Sebulan terakhir, perkembangan covid-19 di Jakarta semakin meluas. Kabarnya, rumah sakit rujukan kapasitasnya sudah overload. Dalam 10 hari ke depan ruang isolasi akan terisi penuh yaitu 4052. Setelah tanggal itu, pasien covid tidak akan tertampung lagi. Dengan data ini, bahwa fasilitas kesehatan yang ada tidak akan bisa menampung pasien lagi.
Selain itu, berdasarkan data yang dihimpun, saat ini ada 11.245 kasus aktif. Sedangkan presentasi kasus positif dalam sepekan terakhir mencapai 12,2 persen sedangkan untuk Indonesia sekitar 19,6 persen. Presentasi kasus positif total mencapai 7 persen. Dari data tersebut, terdapat kabar gembira jumlah tes PCR kumulatif Jakarta mencapai 716.776 orang. Artinya, orang-orang semakin sadar untuk melakukan test mandiri.
Dari data tersebut, kita mengapresiasi sikap dari pemerintah Jakarta yang mengambil langkah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dalam rapat tadi sore disimpulkan: Kita akan menarik rem darurat kita terpaksa kembali menerapkan pembatasan berskala besar seperti masa awal pandemi. Bukan PSBB transisi, tapi PSBB sebagai mana masa dulu. Ini rem darurat yang kita tarik,” ujar Anies dalam konferensi pers digelar secara daring, Rabu (9/9).
Keterangan lebih lanjut menyebutkan, segalanya akan kembali seperti awal Covid-19. Kembali bekerja, belajar dan beribadah di dalam rumah. Bahkan tempat ibadah dan hiburan akan ditutup. Lalu, usaha makanan hanya menerima pesanan untuk dibawa pulang dan diantar. Selanjutnya, seluruh kegiatan publik dan masyarakat harus ditunda. Serta, transportasi publik dibatasi denga ketat.
Namun, hal yang diperlu dipastikan apakah hak masyarakat sipil akan dipenuhi selama PSBB? Mengingat, Jakarta sendiri sudah melakukan PSBB sebanyak 3 kali yaitu PSBB periode pertama, PSBB periode kedua dan PSBB transisi.
Selama PSBB transisi inilah, kasus covid-19 semakin meningkat di Jakarta. Berdasarkan data yang dihimpun juga, angka covid-19 bisa ditekan selama PSBB pertama. Sedangkan PSBB kedua dan PSBB transisi angka covid-19 semakin meningkat.
Nampaknya Jakarta harus belajar dari 3 periode PSBB ini. Terutama dalam hal pemenuhan hak masyarakat sipil selama PSBB ini. Kita semua mengetahui jika selama pandemic ini pemerintah daerah dan pusat menyalurkan banyak bantuan bagi masyarakat yang terkena dampak. Hanya saja, bantuan ini masih belum maksimal terasa. Hal lainnya, skala prioritas masyarakat penanganan covid-19 harus ada. Misalkan, masyarakat dengan ekonomi rendah dan menengah ini harus diperhatikan.
Jika memang akan PSBB lagi, dua kelompok masyarakat ini harus dijamin juga kebutuhan sehari-hari harus tercukupi serta mereka tidak akan kehilangan pekerjaan selama SPBB. Ada banyak sektor pekerjaan yang mana masih belum bisa untuk bisa dilakukan PSBB. Jika harus PSBB, mereka yang berada di sektor rentan ini harus terjamin semuanya.
Selain itu, catatan lainnya Program Bantuan Sosial masih netral gender. Jenis bantuan yang diberikan juga belum memenuhi kebutuhan spesifik warga yang memiliki keragaman kebutuhan seperti lansia, disabilitas, balita, ibu hamil, orang dengan HIV AIDS, masyarakat terpencil dan kelompok marjinal lainnya. Hal ini terjadi karena respon kedaruratan belum menggunakan data pilah gender dan analisa kebutuhan berbasis gender.
Hal lainnya, yang perlu disoroti adalah pemberlakukan sistem bekerja dirumah (Work From Home) juga membuat perempuan mengalami multi beban. Karena tidak didukung oleh pembagian peran dan pengasuhan yang setara dalam keluarga. Sehingga, perlu disadari keterwakilan perempuan sejatinya membantu memberikan masukan berdasarkan pengalaman-pengalaman spesisik yang dialami oleh warga dalam menghadapi situasi darurat. Untuk itu, perlu didorong penerapan kebijakan yang sensitif gender dalam penanganan covid-19 ini.
Hal lainnya yang menjadi ancaman adalah kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Menurut Data SIMFONI PPA per 2 Maret-25 April 2020 tercatat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa dengan total korban sebanyak 277 orang dan 368 kasus kekerasan yang dialami anak, dengan korban sebanyak 407 anak. Di saat yang bersamaan, pelayanan dan tugas terhadap korban kekerasan pada perempuan dan anak harus mandeg di tengah jalan dengan alasan masa pandemic.
Beberapa institusi tidak melanjutkan penanganan untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Keadaan ini menjadi catatan buram di tengah wabah covid-19. Jika harus mengalami PSBB lagi, layanan untuk untuk kasus kekerasan pada perempuan dan anak harus tetap berjalan. Jangan sampai berpikir mengurangi penyebaran covid-19 malah membuat masalah baru dan tidak keberpihakan kepada perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya.