Konon, siapa yang menguasai teknologi, berarti dialah penentu masa depan umat manusia. Termasuk dalam hal ini adalah teknologi media digital. Semakin canggih teknologi media digital, semakin canggih pula risiko atau kerawanan yang ditimbulkannya.
Salah satu bentuk dari kerawanan itu adalah runtuhnya otoritas moral seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Kini, baik-tidaknya seseorang bukan lagi ditentukan oleh perilaku sehari-hari yang kasat mata, tetapi pada derajat tertentu tereduksi dalam sebuah ruang kecepatan bernama internet.
Itulah kenapa, tidak peduli sebaik apa kita dengan tetangga sebelah rumah, sejauh persona kita di internet dinilai kurang saleh atau malah berseberangan dengan kelompok dominan, maka harus siap-siap mendapat penghakiman warganet.
Rupanya, kelompok dominan pengguna internet kita tergolong sebagai pengguna yang minim literasi digital. Apalagi setelah kita memasuki masa pandemi Covid-19, pengguna internet di Indonesia terbilang meningkat tajam.
Yang demikian itu diperkuat oleh temuan Kominfo yang menunjukkan bahwa literasi digital netizen Indonesia masih dalam kategori sedang yaitu 3,47 pada skala 1-5. Potret ini menunjukkan bahwa netizen kita masih rentan.
Akibatnya penggiringan opini, pesebaran kabar bohong, dan polarisasi pun sangat dimungkinkan, bahkan tumbuh subur. Ini seperti diungkapkan Alvara Research Center dalam laporan tahunan, 2020.
“Dulu banyak orang berpandangan bahwa polarisasi di Indonesia hanya terjadi ketika ada kontestasi politik seperti Pilpres atau Pilkada, dan tensinya akan turun ketika kontesi politik selesai, nyatanya sampai saat ini polarisasi masih terjadi dan semakin meruncing,” tulis laporan itu.
Lebih jauh, polarisasi ini menguat salah satunya karena perbincangan di dunia maya yang sangat masif. Saat ini dunia maya menjadi salah satu channel yang paling ampuh untuk mengadu dua kutub yang berseberangan.
“Bila menengok ke belakang, harus diakui bahwa menguatnya isu polarisasi yang tajam di tengah masyarakat bermula saat adanya kontestasi politik, yakni saat Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 lalu,” tulis laporan Alvara lebih lanjut.
Ya, pertarungan sengit, khususnya antara kubu Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan kubu Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat, melibatkan sentimen agama, politik identitas, dan populisme berbasis agama.
Bola salju populisme berbasis agama itu kemudian diadopsi pada Pilkada daerah lain, menjadi lebih besar dan liar pada saat Pilpres 2019 yang melibatkan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi. Apa yang pernah diperagakan Neno Warisman saat munajat bersama kelompok 212, misalnya, adalah salah satunya.
Lebih dari itu, kampanye hitam yang melibatkan isu-isu agama begitu kentara. Pertarungan pendukung dengan istilah ‘cebong’ dan ‘kampret’ menjadi makin sengit, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Dan, mengerasnya politisasi agama itu secara tidak langsung membuat Indonesia makin terancam dan terperosok dalam jurang perpecahan serta disintegrasi jika tidak segera dinetralisir.