Relasi Islam-Kristen dalam bingkai sejarah peradaban menorehkan catatan panjang dan penuh lika-liku. Kedua agama tersebut diduga lahir dan berkembang dari rahim geografis yang sama, Timur Tengah. Sebagai agama yang membawa misi dakwah, Islam dan Kristen melakukan ekspansi dan menanamkan pengaruh ke berbagai belahan dunia. Seperti yang sudah maklum, Kristen ke Eropa dan Amerika, sementara Islam melesat ke Afrika dan Asia.
Seringkali terjadi perubahan perimbangan antara dua kekuatan agama besar ini selama berabad-abad. Terkadang umat Islam bergerak aktif, sedangkan umat Kristen hanya memberikan reaksi terhadap aktifitas tersebut. Di lain waktu, realitas yang terjadi bisa sebaliknya. Dewasa ini, perimbangan kekuatan kedua agama besar tersebut seolah berjalan dengan patronnya masing-masing. Kristen mendominasi kekuatan militer dan teknologi, sedangkan Islam unggul dalam aspek spiritual dan motivasi religius yang lebih kuat.
Kedua dominasi itu kemudian dipertemukan secara lebih intens oleh pengaruh globalisasi arus perdagangan dan informasi. Sayangnya, dalam banyak kasus, perjumpaan antara kedua justru seringkali melahirkan konflik. Tahun 1990-an diwarnai berbagai macam kasus yang mencuat di negara-negara Eropa terutama negara pecahan Yugoslavia, seperti Bosnia dan Kosovo. Hal itu salah satunya adalah bentuk bagaimana masing-masing agama itu saling merespon satu sama lain. Sayangnya, bukan dalam bentuk yang terpuji.
Tragedi pembantaian Srebrenica 11-13 Juli 1995, misalnya, adalah salah satu episode terburuk perang Bosnia-Serbia yang melibatkan Muslim sipil dan militer yang diprovokasi oleh Kristen Ortodoks di sana. Ribuan warga sipil tewas, lebih dari 500 anak-anak menjadi korban, dan tidak sedikit perempuan menjadi korban pemerkosaan.
Gejala yang sama ditunjukkan oleh negara belahan dunia lain, seperti Filipina, Sudan, hingga Nigeria. Pergesekan antara kedua dogma besar dunia ini melahirkan sikap saling curiga dan mengikis rasa saling percaya. Hal ini kurang lebih dipengaruhi oleh warisan perselisihan masa silam, mulai dari ekspansi Islam pada periode awal, Perang Salib, hingga imperialisme Eropa.
Berbagai upaya memang sudah dilakukan untuk menciptakan rekonsiliasi dan kesalingpahaman antara kedua penganut agama ini. Namun, kesalahpahaman masa silam teramat kuat untuk dihapuskan dari ingatan.
Di tengah gejolak situasi ini, kedua penganut agama Abarahamik ini sangat membutuhkan bahan-bahan yang dapat membantu mereka memahami bagaimana mereka tiba pada situasi saat ini.
Perjumpaan Nabi Muhammad dengan Umat Kristen
Dalam rujukan tradisional pertama mengenai kehidupan Nabi Muhammad SAW berjudul Sirah Rasulullah karya Ibn Ishaq (767 M), ada setidaknya lima babak penting terkait perjumpaan Nabi Muhammad dan umat Muslim generasi pertama dengan orang-orang Kristen.
Pertama, ketika Nabi Muhammad belum diutus sebagai Rasulullah. Ketika itu, Nabi yang baru berumur 12 tahun, dalam rangkaian perjalanan niaga bersama pamannya, bertemu dengan seorang rahib bernama Bahira. Sang rahib memperhatikan Muhammad dengan seksama dan melihat ‘tanda kenabian’ berupa tanda fisik di antara bahu dan pundaknya. Ia kemudian meminta kafilah dagang Abu Thalib untuk menjaga Muhammad dan melindunginya dari segala marabahaya.
Kedua, yaitu ketika Muhammad diangkat menjadi Nabi setelah pertemuannya dengan malaikat Jibril di Gua Hira. Diceritakan dalam riwayat, Nabi Muhammad terus memikirkan pengalaman spiritual itu dan nyaris tidak tahu dengan apa yang terjadi dalam dirinya. Kegundahannya itu kemudian sirna ketika seorang alim Kristen menjelaskan bahwa peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Muhammad akan menjadi Nabi orang Arab. Adalah Waraqah bin Naufal, seorang Kristen taat sepupu Sayyidah Khadijah yang gemar menelisik kitab-kitab suci dan belajar dari para pengikut Taurat dan Injil.
Pertemuan ketiga tidak melibatkan Nabi, namun sekelompok Muslim yang berhijrah dari Makkah ke Abissinia (atau sekarang bernama Ethiopia) pada sekitar 615 M atas perintah Nabi. Abissinia adalah kerajaan Kristen yang pada masa itu rajanya bergelar Najasi. Terjadilah banyak dialog antara umat Muslim dengan pihak kerajaan pada waktu itu. Salah satunya adalah ketika Najasi menanyakan apakah mereka mendapatkan wahyu dari Allah. Ja’far kemudian membacakan satu ayat dari surah Maryam yang menjelaskan mukjizat dan kelahiran Yesus. Mendengar ayat itu, Raja Najasi mencucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya, para imam pun menangis tersedu sedu hingga membasahi gulungan kitab suci mereka. Lalu, Najasi pun berkata, “demi Allah, wahyu ini dan ajaran Yesus berasal dari sumber yang sama”. Sang raja kemudian berjanji bahwa ia tidak akan menyerahkan umat Muslim kepada penguasa Makkah.
Peristiwa keempat terjadi ketika Nabi Muhammad dan umat Islam sudah mapan dan sejahtera. Rasulullah saat itu telah menjadi tokoh penting di Madinah. Sekitar tahun 628 M/ 7 H, datang beberapa delegasi politik dari kota Najran. Menurut Ibnu Ishaq, mereka adalah ‘aqib (pemimpin rombongan), sayyid (administrasi), dan seorang Imam. Delegasi itu datang kepada Rasulullah, saat beliau sedang melaksanakan shalat ashar, untuk melakukan dialog lintas agama. Topik perundingan itu utamanya membincang seputar kristologi yang membahas beberapa ayat Al-Qur’an mengenai Yesus. Dialog tersebut menciptakan pakta perdamaian untuk tidak saling menyerang dan mereka diperkenankan untuk mengamalkan keyakinan mereka.
Perjumpaan terakhir terjadi pada masa akhir hayat Rasulullah. Perjumpaan ini dalam bentuk delegasi oleh Nabi yang bersurat kepada para penguasa negara-negara tetangga di Jazirah Arab, yang berisi seruan agar mereka bersedia menerima Islam. Raja-raja Kristen yang dikirimi surat adalah Kaisar Bizantium, Heraklius, dan Najasi dari Abissinia.
Baca Juga, Dosen Muslim Mengajar di Kampus Kristen: Dari Istilah Kafir sampai Pertanyaan Masuk Surga
Beberapa episode di atas mungkin hanya beberapa dari banyak kisah perjumpaan Nabi dengan umat Kristen. Namun di luar itu semua, lima cerita di atas dapat memberi kita gambaran sederhana bagaimana interaksi umat Islam awal dengan umat Kristen di wilayah jazirah Arab. Nabi Muhammad tetap memegang peran penting sebagai tokoh sentral yang menjembatani interaksi itu. Sebuah interaksi yang nir-konflik, sebuah hubungan antar agama yang sarat kedamaian.