Akhir-akhir ini Rohingya lebih merupakan hiruk-pikuk politik dibandingkan keprihatinan komunal sebagai rasa tanggung jawab berbangsa dan bernegara. Isu berkaitan dengan rohingya bukan lagi isu mengenai konflik suatu settlement (hunian) dan para penghuninya dengan kepentingan suatu negara bangsa dalam hal ini Myanmar.
Batas-batas isu begitu mengabur, karena menumpuknya berbagai kepentingan terkait suku, ras, agama, serta antargolongan (SARA) yang dibarengi dengan kisah-kisah pertarungan ekonomi kewilayahan. Namun, mari kita dekati Rohingya dari sudut pandang berbeda, yakni tentang bagaimana suatu bangsa terbentuk dan patut diakui hak-haknya.
Dalam perjalanan naturalnya, bangsa dibentuk karena kesamaan prinsip entah ras ataupun tujuan dari suatu komunitas, yang kemudian menjelma menjadi kesamaan kultural. Pada fase berikutnya suatu bangsa memaklumatkan diri dalam bentuk negara bangsa (nation-state), menyatakan berhak mematok dan menguasai suatu wilayah, menerapkan hukum yang berlaku, dan membentuk suatu kondisi di mana mereka sanggup mempertahankan hak-hak negara-bangsanya, melalui jalan damai diplomasi atau jalan kekerasan melalui peperangan.
Anderson dalam bukunya Imagined Communities (1991), menjelaskan fase berikutnya dari negara-bangsa yakni nasionalisme. Nasionalisme adalah upaya pembayangan suatu warga negara tentang batas-batas yang mereka yakini ada, dan menjadikannya suatu negara. Perasaan berbangsa dalam hal ini berkaitan dengan kekuatan imajinasi warganya, pembayangan warganya akan kedaulatan secara bersama-sama.
Apabila suatu bangsa, merasa berdaulat, berdaya, serta memiliki nasionalisme sebagai peneguhan pada akar-akar kebangsaannya, maka bangsa tersebut tidak akan mudah mengungsi atau terusir dari rumahnya tanpa kembali untuk bertarung dan berjuang dikemudian hari merebut apa yang menjadi hak-haknya.
Dalam hal ini, kita mencoba mencocokkan kembali dari apa yang telah dijelaskan di atas, apakah komunitas muslim Rohingya telah sah menjadi suatu bangsa? Berhak memiliki negara? Atau menjadi komunitas ekslusif yang berhak dilindungi oleh bangsa-bangsa lainnya?
Jawabannya justru terlihat dari bagaimana orang-orang Rohingya, terutama para pengungsinya menjelaskan diri mereka sendiri. Bahwa yang mereka pedulikan hanyalah mencari penghidupan layak bukan yang lain. Bahkan dalam suatu wawancara dengan televisi lokal di Indonesia, tanpa malu-malu seorang pengungsi mengungkapkan harapannya untuk tinggal di Amerika Serikat, karena Indonesia dipandangnya negara miskin.
Dalam bagian wawancara lain, atau pengkabaran lainnya, misalkan dari BBC hingga Guardian tampak gairah nasionalistik dari para pengungsi Rohingya berkaitan dengan kondisi “tanah air mereka” di Rakhine. Dalam berita lain bahkan disebutkan ada pengungsi yang sengaja membakar rumah mereka sendiri untuk menambah efek dramatis kepiluan akan nasib mereka. Ada pula kabar yang menyebutkan bahwa pengusiran terkait perang faksi antar para gerilyawan yang ingin memerdekakan diri dengan yang ingin bergabung bersama negara Myanmar.
Dengan demikian apa yang hanya bisa dilakukan oleh Indonesia untuk orang-orang Rohingya sejauh ini, adalah mengirim bantuan kemanusian, dibandingkan terlibat lebih jauh menyelesaikan permasalahan Rohingya secara diplomatis. Toh bagaimanapun, pendekatan diplomatis pun telah dilakukan untuk membantu pemerintah Myanmar menyelesaikan sengketa Rohingya.
Namun halnya, dari pertemuan kenegaraan antara Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi dengan Ketua Dewan Pertimbangan Myanmar, Aung San Suu Kyi, sama sekali tidak terlihat kemungkinan terbentuknya suatu daerah otonomi khusus untuk menyelesaikan konflik di Rakhine dan memutuskan bagaimana kiranya nasib pengungsi Rohingya.
Inipun masih dipahami karena masalah di Rohingya belum terjadi secara eskalatif atau membutuhkan penanganan ‘spesial’ yang melibatkan keterlibatan tentara internasional. Berdasarkan data dari Kemenlu Amerika Serikat, Sejak awal konflik di Rohinya pada 2012 lalu, kekerasan yang berlangsung telah menelan korban 200 jiwa dan mengakibatkan 140,000 ribu jiwa mengungsi.
Artinya, kisah Rohingya mau tidak mau masih terisolasi, tertutup dari kemungkinan eksalatif kepada pembentukan wilayah otonomi khusus, atau terbuka jalan menuju negara sendiri. Warga pengungsi Rohingya sejauh ini masih menampakkan sisi crowd dibandingkan komunitas terorganisir. Dari perilaku para pengungsi yang telah dijelaskan, mereka tidak tertarik berjuang atau memutuskan nasib sendiri melalui kesiagaan regional.
Entah melalui jalan menggali akar sejarah keberadaan mereka untuk diakui sebagai bangsa yang merdeka, atau melalui lobby politik tingkat tinggi dan terlibat melakukan negosiasi dengan pemerintah Myanmar agar para komunitas kebangsaan lain yang membentuk Myanmar mau menerima keberadaan mereka.
Tidak muncul dari mereka tokoh yang mau menyambung suara rakyat sebagaimana umumnya perjuangan suatu bangsa dari ketiadaan menuju ada. Hal ini pula yang menyulitkan pemerintah Myanmar untuk melakukan deal-deal khusus berkaitan dengan nasib bangsa Rohingya. Mereka hidup saling terpencar tanpa ada perasaan khusus satu sama lain, dan hanya tertarik mengurusi nasib masing-masing.
Sampai pada titik ini, tidak sulit untuk menyatakan bahwa Rohingya bukan bangsa yang sah, karena mereka menolak menjadi bangsa. Menolak menampakkan dirinya sebagai kekuatan kebangsaan yang mandiri. Bahkan sejarah keberadaan orang-orang Rohingya ini lebih terkait kegagalan proyek postkolonial dari bangsa Inggris paska perang dunia kedua. Begitu mudahnya warga Bangladesh berpindah pagar menguni Arakan dalam migrasi besar pra perang dunia untuk membangun jaringan infrastruktur kolonialis Inggris, tidak dibarengi dengan pertemuan komunitas ini dengan kecambah negara baru yang tengah berjuang merdeka.
Negara yang tadinya bernama Burma dan kini menjadi Myanmar tengah pusing menjinakkan faksi-faksi di banyak provinsi yang masih menyisakan konflik paska perang. Rohingya hanyalah satu dari puluhan masalah Myanmar yang belum selesai. Dan tidak elok jika kita sebagai bangsa berdaulat, malah berupaya terlibat lebih jauh, ikut mencampuri kedaulatan negara orang lain, apalagi sampai memutuskan nasibnya. Sangat ironis pula apabila ada di negara kita malah ada yang berteriak ingin menolong Rohingnya membentuk negara, tapi warga Rohingya justru tidak peduli dengan keberadaan negara untuk diri mereka sendiri.