Riset: Tingkat Kesadaran Iklim di Indonesia Relatif Rendah

Riset: Tingkat Kesadaran Iklim di Indonesia Relatif Rendah

Riset: Tingkat Kesadaran Iklim di Indonesia Relatif Rendah
Sampah masih menjadi persoalan lingkungan yang sangat serius.

Seorang laki-laki berjaket hijau menghampiri saya. Setelah menyebut nama saya untuk memastikan, tangannya lalu menyerahkan helm berwarna sama. Sesekali kepalanya mendongak ke atas. Saya yang melihatnya secara reflek ikut mengarahkan pandangan ke langit.

“Maaf, mas. Perlu jaket hujan nggak, ya. Langitnya udah gelap banget. Padahal tadi cerah,” ujar salah satu supir ojek daring ini kepada saya.

Saya mengiyakan. Sebelum saya naik motornya, ia melanjutkan pembicaraannya, “Padahal tadi cerah banget, loh, mas. Mungkin ini efek bumi sudah tua, ya.”

Maksud hati ingin menjelaskan panjang lebar tentang krisis iklim, namun karena saya terburu-buru, saya lalu naik motor dan memintanya untuk segera jalan.

Nampaknya, anggapan bahwa bumi sudah tua dan berpengaruh pada perubahan cuaca yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya masih banyak dipercaya oleh warga Indonesia. Penelitian terbaru Aulia Nastiti berjudul Mendorong Media Jadi Solusi Krisis Iklim: Studi Dampak Media terhadap Sikap Audiens dalam Isu Perubahan Iklim di Indonesia menyebut bahwa kesadaran iklim masyarakat Indonesia relatif rendah.

Menurut penelitian Nastiti yang dipublikasikan oleh Remotivi, sebagian besar audiens di Indonesia memang sudah menyadari perubahan iklim, hanya saja, jumlah orang-orang yang menganggap bahwa krisis iklim ini tidak ada, atau para penyangkal masih memiliki prosentase yang lumayan besar. Masih ada sekitar 22,8% yang menyangkal adanya krisis iklim.

Orang-orang menganggap bahwa perubahan iklim disebabkan oleh proses alamiah bumi, salah satunya sebagaimana anggapan tukang ojek daring yang saya temui, juga cukup besar. Ada sekitar 34,2% responden dalam penelitian Nastiti yang menganggap bahwa climate change adalah perubahan yang alami.

Remotivi sebelumnya telah menggelar survei yang sama kepada kelompok yang lebih muda, hasilnya cukup menggembirakan, namun pada riset kali ini dengan mengubah sampelnya menjadi lebih beragam, menunjukkan sebuah hasil yang agak berbeda, yaitu tingkat kesadaran iklim di Indonesia memang relatif rendah.

Dalam hal mitigasi, sebagian besar 60-70% telah melakukan aksi-aksi individual, seperti hemat energi dan konsumsi ramah lingkungan lain. Hanya ada sekitar 40% yang ikut terlibat dalam aktivisme pro-lingkungan setidaknya sekali. Mereka juga memiliki pendapat berbeda terkait perlunya menjadikan problem prioritas untuk segera ditangani. Sikap audiens relatif terpolarisasi antara yang menganggap perubahan iklim perlu mendapatkan prioritas tinggi (sekitar 54%) atau rendah (sekitar 46%) dalam kebijakan publik.

Peran kelompok agama dalam penanganan krisis iklim

Indonesia dalam sebuah penelitian lain disebut sebagai negara dengan mayoritas masyarakat yang sangat percaya dengan agama. PEW Research menyebut 96 % masyarakat Indonesia sangat teosentris, yaitu percaya bahwa semua hal dalam kehidupan itu dipengaruhi oleh Tuhan dan agama.

Sayangnya kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap agama, tidak diikuti dengan spirit kesadaran lingkungan yang besar. Padahal ajaran agama sangat mendukung perawatan bumi dan penjagaan bumi dari kerusakan.

Hal ini diungkapkan oleh Savic Ali, ketua PBNU dalam dalam forum Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Yayasan Islami Media Ramah (Islamidotco) bertajuk Pengarusutamaan Narasi Lingkungan dan Krisis Iklim di Kelompok Kajian Keagamaan, akhir tahun 2022.

Menurutnya, bagi orang yang fatalis akan menganggap bahwa hal itu tidak ada kaitannya dengan manusia. Tapi sebenarnya secara sintific kejadian tersebut sangat dipengaruhi perbuatan manusia, karena meningkatnya suhu global, polusi industri, dan seterusnya.

“Hal ini senada dengan apa yang disebutkan dalam Al-Quran bahwa kerusakan di muka bumi ini karena ulah manusia, dhaharal fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aydinnas,” terang Savic.

Aktivis 98 ini juga meyayangkan bahwa kesadaran ini belum sepenuhnya tumbuh di kalangan kelompok agama di Indonesia. Ia juga menyebut bahwa kesadaran masyarakat Indonesia untuk segera menyelesaikan masalah selalu terlambat.

“Kita juga mengalami masalah, walaupun sudah tau masalahnya tapi kalau belum ‘seleher’ itu orang belum bangkit,” lanjut Savic.

Para dai dan pengurus majelis taklim sebenarnya telah lama memiliki kesadaran perubahan iklim dan mendukung upaya penanganan krisis iklim. Namun mereka agak bingung harus mulai dari mana dan bagaimana caranya. Beberapa dai menyebut perlu suplai informasi lebih banyak terkait krisis iklim dan penanganannya, khususnya dalam prespektif keagamaan, mengingat saat ini amat jarang keputusan keagamaan dan fatwa yang banyak membahas persoalan lingkungan.

Sehingga diperlukan kajian mendalam terkait krisis iklim ini dalam sudut pandang keagamaan, untuk membantu para dai dan pengurus kelompok majelis taklim merumuskan kajian-kajian dan pembelajaran kesadaran iklim bagi para jamaahnya.

(AN)

 

Islamidotco menyediakan berbagai konten terkait krisis iklim dalam sudut pandangan keislaman, mulai dari artikel, infografis, audio visual, hingga teks khutbah Jumat. Konten-konten tersebut bisa diakses melalui situs web maupun media sosial islami.co, dengan hashtag: #DemiBumi