Beberapa hari ini media berita televisi hingga media sosial kita dipenuhi dengan berita-berita persiapan acara reuni aksi 212, yang akan dilaksanakan pada hari minggu depan. Reuni ini memperingati aksi 212 yang diklaim sebagai bagian penting dalam persatuan umat Islam. Selama ini umat Islam dianggap kurang bersatu dalam memperjuangkan agamanya dalam kancah nasional. Kalaupun ada masih bersifat parsial sahaja, tidak sampai bisa mengumpulkan umat Islam sebanyak aksi 212, walau jumlah tepatnya masih diperdebatkan dari apa yang diklaim oleh pelaksana aksi.
Persatuan umat dijadikan narasi yang terus didengungkan sampai sekarang. Islam seakan mudah sekali dipecah belah oleh pihak luar, dengan berbagai cara dari dihasut, disuap dan lain-lain. Narasi “umat” dalam persoalan aksi ini, menurut saya hanyalah bagian hanya bisa dibunyikan dan dikomodifikasikan saat dibenturkan dengan dua hal. Pertama, berbenturan dengan “yang liyan”. Kedua, disentuh pada persoalan yang vital, atau dianggap vital, dalam umat.
Dua hal penting inilah yang harus menjadi perbincangan dalam melihat reuni ini, selain dari perdebatan yang sedang ramai sekarang ini, yakni apakah ini akan ditunggangi oleh pihak lain atau kampanye salah satu calon. Pertanyaan mengapa merawat ingatan akan aksi 212 ini menjadi sangat penting dalam agenda umat Islam di Indonesia, akan terjawab jika melihat dari dua hal penting di atas.
Aksi 212 kemarin, terjadi diklaim sebagai bagian dari pembelaan umat Islam Indonesia atas perilaku pelecehan terhadap sesuatu yang vital dalam agama Islam, yakni kitab suci. Al-Qur’an yang disebut telah dilecehkan oleh Ahok, yang notabene adalah orang yang tidak beragama Islam. Persoalan ini menjadi terus membesar juga didorong karena pada saat yang bersamaan, Ahok ditolak untuk menjadi pemimpin Jakarta karena statusnya yang bukan berasal dari agama yang mayoritas dipeluk oleh masyarakat Jakarta.
Dalam persoalan sesuatu yang vital, atau yang dianggap vital, dalam kasus pelecehan kemarin ada sesuatu yang luput dari pengamatan kita. Demo kemarin memang berhasil mengumpulkan dan mempersatukan banyak kalangan, namun di saat yang sama aksi tersebut mempertegas bahwa lebih berfokus pada persoalan-persoalan fisik agama. Sedangkan, dalam persoalan yang terkait dengan hajat orang banyak, seperti penindasan terhadap TKW di luar negeri, pencaplokan tanah secara sepihak di beberapa daerah yang juga mayoritas muslim, dan akses pendidikan agama yang semakin mahal, jarang dianggap penting apalagi vital dalam perbincangan umat.
Empati akan mereka yang tertindas telah banyak berkurang, karena umat terus digiring opininya bahwa umat adalah persoalan-persoalan fisik agama. Fisik agama yang terus dianggap elemen paling vital akan agama, sebenarnya menyimpan bahaya yakni empati umat terus tergerus pada persoalan kemanusiaan jika terus nilai-nilai kemanusiaannya terus dinilai dalam bingkai fisik agama, seperti jumlah umat, pelayanan lebih pada mayoritas, dan lain-lain. Kasus terbaru soal perda “agama” yang kembali digoreng, untuk membakar emosi sesaat umat dan melupakan persoalan yang lebih penting dalam kehidupannya. Namun, dalam kasus Tuti Tursilawati tidak banyak umat yang merasa tergerak hatinya untuk melakukan aksi dalam perjuangan keadilan atas kasus Tuti.
Narasi “umat” dibenturkan dengan “yang liyan” dalam aksi ini mungkin tidak terlalu dijadikan arus utama dalam aksi, walau kita semua disuguhkan bahwa persoalan ini adalah karena ada oknum dari agama selain Islam telah menghina sesuatu yang vital dalam agama Islam, yakni kitab suci al-Qur’an. Isu benturan dengan “yang liyan” tidak terlalu menjadi narasi utama, karena mungkin politik perbedaan belum terlalu penting. Namun, isu ini kemudian dipakai untuk menjadi merawat ingatan akan aksi ini.
Potensi bahaya dalam persoalan narasi dengan “yang liyan” adalah semakin mengerasnya perbedaan yang akan membuat polarisasi pada umat itu sendiri. Identitas keumatan menjadi sesuatu yang “dibayangkan”, jika kita merujuk pada apa yang dikonsepkan oleh Ben Anderson. Hal yang paling penting dalam identitas yang “terbayang” adalah mengidentifikasi siapa “saya” atau “kita” dengan “mereka”. Konsep siapa itu “mereka” menjadi diperlukan untuk mempertegas bahwa posisi “saya” atau “kita”. Adapun konsepsi akan “mereka” akan semakin memperuncing kebencian pada yang berbeda. Akhirnya “umat” dipahami sebagai bagian dari perbedaan itu sendiri, tidak lagi dipahami “umat”yang menghadirkan rahmat bagi seluruh alam.
Islam tidak seharusnya menyempit pada persoalan identitas, tapi menghadirkan Islam sebagai rahmatan lil alamin adalah tugas pokok umat sekarang. Kalau kita sebagai umat Islam terus disibukkan dalam mempersoalkan fisik agama, kapan kita akan memiliki waktu untuk menghadirkan Islam dalam bingkai rahmat bagi sekalian alam.
Catatan penting bagi yang ingin hadir dalam reuni aksi 212 adalah harus mulai merefleksikan apakah aksi seperti ini bisa dilakukan dalam persoalan-persoalan agrarian seperti di Meratus, Tumpang Pitu atau Kulonprogo; atau dalam persoalan penindasan para buruh migran di luar negeri atau di kampus seperti kasus Agni. Jika aksi seperti ini tidak bisa dilakukan untuk persoalan tersebut maka kita semua perlu bertanya apakah kehadiran Islam tidak bisa menghadirkan kedamaian dan keadilan bagi seluruh alam.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin