Renungan Idul Adha, Habib Ja’far: Esensi Qurban dan Kesadaran Ekologis

Renungan Idul Adha, Habib Ja’far: Esensi Qurban dan Kesadaran Ekologis

Inti dari qurban adalah bukan tentang binatang qurbannya, melainkan tentang nilai di balik potongan daging, yaitu mengurbankan perasaan atau keterikatan manusia pada yang materil yang dapat menimbulkan dominannya sifat-sifat kebinatangan atau ego.

Renungan Idul Adha, Habib Ja’far: Esensi Qurban dan Kesadaran Ekologis

Dalam Islam, umat Muslim diharuskan menyembelih sendiri hewan qurbannya, atau paling tidak ikut melihat prsoses penyembelihannya. Tujuannya adalah supaya hewan qurban disembelih sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan bukan atas dasar penyiksaan, atau kekejaman.  

Hewan qurban, karena itu, juga memiliki hak untuk dimuliakan. Selain disembelih dengan menyebut atau atasnama Tuhan, proses penyembelihannya harus menggunakan benda (paling) tajam, sehingga meminimalisir terkirimnya sinyal rasa sakit kepada otak oleh rusaknya jaringan organ hewan yang bersangkutan. 

Sebelum disembelih, hewan qurban harus diperlakukan dengan baik. Misalnya ia diberi minum lebih dulu, tidak boleh dilihat oleh binatang-binatang lain, bahkan bila perlu ditutup matanya menggunakan (biasanya pakai VR, tidakk doong!!) pelepah pohon pisang.

Qurban, secara bahasa pada dasarnya berarti (men)dekat(kan) diri–dari akar kata qa-ri-ba. Karena itu mengurbankan hewan dalam tradisi Islam di hari raya Idul Adha merupakan momentum persembahan kepada Tuhan, karena perintah Tuhan, sekaligus sebagai salah satu simbolisasi penyembelihan sifat kebinatangan dalam diri manusia. 

Lebih dari itu, secara sosial qurban juga berarti kritik terhadap orang yang mengatasnamakan Tuhan tapi “menyembelih” orang lain. Entah secara fisik, ataupun menyembelih rezeki orang lain, dan lain sebagainya. 

Dalam Hadis riwayat Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda: 

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

Kurang lebih maknanya begini: seorang Muslim itu harus menyayangi seluruh makhluk hidup. Dan, kalaupun dia harus membunuhnya, bukan karena nafsu, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dalam konteks ini adalah qurban, maka itu harus dilakukan dengan cara baik-baik. 

Juga, dalam hadis tersebut secara spesifik Nabi Muhammad katakan jika “harus tajam alat penyembelihannya” (wal yuhidda ahadukum syafratahu), dan harus dipastikan binatangnya tidak tersiksa, bahkan sebisa mungkin diperlakukan dengan baik untuk menyenangkan hewan sembelihan.

Senafas dengan itu, dalam Al-Quran surah al-Baqarah ayat 173 dijelaskan bahwa umat Islam dilarang mengonsumsi makanan atau daging yang disembelih untuk persembahan bagi Tuhan selain Allah. 

Itu berarti bahwa segala sesuatu yang menjadi sumber energi bagi keberlangsungan hidup manusia mengandung aspek kebertuhanan atau upaya penghambaan kepada Yang Maha Kuasa. 

Maka dari itu sebagian ulama mewajibkan–dan sebagiannya lagi mensunnahka–membaca bismillah ketika menyembelih hewan. Ini merupakan bentuk penyadaran bahwa daging yang disembelih itu telah atas nama Tuhan karena perintah Tuhan, sehingga bukan sebagai praktik pembunuhan atau bentuk kekejaman, tetapi justru merupakan bentuk kesadaran bahwa qurban itu maknanya pendekatan diri kepada Tuhan. 

Titik Temu Islam dan Buddha  

Ada satu riset menarik yang menyebutkan bahwa Bhutan, sebuah negeri kecil di wilayah Asia Selatan, merupakan kawasan dengan emisi gas paling rendah. Selain itu, Bhutan juga dikenal sebagai negeri religius dengan para Bhante dan umat Buddha yang sehari-hari mengakrabi alam sesuai dengan kebutuhannya.   

Menurut Bhante Dhira, salah satu alasan logis mengapa bisa demikian adalah hewan dan tumbuhan–dalam ajaran Buddha–derjatanya adalah sama dengan manusia. Karena itu, mereka juga termasuk makhluk yang dilarang untuk dibunuh atau dipotong atau ditebang secara sadar oleh penganut ajaran Buddha. Wajar jika Buthan dikenal sebagai negeri yang cukup rindang dan teduh dengan pepohonan, alih-alih bangunan beton.  

Meskipun demikian, bukan berarti umat Buddha tidak diperbolehkan secara mutlak untuk mengonsumsi daging atau sayur. Umat Buddha, kata Bhante Dirra, tetap diperbolehkan mendapatkan asupan energi untuk tubuhnya yang berasal dari protein nabati dan hewani, sejauh dalam kapasitas yang masih dianggap wajar. Misalnya jika diberi oleh orang lain, atau hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. 

Itulah menariknya. Walaupun Islam dan Buddha memiliki konsep yang berbeda dalam melihat hewan (ternak) dan tumbuhan, keduanya bertemu dalam frekuensi “welas asih terhadap sesama makhluk.” 

Dengan kata lain, yang menjadi titik tekan di sini adalah terletak pada bagaimana umat menjauhi praktik kekejaman, tindak aniaya, atau penyiksaan kepada sesama makhluk. Dalam ajaran Buddha, Bhante Dhira bercerita bahwa kita semestinya berusaha untuk tidak menyakiti, atau membunuh sesama makhluk hidup. 

Seturut dengan itu, terdapat juga konsep untuk melepaskan makhluk hidup dari penderitaan, membebaskan makhluk yang sedang terancam atau menderita. Konsep itu kemudian dinamakan fang sheng. Termasuk dalam hal ini adalah kita berusaha untuk melepaskan tetangga kita dari problem kemiskinan, atau kelaparan. 

Fang Sheng dalam konteks masa sekarang ini, misalnya, adalah dengan mengatasi illegal logging, pemburuan liar terhadap binatang, atau menyelamatkan hewan-hewan di alam liar yang cacat karena keadaan atau ulah manusia seperti kena perangkap, dan lain sebagainya.

Apa yang diceritakan Bhante Dhira itu pada dasarnya memiliki semangat yang sama dengan Idul Qurban, yaitu bagaimana kita bisa menyembelih unsur kebinatangan yang ada di dalam diri sendiri sehingga alam semesta dan seluruh makhluk yang berada di dalamnya bisa terbebas dari segala bentuk eksploitasi.

Jadi, walaupun secara konseptual peristiwa qurban dalam Islam berbeda dengan ajaran agama lain, dalam hal ini ajaran Buddha, secara esensi sebetulnya mirip. Karena, sekali lagi, keduanya sama-sama berusaha untuk menghilangkan sifat kebinatangan dalam diri manusia dengan mengasihi seluruh makhluk Tuhan.

Juga, menjadi penting untuk segera diutarakan bahwa jangan sampai atasnama toleransi kemudian kita menggadaikan iman. Misalnya kita memaksa umat Buddha atau Bhante untuk nerima daging (qurban). Demikian sebaliknya, atasnama toleransi Bhante memaksa umat Muslim untuk tidak melakukan qurban karena dianggap membunuh makhluk hidup. 

Selain itu kita juga musti mengerti bahwa Bhante tidak menerima daging karena memang itu merupakan perintah dari ajaran Buddha. Demikian sebaliknya, umat Muslim melakukan itu karena qurban justru merupakan perintah agama. 

Di dalam surah al-Baqarah ayat 29 dan surah an-Nahl ayat 5, misalnya, disebutkan bahwa binatang-binatang ternak yang dihalalkan oleh Allah itu memang diciptakan untuk diambil manfaatnya, asalkan tidak serakah. 

Juga, di dalam surah ar-Rum ayat 41, Allah SWT telah mengingatkan kalau kita serakah, maka akan menyebabkan kerusakan di muka bumi. Dan, yang pertama kali dirugikan oleh perilaku keserakahan tentu saja adalah manusia itu sendiri. 

Esensi Qurban dan Kisah Menarik Lainnya 

Ada pertanyaan template yang, barangkali, niatnya bercanda, walaupun sebenarnya mengandung keseriusan paling utama dalam esensi qurban, yaitu “Bib, boleh nggak kalau kita qurban perasaan?

Buat saya, justru itulah esensi qurban. Dalam Islam, makna qurban itu adalah bagaimana Nabi Ibrahim bisa merelakan keterikatan perasaannya terhadap Ismail, seorang anak yang telah ditunggu-tunggu kehadirannya. Tujuannya adalah jangan sampai seorang anak itu dicintai melebihi cintanya kepada Tuhan dan menimbulkan egoisme.

Nah, simbolisasi Ismail bagi kita saat ini bisa dianalogikan dengan keterikatan perasaan-perasaan cinta kita, yang punya peluang untuk menjadi berlebihan sehingga puncaknya adalah egoisme diri dan keserakahan sosial. Entah kepada jabatan, harta, termasuk kepada pasangan atau keluarga.      

Keserakahan dalam Islam termasuk perkara yang dilarang keras. Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an, wallahu laa yuhibbul musrifin. Allah SWT itu tidak menyukai segala bentuk keserakahan. Bahkan dalam hal ibadah saja kita nggak boleh berlebihan, alias aturan mainnya adalah sesuai dengan kapasitas atau batas kemampuan kita.

Itu yang seringkali terjadi di umat Muslim, khususnya di Indonesia. Ketika qurban tiba, orang  bisa menjadi serakah dengan mengambil daging melebihi haknya dan disimpan di dalam kulkas, berlarut-larut hingga akhirnya nutrisi dagingnya hilang, bahkan sampai membusuk dan menjadi sampah.

Tidak cuma itu, terkadang mereka yang berqurban pun bisa jadi terjebak dalam kubang keserakahan. Misalnya ketika Idul Qurban hampir tiba, orang mengurbankan sapi yang paling besar, dan kemudian mengurbankan segala-galanya, padahal tujuannya hanya untuk pencitraan sosial biar kelihatan keren. Itu jelas tidak baik.

Dalam Islam, kalau basic qurban adalah keserakahan, apalagi kekejaman terhadap makhluk hidup, itu jelas bertentangan dengan salah satu prinsip dasar dalam ajaran Islam, yaitu bagaimana kita diajarkan untuk mengasihi semua makhluk hidup. Islam mengajarkan, “kasihilah semua makhluk hidup. Dan dalam setiap nyawa itu ada nilai pahalanya jika kita sayangi, sedangkan ada pula dosanya jika kita sakiti.”

Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad menceritakan bahwa ada seorang sufi yang rela kembali ke tempat asalnya, kendati telah menempuh perjalanan sejauh 1000 km. Itu pun naik Onta. Panas-panasan pula di padang pasir. Pasalnya? Karena ada semut yang nyangkut di tasnya!! 

Katanya, “Kalau saya lepaskan di sini, semut ini akan terpisah dari habitat dan keluarganya.” Maka, dia balik untuk mengembalikan semut itu ke habitatnya. Seekor semut, lho!! Bayangkan!  

Atau kisah serupa lainnya, yaitu Syaikh al-Mu’anisi yang pernah bernazar untuk tidak memakan daging gajah. Ceritanya, ketika perjalanan laut beliau diombang-ambingkan oleh badai, kemudian beliau bernazar tidak akan makan gajah. Padahal, gajah, dalam Islam, sejak awal memang hukumnya haram untuk dimakan. 

Tapi ntah kenapa beliau bernazar demikian. Akhirnya, ketika kapalnya hancur dan terbawa ombak hingga terdampar, rupanya ada seekor gajah yang telah menyelamatkannya–tanpa pernah tahu dari mana gajah itu berasal, dan sejak kapan gajah itu membopongnya di atas punggung hingga mengantarkannya ke pemukiman terdekat.

Cerita-cerita penuh hikmah itu merupakan simbol bahwa “kasihilah seluruh makhluk Tuhan, maka dengan anugerah dari Tuhan mereka juga akan mengasihi kita.” Ini kurang lebih sama seperti relasi manusia dengan anjing yang dianggap sebagai salah satu hewan dengan jasa besar dalam kehidupan manusia. 

Bahkan, salah satu sifat utama anjing, menurut para ulama, adalah tahu berterimakasih. Kita terkadang ngasih makan anjing sekali saja, anjing itu akan berbuat baik sama kita lebih dari yang kita kira.

Idul Qurban dan Kesadaran Ekologis 

Demikian halnya perilaku kita terhadap alam. Kalau kita menjaga bumi dengan baik, misalnya tidak memperlakukan hutan sewenang-wenang, hutan juga akan menjaga keberlangsungan hidup kita dalam kapasitasnya sebagai penjaga keseimbangan ekosistem. Sebaliknya, ketika kita justru merusak alam, maka alam juga punya caranya sendiri untuk membuat hidup umat manusia menjadi lebih susah. 

Jadi, kita memang sebaiknya jangan buru-buru menyalahkan Tuhan, apalagi dengan menyebar narasi azab. Terkadang saking menyebalkannya, masalah yang dihadapi adalah ekologi, tapi cari solusinya di lembah teologi. Kan gak nyambung!!  

Maka dari itu, jika perilaku kita terhadap alam saja sangat buruk, ya jangan heran kalau hidup kita di bumi ini menjadi lebih nestapa dengan cuaca ekstrem yang makin tidak menentu. 

Saya beberapa waktu lalu baca riset yang wowable. Seandainya seluruh cacing di muka bumi ini habis, niscaya manusia tidak akan bertahan hidup lebih dari satu bulan. Begitu juga kalau (segala jenis) serangga tidak ada di muka bumi ini, manusia itu tidak akan hidup lebih dari tiga bulan. Kalau gak ada pohon? Apalagi itu!!

Oleh karena itu dalam Islam, ketika mau makan kita disunahkan untuk berdoa terlebih dahulu. Selain mengandung aspek ibadah, itu merupakan bentuk terimakasih kita atas keterlibatan seluruh makhluk hidup dalam proses yang menyebabkan makanan itu bisa terhidang di hadapan kita. 

Demikian halnya agama-agama seperti Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan sebagainya. Mereka pastinya memiliki ajaran berdoa sebelum makan sebagai bentuk terimakasih kepada alam semesta.     

Walaupun begitu, saya pernah punya pengalaman dengan komunitas Budhis yang, ternyata, tidak ada yang lebih panjang doanya dari doa sebelum makannya umat Buddha ketika saya bertemu mereka di Bandung. Kurang lebih untuk berdoan sebelum makan saja bisa memakan waktu 30 menit atau bahkan lebih. 

Bhante Dhira membenarkan hal itu sebagai fenomena khas komunitas Budhis. Katanya, justru di situlah letak latihan kesabaran bagi umat Buddha. Ini merujuk pada ajaran Kanti Paramang Tapo Titikang (Kesabaran itu praktik pertapaan, atau praktik spiritual tertinggi). Praktik ini biasanya berlaku umumnya untuk para Bhante, dan tidak untuk awam. 

Di balik ritual itu rupanya ada filosofi menarik, yaitu “saya memakan makanan ini bukan untuk kepuasan, bukan juga untuk menggemukkan badan, dan bukan untuk hal-hal tertentu yang bisa merugikan diri sendiri serta orang lain. Saya makan hanya untuk menghilangkan rasa sakit dan tidak menimbulkan rasa sakit baru,kata Bhante Dhira. “Kita awalnya kan mengobati rasa lapar, jangan sampai membuat rasa sakit yang baru, yaitu sakit perut. Itulah definisi makan yang secukupnya.” 

Dalam Islam pun demikian, sunnahnya adalah “makan ketika lapar, dan berhenti sebelum kenyang.” Secara esensi itu ajaran yang tidak menganjurkan keserakahan.  

Termasuk dalam hal ini adalah penyembelihan hewan qurban. Ia mengada bukan untuk memfasilitasi keserakahan. Bukan pula karena kita ingin makan daging. Lebih dari itu, qurban seperti makna kebahasaannya adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Jadi inti dari qurban adalah bukan tentang binatang qurbannya, melainkan tentang nilai di balik potongan daging, yaitu mengurbankan perasaan atau keterikatan manusia pada yang materil yang dapat menimbulkan dominannya sifat-sifat kebinatangan atau ego.

*Artikel ini merupakan adaptasi dari obrolan Habib Ja’far dengan Bhante Dhira di kanal Youtube Jeda Nulis dan sudah blio qurbankan untuk ditayangkan di islami.co