran jiwa. Tapi ironisnya, Holmes justru sakit jiwa. Dalam istilah Gubernur Colorado, John Hickenlooper, Holmes adalah seorang yang berjiwa teroris.
Peristiwa itu cukup menyedot perhatian media massa AS. Adam Lanza adalah seorang mahasiswa yang dikenal jenius. Begitu pula Holmes. Kenapa orang-orang terpelajar seperti Lanza dan Holmes mau melakukan tindakan biadab itu?
Washington Post dan New York Post menuding film-film Amerika yang brutal telah mempengaruhi fikiran dan mental anak-anak muda AS yang labil jiwanya. Sementara itu, para politisi, baik dari Partai Republik maupun Demokrat mempersoalkan izin kepemilikan senjata api di AS. Presiden Obama yang prihatin atas banyaknya kasus kriminal yang menggunakan senjata di AS juga berencana untuk membuat UU baru yang memperketat kepemilikan senjata. Namun, niat Obama pun mendapat kecaman kalangan liberal. Sebab faktanya: kontrol kepemilikan senjata di AS tidak berpengaruh terhadap menurunnya kejahatan bersenjata, melainkan sebaliknya.
Dilema Kepemilikan Senjata
AS adalah negara yang penduduknya paling mudah memiliki senjata api. Bagi sebagian orang, khususnya penganut liberalisme, mempunyai senjata api adalah bagian dari hak asasi manusia. Karena itu, pemerintah diminta tidak boleh terlalu jauh campur tangan dalam hal izin kepemilikan senjata. Faktanya: negara-negara bagian yang izin kepemilikan senjatanya sulit karena ketatnya kontrol, perampokan dan kriminalitas makin tinggi.
Negara bagian New Jersey, misalnya, tahun 1996 memberlakukan undang-undang kontrol senjata api yang ketat. Hasilnya: dua tahun kemudian tingkat pembunuhan naik 46 persen, dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Hal yang sama terjadi di Hawai. Tahun 1968, Hawai memberlakukan kontrol senjata yang ketat. Sembilan tahun kemudian, tingkat kejahatan dan pembunuhan naik tiga kali lipat.
Hal serupa – kontrol senjata menambah tingkat kriminalitas dan pembunuhan – terjadi di Washington DC, New York City, Detroit, Chicago, dan kota-kota lain.
Fenomena seperti itu jelas menggambarkan bahwa Amerika adalah negeri yang tidak aman. Jika pun negeri ini aman, hal itu semata-mata karena ketatnya hukum, kerasnya aparat keamanan, dan kecanggihan instrumen-instrumen deteksi terhadap kriminalitas.
Dengan demikian, harga keamanan di Amerika sangat tinggi. Budaya kekerasan semacam itu muncul karena latar belakang sejarah Amerika itu sendiri. Masa-masa awal berdirinya Amerika, misalnya, penuh kisah petualangan dan kekerasan kaum cowboy. Di dunia cowboy, ada hukum survival of the fittest atau hukum rimba — siapa yang kuat dialah yang menang. Untuk menjadi kuat, orang tidak cukup mempunyai kemampuan fisik yang kuat, tapi juga mempunyai kemampuan yang hebat dalam memakai persenjataan.
Budaya cowboy tersebut tampaknya sudah terinternalisir dalam kehidupan bangsa Amerika secara mendalam. Dan itu terlihat dari korelasi antara kepemilikan senjata dan keamanan.
Fenomena ini jelas mengundang keprihatinan Washington. Presiden Obama yang mulai mencium “fenomena anomali” tersebut sebenarnya ingin mencegahnya dengan menerapkan UU Kepemilikan senjata yang ketat dibarengi dengan perubahan paradigma kepolisian Amerika sendiri.
Persoalannya, mungkinkah hal itu terjadi di sebuah negeri yang mendapat julukan – pinjam istilah Max Keiser – the walking dead country tersebut? Rasanya tak mungkin! Budaya cowboy dengan karakter keras dan rimba telah menjadi “gaya hidup” Amerika. Presiden George W Bush, misalnya, pernah mengancam dunia setelah robohnya gedung WTC (11/9/2001) dengan gaya seorang cowboy: you follow me or against me!
Bagi Bush, negara yang mengikuti langkah Amerika memberantas teroris dengan cara kekerasan dan memeranginya dengan senjata adalah sahabatnya. Sedangkan yang tak mau ikut adalah musuhnya. Tidak ada alternatif ketiga!
Itulah cara kerja cowboy dalam mengatasi masalahnya. Apa yang dinyatakan Bush saat itu sebenarnya kontradiktif dengan nilai-nilai demokrasi yang diusung Amerika.
Demokrasi, ungkap Presiden AS Abraham Lincoln, bukan hanya harus terlihat dari terwakilinya individu dalam proses pemilihan pemimpin pemerintahan (presiden, gubernur, bupati dst), tapi juga harus terlihat dari aspek yang lain: perdamaian, toleransi, humanisme, dan keadilan. Lincoln telah membuktikannya, menghapus rasialisme di Amerika atas nama demokrasi.
Ketika Amerika menghancurkan Irak dengan alasan menghancurkan senjata pemusnah massal yang dimiliki Saddam Husein (yang kemudian tidak terbukti), di sana ada aspek demokrasi yang diinjak-injak Amerika. Adilkah kalau seseorang yang suka menggertak orang lain dengan senjata kemudian melarang orang lain memiliki senjata?
Penyanyi Justin Beiber pernah menyatakan Indonesia sebagai random country. Dari aspek demokrasi liberal ala cowboy, maka Amerika pun tidak kalah random-nya. Kasus Trump dan Capitol menjadi bukti randomnya negeri Uncle Sam.
Dengan demikian, tragedi The Joker dan Capitol adalah sebuah ironi dari negeri yang mengusung demokrasi liberal. Sebuah sistem demokrasi yang menempatkan kebebasan individu di atas segalanya. Bahkan di atas demokrasi itu sendiri. Ironis
Dari gambaran di atas, terlihat bahwa tragedi Capitol bukanlah sebuah peristiwa yang berdiri sendiri. Ini buah dari demokrasi liberal yang mendewakan kebebasan individu tanpa reserve. Padahal, kebebasan individu bisa amat berbahaya bila dilakukan oleh orang-orang sakit jiwa atau delusif seperti Adalm Lanza, Holmes, dan Trump.
Tragedi-tragedi di atas adalah contoh yang tak terbantahkan dari dilema kebebasan individu (termasuk kepemilikan senjata) dan HAM. Mencermati tragedi Colorado dan Capitol di atas, Indonesia sebelum terjebak dilema tersebut, hendaknya berpikir jauh ke depan untuk memberikan kebebasan kepemilikan senjata demi HAM dan kebebasan individu.