Ribut-Ribut Ekstremisme Kekerasan dan Rumitnya Kebijakan Negara

Ribut-Ribut Ekstremisme Kekerasan dan Rumitnya Kebijakan Negara

Ekstremisme kekerasan, radikalisme kekerasan maupun fundamentalisme dan pelbagai penamaan lain sebenarnya membuat istilah ini kadang kabur

Ribut-Ribut Ekstremisme Kekerasan dan Rumitnya Kebijakan Negara

Setelah diskusi dengan para senior dan teman-teman di Rahima soal ekstremisme kekerasan, saya jadi bergairah untuk menuliskan kerumitan definisi dan unsur-unsurnya. Rahima tengah menyusun modul untuk sekolah tentang pencegahan ekstremisme kekerasan.

Hal pertama yang saya dan mungkin Anda perlu insafi adalah setiap definisi mengandaikan pembatasan-pembatasan. Karenanya, ia seringkali menyimpan kelemahan dan keterbatasan. Rasanya, hampir tak ada definisi atau istilah di kolong langit ini yang tak dipersoalkan. Dulu kita mengenal istilah fundamentalisme. Ia dikritik lalu muncul revivalisme, kemudian neo-fundamentalisme, lantas islamisme, muncul lagi radikalisme, lalu terorisme, lantas ekstremisme kekerasan. Istilah intoleransi dan konservatisme juga dipersoalkan.

Saya belajar banyak dari perdebatan dan pro-kontra tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN). Salah satu perdebatan yang muncul adalah ketidakjelasan definisi dan ukuran ekstremisme kekerasan.

Seperti takdir istilah baru, ia selalu akan mengahadapi pertanyaan dan kritik. Sebuah studi menyebut, sebelum 2014, kata ini disebut dalam artikel-artikel berbahasa Inggris hanya kurang dari 500 artikel. Tapi, pada 2015 jumlahnya melesat hingga 7000 artikel.

Jadi, kita tak perlu bersedih karenanya. Bukankah kita biasa menarik iktibar dan pelajaran pengalaman lebih dari selusin negara yang juga dibikin pening akibat definisi. Hingga akhir 2019, terdapat lebih dari selusin negara yang menerbitkan RAN PE: Denmark, Finlandia, Prancis, Norwegia, Maroko, Nigeria, Kosovo, Somalia. PBB sendiri menghindar untuk memberikan definisi. Lembaga ini menyerahkan kepada negara pihak mendefinisikannya.

Mendengar omongan orang meributkan soal definisi ekstremisme kekerasan dalam RAN PE, saya jadi berpikir keras. Apakah unsur dalam definisi ekstremisme kekerasan betul-betul kabur dan sulit ditangkap seperti memegang bayang-bayang. Bukankah pasal 1 ayat (2) Perpres ini setidaknya menjelaskan tiga unsur: “keyakinan dan atau tindakan”, “penggunaan cara-cara kekerasan”, “ancaman kekerasan ekstrem”.

Saya beranggapan tiga unsur itu berusaha mengatasi berbagai perdebatan yang muncul seputar perumusan istilah ini. Mungkin saja akan ada unsur yang masih menimbulkan pertanyaan. Tapi, apa dengan begitu semuanya menjadi tak jelas. Saya sempat mendiskusikan ini dengan beberapa teman dan berusaha memahami apa yang disebut kabur dan tak jelas dalam pasal itu.

Kekerasan sudah cukup jelas sebagai unsur. Ia bisa ditemukan dalam UU Terorisme dan KUHP. Tapi sekali lagi ia tidak menutup pertanyaan lanjutan. Ada orang macam Alex P. Schmid yang seperti orang tak punya kerjaan. Ahli ini berusaha membedakan lagi antara bukan bersifat kekerasan (non-violent) dan tidak bersifat kekerasan (not-violent).

Istilah terakhir itu bisa orang atau kelompok yang tidak menggunakan kekerasan karena alasan pragmatis, taktis, dan sementara. Jadi, jika ada kesempatan kekerasan dapat dilakukan. Ini berbeda dengan yang pertama: tidak menggunakan kekerasan sebagai prinsip seperti yang dilakukan Mahatma Gandhi atau Martin Luther King.

Maka dari tigas unsur tadi, sepertinya tinggal satu unsur yang perlu dibicarakan lagi: keyakinan. Apakah keyakinan dapat dibatasi? Bukankah pembatasan keyakinan dapat melanggar hak berekspresi?

Atas pertanyaan itu saya mengajukan beberapa asumsi. Pertama, tidak setiap keyakinan dapat dibatasi. Keyakinan yang masuk dalam kategori ekstremisme kekerasan dan karenanya dapat dibatasi manakala diekspresikan dan mengandung dua unsur lain: “ancaman kekerasan ekstrem” dan “penggunaan cara-cara kekerasan”. Tanpa keduanya, keyakinan tak bisa dibatasi. Dalam konteks ini, maka glorifikasi kekerasan dapat dibatasi. Makanya Twitter akan menghapus cuitan yang dianggap mengglorifikasi kekerasan seperti salah satu cuitan Trump.

Dari perdebatan lain, saya juga menangkap masih terdapat kebingungan akan istilah ini. Kita bicara “ekstremisme kekerasan”, orang lain bicara “ekstremisme”. Seorang pembicara omong di televisi, nanti kalau orang omong “bidah” atau sesat pada yang lain langsung dituduh ekstrem. Si pembicara sedang bicara ekstremisme, bukan ekstremisme kekerasan yang dirujuk pasal 1 ayat (2).

Dari sini perdebatan akan berkembang lagi memahami “ekstremisme bukan kekerasan”. Logikanya sederhana. Jika ada ekstremisme kekerasan, maka akan ada ekstremisme bukan kekerasan. Ekstremisme saja berarti tidak berarti ekstremisme kekerasan. Lalu apa yang dimaksud ekstremisme. Ini titik panas lainnya. Ada ahli yang mendata hingga 20 jenis ukuran ekstremisme. Memposisikan diri dan kelompoknya di luar kelompok arus utama degan menolak tata dunia, politik, dan sosial yang ada; menolak prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak dasar khususnya kelompok minoritas.

Mengapa kata ekstrem dan keyakinan penting. Sebab ekstremisme kekerasan bisa dikatakan sebagai “kejahatan ideologis”. Ia bersumber dari ekspresi pandangan ekstrem. Maka, jika kita tidak memasukkan unsur ini, kita sulit membedakan mana kekerasan biasa dan kekerasan ekstrem. Bukankah tidak setiap kasus pembunuhan harus disebut ekstremisme kekerasan? Boleh jadi hanya kasus kriminal biasa.

Masalah lainnya, berikut ini. Memang ekstremisme tidak selalu kekerasan. Tetapi terdapat ekstremisme yang berpotensi menggunakan kekerasan akibat berbagai faktor. Biasanya faktor itu dibagi dua saja: pendorong (push factors) dan penarik (pull factors). Proses pengerasan hingga terjadi kekerasan ekstrem disebut dengan radikalisasi. Dalam radikalisasi ada mobilisasi. Karena faktor-faktor itu menjadi penyebab maka mau tak mau ekstremisme kekerasan akan membicarakan proses ini.

Dari perdebatan unsur-unsur tersebut, apa yang dimaksud kabur itu sebetulnya bukan terletak pada ketidakjelasan unsur dalam Pasal 1 ayat (2), namun pada implementasi istilah. Ada kekhawatiran bahwa istilah itu diterapkan secara sembrono dan bias. Kekhawatiran ini tentu saja penting diperhatikan.

Jika logika ini dipahami, maka lokus atau tempat perdebatan dalam area kebijakan menjadi sangat berbeda. Dalam pernyataan “definisi tidak jelas” ada kesimpulan seolah-olah “norma” dalam pasal-pasal memang kabur. Dalam kebijakan ini area “formulasi kebijakan”. Solusinya perubahan norma dalam desain kebijakan. Tapi jika tidak jelas yang dimaksud bisa disalahartikan, lokusnya pada implementasi kebijakan. []