2018 di depan mata. 2017 hampir purna. Tapi saya akan mulai tulisan ini di pertengahan 2016 silam. Ya, saya kebetulan hadir dalam majelis pengajian yang diisi oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) di bilangan Bantul, Yogyakarta. Dalam ceramah keagamaannya, Gus Mus bertanya, “di sini ada kerabat, sahabat, atau minimal tetangganya Kanjeng Nabi?”. Sontak, bukannya menjawab pertanyaan yang tidak ada pilihan gandanya itu, para jamaah, dan tentunya saya juga, justru dibuatnya mbatin, “Ya jelas tidak ada”.
Gus Mus melanjutkan, kalau memang di sini tidak ada yang semasa dengan kanjeng Nabi, kenapa kita bisa begitu yakin mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad, sementara Abu Lahab yang notabene adalah pamannya sendiri justru mengingkari? Bahkan sampai ada surat khusus dalam al-Qur’an yang mengecam laku paman Nabi ini.
“Bukankah lebih dekat Borobudur yang cukup satu jam kita sampai sana dan kapan saja, daripada Ka’bah yang jika mau ziarah ke sana antrinya minta ampun?” tukas Gus Mus yang siaran tundanya juga dapat kita saksikan kapan saja di Youtube ini.
Sejurus kemudian, Gus Mus menandaskan, bahwa hal ini dapat terjadi karena Tuhan memiliki salah satu sifat yang dalam bahasa Jakartanya adalah “Yang Maha Semau Gue”. Meski agak sedikit butuh sekian detik untuk mencerna analogi Gus Mus itu, secara prinsip saya sepakat. Ya, Tuhan memang Yang Maha Kuasa.
Sifat prerogatif itu semestinya memang hanya selalu menjadi milik-Nya. Absolut. Sifat ini akan berontak dengan sendirinya bila ada manusia atau siapa pun, atas nama apa pun, termasuk upaya membela Tuhan sekali pun, yang mencoba menciderai sifat-Nya. Dan ironisnya diakui maupun tidak, situasi demikianlah kini yang sangat semarak dipanggungkan oleh mayoritas kita.
Kanjeng Nabi Muhammad suatu ketika pernah memberi peringatan, bahwa umatnya kelak akan terpecah menjadi 71 golongan yang berbeda-beda, dan hanya satu dari mereka yang selamat. Tapi, apa hubungannya perpecahan umat dengan analogi Gus Mus?
Jadi begini, saya sebetulnya tidak begitu tahu bagaimana persisnya maksud sabda Kanjeng Nabi tersebut. Tapi yang jelas, kita boleh mendapat secercah harapan dari yang terakhir itu. Ya, hanya satu yang selamat dan oleh karena itu saya menduga bahwa Kanjeng Nabi sedang mengajak kita untuk menjadi pribadi yang optimis dalam ber-Islam.
Sebagaimana kata dasar Islam yang berarti damai (salam), mestinya optimisme itu mewujud dengan sikap fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan). Sikap optimis di tengah perbedaan yang demikian itu dapat kita simak, misalnya, betapa beragamnya perbedaan di kalangan ahli Fiqih masa lalu. Dalam khazanah Fiqh, kita kenal ada empat imam mazhab besar paling populer dan diakui legalitasnya, yang meski berbeda-beda pahamnya, tetapi mereka tetap satu jua dan saling berguru serta menghormati.
Masalahnya, optimisme itu kian asing dan akan terasa begitu menakutkan ketika ladang agama telah dihujani klaim kebenaran sepihak (truth klaim). Belum lagi jika mendapat sponsor klaim keselamatan (salvation claim), lalu didukung oleh nalar ugal-ugalan.
Sejumlah ayat dakwah, amar ma’ruh nahi munkar, jihad fi sabilillah, ar-ruju’ ila al-Quran wa as-sunnah dengan begitu ajaib diplintir sedemikian serupa, hingga tak ubahnya menjadi gincu legitimasi. Maka, wajar saja jika postur Islam kekinian yang keras, galak, pemaksa, dan semau gue meriuhkan jagat kita. Terutama ranah maya.
Pada titik ini, agama bukan lagi berfungsi menjadi juru selamat tetapi lebih sebagai pemecah belah umat. Situasi ini memungkinkan terjadi ketika agama tidak lagi digunakan sebagai sumber nilai dan etika, tetapi lebih ditampilkan sebagai ideologi untuk kepentingan politik tertentu.
Tentu masih hangat dalam ingatan kita, betapa riuhnya agama turut mewarnai kontestasi Pilgub DKI di pertengahan tahun 2017 lalu. Telak, dari propaganda ayat hingga mayat terbukti mampu merubah manusia laiknya Tuhan Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya.
Setuju atau tidak, saya kira inilah perkara sekaligus tantangan terbesar perilaku beragama kita hari ini. Kita yang masih gemar menyalahkan dan enggan mencari kebenaran di tengah perbedaan. Kita yang begitu lahap mengkonsumsi risalah-risalah agama pada link-link tak bertuan dan tidak jelas mata rantai ilmunya. Maka, jadilah kita balon udara, merasa besar tapi sejatinya kosong. Jadilah kita individu-individu yang sejatinya dangkal tapi merasa dalam. Bagai selokan yang merasa lautan.
Semoga hal ini menjadi renungan bersama, menatap wajah Islam yang ramah di tahun 2018 dan tahun-tahun berikutnya. Wallahhu a’lam.
Anwar Kurniawan, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.