Respon atas Polemik Nasab Baalawi: Bingkisan untuk Kiai Imam Jazuli

Respon atas Polemik Nasab Baalawi: Bingkisan untuk Kiai Imam Jazuli

Catatan nasab hanya berisi nama-nama berdasarkan hubungan saudara, kekeluargaan, dan kekerabatan biologis semata. Tanpa ilmu tarikh dan kitab sejarah, nama-nama itu hanya akan menjadi nama-nama biasa yang tidak ada artinya.

Respon atas Polemik Nasab Baalawi: Bingkisan untuk Kiai Imam Jazuli
Indonesia berhutang banyak kapada Hababib dan sudah sepatutnya menghormatinya, tapi mencintai berlebihan juga dibenci oleh Allah. Bagaimana seharusnya bersikap? Pict by Istimewa

Dari awal penulis merasa optimis dalam membuktikan kesahihan genealogi klan Baalawi (dan Bajadid) sebagai Asyraf-Husaini (keturunan Sayidah Fatimah dari jalur Imam Husain), karena sejak Al-Janadi meng-istbat genealogi mereka dalam kitab thobaqot berjudul Al-Suluk fi Thabaqat Al-Ulama wa Al-Mulk (rampung sekitar tahun 729 H.) hingga abad ke-14 hijriyah belum pernah ada satupun interupsi.

Interupsi baru muncul abad ke-15 oleh Kiai Imaduddin Al-Bantani dengan metodologi penelitian yang, menurut penilaian profesional dari penulis sebagai historian, masih kurang memuaskan.

Bagaimana mungkin penelitian historis mengandalkan kajian literarur semata?

Demikian batin penulis kala menelaah dengan seksama dua buku Kiai Imaduddin, baik dalam versi Bahasa Indonesia maupun berbahasa Arab, ditambah Kitab Nasab yang beliau terbitkan di Nahdlatul Ulum.

Kiai Imam Jazuli yang baik, izinkan penulis me-resume kajian historis yang penulis capai, sembari menyisipkan beberapa kritik dalam tulisan Kiai yang berjudul: “Polemik Nasab Ba’alawi dan Petaka Logika Kiai Imad”.

Argumen yang penulis susun kali pertama ialah membuktikan secara ushuli bahwa syuhroh-istifadlah (tasamu’) menempel kepada klan ini di abad yang sama dengan Al-Syajarah Al-Mubarokah yang di-intisab kepada Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H).

“Remah-remah” historis itu penulis dapatkan kala berselancar dari manuskrip ke manuskrip lain yang sezaman dengan Al-Razi (abad kelima dan keenam).

Penulis menemukan lima jenis bukti materiil, salah satunya ialah manuskrip Sunan Turmudzi tahun 589 H., di samping tsabat Sunan Turmudzi (yang sepaket dengan kejujuran) abad ke-9 yang menjelaskan pada tahun 606 H. Ali Bajadid memberikan ijazah kepada Mizfaruddin.

Pada kedua manuskrip itu terkonfirmasi Bajadid sebagai Syarif dan Husaini, kendatipun tidak ditulis lengkap silsilah klan ini sampai Kanjeng Nabi.

Bagi penulis, atribusi Syarif-Husaini bukannya tidak bermakna. Jika melihat Thurfat Al-Ashab yang ditulis oleh Sultan Dinasti Rasuli, atribusi Syarif hanya diberikan otoritas kepada keturunan Imam Ali dari istrinya Siti Fatimah. Dan hanya ada dua jenis Syarif di masa itu: Hasani dan Husaini, kedua anak Siti Fatimah yang melanjutkan keturunan.

Hipotesa penulis: jika atribusi yang dipakai otoritas menunjukkan sebuah makna, artinya rakyat Yaman mengilhami dengan cara yang sama.

Jika “Raden” dan “Gus” hanyalah atribusi spesifik untuk lingkungan keraton dan pesantren semata, kenapa orang-orang di luar itu memanggil Pak Faqih Wirahadiningrat sebagai “Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Faqih Wirahadiningrat” dan Pak Fuad Plered sebagai “Gus Fuad Plered”?

Lantas bagaimana dengan atribusi yang diputuskan oleh otoritas Dinasti Rasuli? Tentu saja lebih dari ini, kan?

Bukti materiil lain ialah ijazah yang didapatkan Hasan bin Rasyid Al-Hadlrami yang belajar kepada Bajadid pada tahun 618 H. di Oman, ijazah untuk Syarif Abdullah bin Shohib Mirbath dari Al-Qala’i tahun 575 H., dan tiga bukti materiil yang masih penulis restorasi.

Artinya, pada masa sezaman, Al-Syajarah Al-Mubarokah harus berani dikonfrontasi dengan lima macam bukti materiil yang mengkonfirmasi klan Baalawi (dan Bajadid) sebagai keturunan Rasul.

Lebih-lebih, bukti materiil ini diperkuat oleh empat sejarawan pada abad kedelapan (Al-Bagdadi, Al-Janadi, Al-Khazraji, dan Ibnu Nashiruddin) yang berkeliaran di Yaman dan mengulas tokoh-tokoh hingga bumi Oman dan Hijaz.

Bahkan Al-Bagdadi bertemu salah satu keturunan Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir di Mekah kisaran tahun 618 H.

“Aku melihatnya dikerubungi orang-orang, dimintai berkah,” demikian testimoninya.

Itupun jika Al-Syajarah Al-Mubarokah benar-benar kitab yang layak disebut bayyinah shorihah (bukti yang jelas), seperti Kiai Imaduddin yakini. Karena, berbeda dengan Kiai Imaduddin, penulis menemukan lima macam kerancuan di dalam kitab ini.

Pertama, dua orang yang menyimpan manuskrip Bahr Al-Ansab (yang kelak pada tahun 1409 diterbitkan Al-Mar’asy dengan judul Al-Syajarah Al-Mubarokah) masih belum bisa men-tashdiq apakah benar-benar ditulis Al-Razi. Kedua orang itu ialah Ayatullah Al-Mar’asy di Iran, dan Syaikh Ibrahim bin Manshur di Saudi (komite Niqobah di Hijaz).

Kedua, kitab ini memiliki kesunyian 550 tahun untuk layak disebut kitab yang mu’tabar, karena terlewat dari radar pelacakan ulama nasab sezaman dan senegara (Al-Razi wafat di Iran), hingga akhirnya tiba-tiba muncul Wahid bin Syamsuddin abad kesembilan menulis ulang (direstorasi di Iran), dan Ibrahim bin Qasim abad kesepuluh (manuskrip di tangan Syaikh Ibrahim bin Manshur) menyalin lagi tanpa sandaran riwayat yang bisa dipakai untuk mensahihkannya.

Ketiga, kitab ini memiliki problem matan yang cukup mengecewakan (penulis sudah menguji 100 sampel, dan menemukan maksimal 27 macam catatan problematik).

Begini penjelasannya:

Manual kitab nasab menyebutkan jumlah ismiyah yang mengandung adad (angka) maka bermakna: inhishor (spesifik dan sesuai yang disebutkan).

Maka seharusnya, ketika Al-Razi menulis dalam Al-Syajarah bahwa Ahmad memiliki anak semata wayang bernama Ali, dan Ali ini punya anak semata wayang bernama Muhammad, seharusnya hal ini selaras dengan kitab nasab sebelum dan sezamannya dengan Al-Syajarah Al-Mubarokah.

Tapi benarkah demikian?

Kala mengkonfrontasi dengan karya Al-Ubaidili (w. 437 H), Al-Umari (w. 490 H.), Ibnu Thobathoba (w. 400 H.) dan Al-Marwazi (w. 614 H.), Ahmad punya tiga anak, Ali adalah salah satunya. Dan Ali ini punya dua anak, dan Muhammad adalah salah satunya.

Pertanyaan yang tak kunjung dijawab Kiai Imaduddin: inshishor-nya kenapa bertubrukan dengan kitab nasab yang lain? Ini tanaqudl atau ta’arudl?

Bagi penulis tidak boleh ada ikhtilaf dalam urusan genealogi. Sama seperti hidup dan mati yang tidak bisa bersatu (mani’ al-jam’i), maka Fulan tidak bisa menjadi anak biologis dari dua perempuan yang berbeda, bukan?

Keempat, tidak hanya musyajjar-nya yang bermasalah, domisili yang dicantumkan Al-Syajarah Al-Mubarokah pun problematik.

Sekadar contoh, Ishaq disebutkan tinggal di Hamedan. Padahal, dari empat jenis kitab nasab yang lebih tua dan sezaman, Ishaq tinggal di Roy.

Silakan cek di Google Maps, letak kedua lokasi ini sekitar 300-an kilometer. Pertanyaannya: mungkinkah hal ini dialami ahli nasab yang menulis tafsir gemuk berjudul Mafatih Al-Ghaib?

Kelima, kala menulis silsilah Al-Ubaidili (yang dikenal sebagai Nassabat Al-Asyraf [ahli nasabnya keturunan Rasul]), semua kitab nasab sepakat bahwa kakek buyutnya bernama Hasan. Namun Al-Syajarah Al-Mubarokah menyebut kakek buyutnya bernama Husain.

Sekali lagi: Husain!

Apakah hanya salah ketik? Satu manuskrip sudah penulis cek, dan dua terbitan Al-Syajarah Al-Mubarokah (1409 dan 1419) juga sudah penulis cek, semuanya menyebutkan: Husain!

Pertanyaanya: sekali dua kekeliruan bisa disebut kekeliruan kecil, namun jika terjadi berkali-kali apakah masih bisa disebut bayyinah shorihah?

Selain lima kerancuan di atas yang harus dijawab oleh Kiai Imaduddin, keyakinan beliau bahwa Al-Syajarah Al-Mubarokah sebagai bayyinah shorihah pun bermasalah.

Tanpa beretorika tentang definisi, penulis bawakan contoh bayyinah shorihah yang layak untuk membatalkan sebuah kabilah (klan Thabariyah sebelumnya mengaku syarif, namun dibatalkan oleh Niqobah Hijaz pada masa belakangan).

Pertama, sejarawan bernama Al-Dzahabi (w. 848 H.) menuliskan silsilah datuk Thobariyah kepada Fulan bin Fulan, yang jika diteruskan tidak sampai kepada Hasan atupun Husain.

Kedua, sejarawan cum ahli nasab bernama Taqiy Al-Din Al-Fasi (w. 832 H.) menuliskan 30 biografi orang dari klan Thobari, dan datuk mereka adalah Fulan bin Fulan yang jika diteruskan ke atas tidak sampai kepada Hasan ataupun Husain.

Ketiga, batu nisan tokoh Thobari yang wafat pada tahun 613 H. tertulis silsilahnya sampai Fulan bin Fulan yang jika diteruskan ke atas tidak sampai kepada Hasan ataupun Husain.

Keempat, batu nisah tokoh Thobari lain yang wafat pada tahun 614 H. tertulis silsilahnya sampai Fulan bin Fulan yang jika diteruskan ke atas tidak sampai kepada Hasan ataupun Husain.

Al-Syajarah Al-Mubarokah, jika dibandingkan empat bukti historis untuk Thobariyah di atas, terlalu jauh untuk dipersepsikan sebagai dua bayyinah shorihah yang mirip!

Kenapa?

Al-Syajarah Al-Mubarokah menyebutkan anak Ahmad Al-Muhajir hanya tiga, dan Ubaidillah bukanlah salah satunya. Bagi penulis, redaksi ini tidak maqthu’ (pasti), karena penafian Ubaidillah hanya diambil dari mafhum (apa yang dipahami dari redaksi ini berdasarkan manual kitab nasab).

Bukankah sebuah bayyinah bisa disebut shorihah jika ia menyebutkan Ubaidillah adalah anak dari Fulan yang bukan keturunan Rasulullah?

Terakhir, penulis keberatan dengan persepsi Kiai Imam Jazuli bahwa keadilan hanya bisa terjadi jika ilmu sejarah melawan ilmu sejarah, dan ilmu nasab melawan ilmu nasab.

Bagi penulis, catatan nasab hanya berisi nama-nama berdasarkan hubungan saudara, kekeluargaan, dan kekerabatan biologis semata. Tanpa ilmu tarikh dan kitab sejarah, nama-nama itu hanya akan menjadi nama-nama biasa yang tidak ada artinya. Semua orang tidak akan tahu nama-nama itu sebagai manusia yang hidup, memiliki keturunan, memiliki saudara, dan kekerabatan historis.

Maka semua orang akan mendapati kitab nasab Sam’ani ternyata merujuk Tarikh Thobari, dan kitab nasab berjudul Al-‘Athaya Al-Saniyyah yang ditulis Sultan Dinasti Rasuli ternyata merujuk Al-Janadi, Al-Khazraji, dan Al-Baghdadi (tiga orang ini adalah sejarawan!).

Cukuplah penulis mengajak semua orang untuk memahami: sejarah ternyata menjadi sumber seorang ulama untuk menyusun silsilah dalam kitab nasab!

Al-Janadi mengatakan sebuah adagium menarik, hal yang sama ditulis pula oleh pustakawan Kristen (sejarawan dan petualang manuskrip Timur Tengah) Louis Cheikho:

ولولا التاريخ لجهلت الأنساب. ونسيت الأحساب. ولم يعلم الإنسان أن أصله من تراب. وكذلك لولاه لماتت الدول بموت زعمائها

Andaikan tidak ada ilmu sejarah, genealogi (silsilah nasab) tidak akan diketahui, dan leluhur akan punah. Tanpa ilmu sejarah, manusia tidak akan tahu bahwa mereka berasal dari tanah. Tanpa ilmu sejarah, kerajaan akan sirna bersama kematian para tokoh-tokohnya.

Untuk membuktikan hal ini secara badihi (aksiomatik, common sense), penulis beri contoh terakhir:

“Ali Al-Uraidli memiliki keturunan dari empat sumber, yaitu anaknya (yang bernama): Muhammad, Hasan, Ja’far, dan Ahmad.”

Tanpa ilmu sejarah, coba jelaskan kepada saya: siapa mereka? Tanpa ilmu sejarah, coba jelaskan kepada saya: apakah Anda tahu bahwa mereka keturunan Rasul?

Ilmu nasab tidak bisa berdiri sendiri, bahkan ia tergantung dengan ilmu tarikh (yang dalam menulis ketokohan memiliki tiga model: Sirah, Thobaqot, dan Manaqib).

Wallahu a’lam.

(AN)