Ibnu Atha’illah as-Sakandari, salah satu ulama sufi ternama yang menjadi rujukan para ulama menyatakan dalam karyanya, Al-Hikam, bahwa senang dan sedih adalah dua entitas yang tak bisa dipisahkan. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa sesuatu yang disenangi adalah juga sesuatu yang disedihkan. Jika yang disenangi banyak, maka kesedihan pun akan banyak. Sehingga Ibnu Atha’illah menyatakan :
لِيِقِلَّ مَا تَفْرَحُ بِهِ يَقِلَّ مَا تَحْزَنُ عَلَيْهِ
“Tatkala berkurang apa yang membuatmu bahagia, maka berkurang pula apa yang membuatmu sedih”. (Al-Hikam : hlm 45)
Cuplikan di atas menunjukkan bahwa kebahagiaan seseorang ditentukan pada sedikit atau banyaknya cinta seseorang pada dunia seisinya. Penulis meyakini bahwa Syeh Ibnu Atha’illah tidak melarang manusia menjadi kaya atau memiliki segala hal yang membuatnya bahagia. Namun beliau mengingatkan bahwa semakin banyak manusia cinta pada dunia—dan itu membuatnya bahagia—maka semakin besar pula potensi kesedihan yang akan dialami jika suatu saat apa yang dicintai dan dimiliki hilang, dicuri, mati, hanyut, atau ditelan bumi. Dikatakan pula dalam sebuah syair :
ومن سره أن لايرى ما يسوؤه * فلا يتخذ شيئا يخاف له فقدا
فإن صلاح المرء يرجع كله * فسادا إذا الإنسان جاز به الحدا
“Barang siapa bahagia jika tidak melihat sesuatu yang membuatnya susah dan sedih, maka janganlah ia mengambilnya jika khawatir kehilangan. Karena sesungguhnya seluruh kepantasan seseorang akan rusak jika melampaui batas”.
Ulama dan uqola’, orang yang berakal mengatakan bahwa dar’ul mafaasid ahammu min jalbil mashalih, menghindari kerusakan lebih penting dari pada mencari maslahat. Dengan kata lain, kemampuan menghindarkan kerusakan akibat kesedihan harus didahulukan dari pada mengedepankan kemaslahatan berupa kebahagiaan yang timbul dari sesuatu yang bisa cepat hilang.
Dikisahkan dalam kitab Syarhul Hikam, seseorang raja mendapatkan kiriman gelas yang bertatahkan intan indah tiada tara. Sang raja sangat senang dan bahagia. Kemudian dia bertanya pada salah satu penasehatnya “Bagaimana pendapatmu?” Penasehat berkata, “Gelas ini indah, tapi sebaiknya raja tidak punya, saya melihat ada musibah dan kefakiran.” “Lho, saya justru senang punya gelas ini,” protes sang raja. Penasehatnya pun menjawab, “Jika gelas ini pecah, maka hal itu adalah musibah tidak ada yang bisa memperbaiki. Jika gelas ini dicuri, maka engkau akan menjadi fakir dan engkau tidak menemukan ganti yang sepadan. Padahal sebelumya, engkau dalam keadaan aman tanpa musibah dan kefakiran”.
Singkat cerita, sang raja tidak menghiraukan perkataan penasehatnya. Karena saking senangnya, setiap hari gelas itu dipakai. Ia tidak mau minum jika tidak menggunakan gelas tersebut.
Suatu saat, gelas tersebut jatuh dan pecah. Hati sang raja menjadi susah. Nafsu makannya hilang beberapa hari. Dia pun memanggil penasehatnya dan berkata, “Kamu benar, kalau dulu saya tidak punya gelas itu, pasti tidak akan ada kejadian gelas pecah dan aku pun tidak akan sedih.”
Syukur; Kunci Bahagia
Hadis Rasul SAW yang menjelaskan tentang syukur tidaklah sedikit. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Lihatlah orang yang berada di bawah kamu, dan jangan lihat orang yang berada di atas kamu, karena dengan begitu kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kamu” (HR. Bukhari-Muslim)
Hadis di atas menjelaskan bahwa manusia dituntut untuk bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. dengan bersyukur, maka tidak akan ada sifat iri hati, dengki, dan tamak yang berlebihan. Sifat-sifat buruk tersebut menjadikan hati seseorang tenang, tentram, dan tentu bahagia karena jauh dari sifat membanding-bandingkan dengan lainnya.
Wallahu A’lam.