Persis sebagaimana yang saya duga saat pertama kali mendengar berita gempa bumi yang mengguncang NTB pada 9 Agustus 2018 lalu, katanya, akan ada “bencana” susulan. Meski kemunculannya merupakan reaksi dari bencana geologis itu, tapi yang satu ini bukanlah sebuah fenomena alam yang berkaitan dengan tumbukan lempeng tektonik dan sejenisnya, melainkan berhubungan dengan nalar dan cara berpikir belaka.
“Bencana” susulan itu mungkin tepat juga bila kita sebut sebagai gempa logika. Peristiwa yang saya maksud adalah maraknya pembentukan opini yang menghubungkan bencana alam dengan perilaku masyarakat dan preferensi politik.
Hanya berselang beberapa jam setelah tersiar kabar gempa pertama di Lombok, beredar luas di media sosial sebuah rekaman video dan meme yang berupaya membangun narasi bahwa bencana alam itu merupakan azab alias siksa Tuhan atas maksiat masyarakat dan pilihan politik yang sesat.
Video itu berisi pidato Rizieq Shihab dengan gaya pembacaaan puisi, lengkap dengan ilustrasi musik bernada sentimental. Berikut saya kutipkan isi cermahnya.
Hei Indonesiaku!//musibah datang bertubi-tubi//maksiat apa yang kau perbuat?/dosa apa yang kau lakukan?//tanyakan juga kepada para pejabat di negeri ini//maksiat apa yang kau perbuat?/sehingga bencana datang menghantam kau punya rakyat/tanyakan juga kepada ulama di negeri ini//maksiat apa yang selama ini kau biarkan//sehingga mengundang bencana dari sisi Allah
Dosa apa yang sudah kita buat?//tidak mungkin, saudara, Allah mengirimkan bencana bertubi-tubi kepada satu negeri yang penduduknya mayoritas muslim, yang banyak habaib, banyak ulama, banyak kiai, banyak majelis-majelis taklim, banyak majelis-majelis zikir, kalau tanpa sebab musabab//pasti ada sesuatu yang tidak beres di negeri ini sehingga bencana datang betubu-tubi.
Kesimpulan terang yang bisa didapatkan dari pidato itu adalah bahwa dosa kolektif bangsa Indonesia sudah kelewatan, sehingga menyebabkan Tuhan mengirim bencana yang menghancurkan berbagai bangunan dan menyebabkan sekian banyak orang, dewasa maupun anak-anak, kehilangan nyawa.
Rizieq Shihab memastikan bahwa bencana yang terjadi bertubi-tubi di Indonesia itu, lantaran kemaksiatan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh nyaris seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, bencana dikirim Tuhan ke wilayah teritorial Republik Indonesia sebagai hukuman kepada negeri muslim ini atas kemaksiatan dan dosa-dosa yang diperbuat warga negaranya. Sebuah azab berskala nasional.
Lalu ada peredaran meme (entah dibuat oleh siapa) yang menggambarkan bahwa gempa merupakan siksa yang harus ditanggung rakyat NTB akibat pilihan politik gubernurnya, Tuan Guru Bajang (TGB), mendukung Jokowi. Ini azab berskala regional.
Video Rizieq Shihab sudah beredar di media sosial beberapa waktu silam sebelum gempa bumi di NTB terjadi (kemungkinan direkam di Arab Saudi), namun beredar lagi secara meluas sesaat setelah terjadi bencana alam di provinsi itu.
Dosa dan maksiat yang dipastikan sebagai penyebab bencana memang bukan hal baru. Ustad Khalid Basalamah melalui salah satu tayangan videonya juga pernah mengatakan bahwa tsunami di Aceh disebabkan maksiat dan peredaran ganja yang meluas di kalangan masyarakat Aceh.
Penjelasan yang bersifat menghakimi tentang sebab-sebab bencana alam seperti itu, baik dengan premis maksiat maupun pilihan politik yang sesat, memunculkan sejumlah masalah. Pertama, kemarahan masyarakat yang menjadi korban bencana.
Bayangkanlah bagaimana perasaan mereka yang baru saja kehilangan tempat tinggal dan orang-orang tercinta, ketika melihat meme tentang ‘dosa’ TGB (bahkan ada yang tega memplesetkan inisial ini sebagai kependekan dari Terjadi Gempa Bumi). Kasihan sekali nasib korban bencana alam di NTB itu, sudah menderita karena gempa, tertimpa penghakiman semena-mena pula.
Bukankah sebagian dari para korban gempa bumi itu sangat mungkin merupakan pencinta TGB dan mendukung langkah poitik yang diambil sang ulama? Taruhlah tidak ada pecinta TGB dan pendukung pilihan politik TGB di antara para korban, tapi bukankah juga sangat mungkin sebagian dari mereka merupakan orang yang tak setuju dengan penghakiman serupa itu? Betapa marah dan sakit hati mereka.
Ke mana perginya empati orang-orang yang tega menghubung-hubungkan penderitaan orang akibat sebuah peristiwa bencana alam dengan perkara prefensi poitik itu? Tanpa sadar (atau mungkin dengan sadar?) orang-orang yang menyebar meme dan kalimat yang mengatakan bahwa TGB sebagai penyebab gempa di NTB, sesungguhnya sedang merayakan dan mensyukuri bencana itu.
Mereka meletakkan perisitiwa gempa yang menelan korban ratusan nyawa dan luka-luka itu sebagai wakil dari kemarahan mereka atas pilihan politik TGB. Dalam bahasa gaul, mereka hendak mengatakan: sukurin!
Maka menjadi pantas seandainya kemudian korban gempa di NTB marah, sebagaimana kemarahan masyarakat Aceh atas ceramah Khalid Basalamah tentang penyebab bencana tsunami (melaui tayangan video sang ustad kemudian meminta maaf beberapa waktu kemudian).
Kedua, penjelasan-penjelasan bersifat menghakimi seperti itu menimbulkan sejumlah pertanyaan “iseng” di benak sebagian orang. Contohnya, jika Tuhan memang hendak menghukum masyarakat Aceh atas kemaksiatan dan peredaran serta pemakaian ganja di sana, mengapa tsunami tidak secara akurat melanda wilayah Aceh saja, melainkan merembet jauh sekali ke Thailand, Malaysia, Burma, Bangladesh, Srilanka, Maladewa, hingga India?
Mengapa Tuhan tidak menghukum negara-negara yang juga “dipenuhi maksiat”, katakanlah Amerika Serikat dengan Las Vegasnya? Mengapa hukuman Tuhan tidak secara presisi menyasar pelaku dosa dan kemaksiatan, melainkan eksesif ke anak-anak dan orang-orang yang tak terlibat dalam dosa dan kemaksiatan tersebut?
Mengapa gempa juga kerap menggoyang pulau-pulau tak berpenghuni, mengejutkan dan bahkan membunuh fauna yang ada di sana, apa salah hewan-hewan itu? Apakah gempa susulan yang biasa terjadi setelah gempa utama bisa diartikan sebagai azab susulan? Semua pertanyaan-pertanyaan di atas sesungguhnya merupakan sebentuk penggugatan terhadap penjelasan yang bersifat menghakimi serta mengabaikan kaidah ilmiah.
Dalam pandangan sains, gempa bumi merupakan peristiwa alam biasa. Sebuah peristiwa yang memiliki hukum-hukum alamnya. Indonesia, sebagaimana beberapa negara lainnya yang berada di atas lempeng-lempeng bumi seperti Jepang, Cina, Iran, Turki, Mexico, dll, secara sunatullah merupakan wilayah yang sering diguncang gempa.
Jadi, ancaman gempa sama sekali tidak berdasarkan pada kemaksiatan, agama, etnis, dan pilihan politik penduduk suatu wiayah, melainkan pada kedekatan wilayah tersebut dengan titik pertemuan antar lempeng bumi.
Baru-baru ini di laman Sulukmaleman, saya membaca sebuah ulasan menarik perihal bencana alam. Esai berjudul “Tafsir Bencana dan Kambing Hitamnya” yang ditulis oleh Anis Sholeh Ba’asyin itu mengkritik pendapat sebagian agamawan yang secara sembrono menempatkan Tuhan sebagai terdakwa utama atas peristiwa bencana alam, yaitu kemurkaan Tuhan sebagai penyebabnya.
Pandangan seperti itu merupakan simplifikasi dan generalisasi atas sejumlah teks dalam kitab suci, baik al-Quran, Injil, dll. Memang ada beberapa contoh yang diceritakan dalam kitab suci, al-Quran misalnya, tentang kaum pada masa lalu yang diazab Tuhan dengan bencana alam lantaran perilaku buruk mereka.
Namun bencana alam itu bersifat membinasakan eksistensi kaum yang diazab. Dan hal itu tidak dilakukan Tuhan melainkan setelah mengutus para nabi untuk memberi peringatan. Azab Tuhan ditimpakan setelah mereka abai terhadap ajakan para utusan Tuhan.
Pada masa pasca para nabi, hal yang seperti itu tak pernah terjadi lagi. Maka, pada zaman sudah tidak ada lagi nabi seperti sekarang ini, tak seorang pun memiliki otoritas mewakili Tuhan untuk menafsirkan bencana alam sebagai azab Tuhan kepada masyarakat atas perilaku dan pilihan politik mereka.
Maka memastikan bencana alam yang terjadi pada masa kini sebagai kemurkaan Tuhan kepada satu kaum tertentu, merupakan sebuah sikap jumawa. Itu sebentuk ketergesa-gesaan dan kenaifan dalam memahami realitas semesta yang sedemikian misterius.
Dalam pembacaan saya, tulisan itu tidak bermaksud mengatakan bahwa bencana alam merupakan sebuah fenomena geologi dan geofisika semata, melainkan sekadar ingin menghindari penghakiman dalam memaknai gejala-gejala dalam realitas kosmik yang maha kompleks ini.
Dengan mengajukan temuan para perintis fisika kuantum seperti Niels Bohr, Werner Heisenberg, dan Erwin Schrodinger—yang menjelaskan bahwa susunan atom dan partikel subatom merupakan pola-pola dinamis yang tidak hadir sebagai kesatuan yang terisolir, melainkan sebagai bagian integral dari sebuah jaringan kerja yang tak lepas dari proses interaksi—penulis esai itu hendak mengatakan bahwa gunung yang meletus, angin yang bertiup kencang, dan bumi yang bergoyang, bukan peristiwa yang berdiri sendiri.
Dari perspektif itu, alam justru tampak sebagai samudra gelombang energi raksasa, sebuah gerak dan aktivitas abadi yang muncul dari interaksi ‘atomik’ dan ‘subatomik’ segenap unsur yang ada di dalamnya.
Manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda yang ada di alam semesta ini, menjadi bagian dari ketakberhinggaan interaksi kosmik dalam proses membentuk ulang dirinya secara terus-menerus. Belum lagi jika faktor Tuhan dimasukkan, kompleksitasnya kian tak tercerap oleh pengetahuan manusia.
Dengan demikian, menjadi tidak bijaksana menghakimi perilaku maksiat dan pilihan politik manusia sebagai penyebab bencana alam.
Bahkan Musa yang seorang rasul begitu tergagap dan gagal memahami bagian kecil dari realitas yang diperlihatkan oleh seorang hamba Tuhan bernama Khidir, bagaimana kita yang manusia biasa tiba-tiba begitu jumawa, merasa mampu menjelaskan segalanya dan dengan ringan bisa menetapkan terdakwa? Demikian tanya sang penulis di bagian akhir ulasannya.
Meski saya tidak tahu sejauh mana kebenaran temuan fisika kuantum tentang atom dan subatom ketika dikaitkan sebagai salah satu kemungkinan yang bisa menjelaskan sebab-sebab bencana alam, dengan mengutip artikel “Tafsir Bencana dan Kambing Hitamnya” itu, saya bermaksud mengatakan bahwa penjelasan yang bersifat menghakimi atas peristiwa seperti tsunami, gunung meletus, dan bumi yang bergoyang itu, bukanlah tafsir tunggal dalam perspektif agama.
Di atas semua itu, saya kira yang terpenting adalah kemampuan kita dalam mengambil hikmah dari peristiwa bencana alam. Sejak kontemplasi atas kesadaran eksistensial; betapa daif dan rentannya manusia berhadapan dengan alam semesta, empati kemanusiaan, hingga tindakan memberikan pertolongan kepada mereka yang menjadi korban.[]