Alangkah beruntungnya perempuan di Indonesia hari ini. Mereka bisa mengejar cita-citanya setinggi mungkin. Sekarang, tidak ada yang tak mungkin. Ada yang jadi dokter, pengacara, menteri, dan lain-lain. Dibandingkan dengan negara dengan mayoritas muslim lain, Indonesia cukup baik dalam hal keadilan gender. Terbaru, seorang dokter perempuan ditunjuk untuk membantu komunikasi Gugus Tugas Covid-19, dr. Reisa Broto Asmoro.
Penulis mengenal nama ini sebelumnya sebagai seorang dokter presenter salah satu program kesehatan di stasiun TV swasta nasional. Sebelumnya, ia tampil bersama seorang dokter laki-laki (alm) dr. Ryan Thamrin. Prestasi Reisa Broto Asmoro ini mungkin bagi orang Indonesia biasa-biasa saja. Namun bagi orang yang tinggal di negara mayoritas muslim lain, seperti Arab Saudi atau Iran, prestasi ini akan dibilang sangat luar biasa. Terlebih, dokter Reisa bisa dengan leluasa tampil di depan umum seperti sekarang.
Di Arab Saudi, eksistensi perempuan bisa dibilang kurang terlihat. Mereka lebih banyak di rumah dan mengerjakan hal-hal yang sifatnya “melayani” suami, walaupun mereka juga banyak yang memiliki pembantu. Saat ingin keluar rumah, mereka tidak diizinkan bekerja, harus menggunakan penutup yang begitu lebar, dan tidak boleh menyetir mobil sendiri. Akhir-akhir ini saja mereka mulai diperbolehkan menyetir mobil sendiri. Baca: 12 Hal Terlarang bagi Perempuan di Arab Saudi.
Nasib perempuan Indonesia seperti Reisa Broto Asmoro ini berbeda jauh dengan nasib perempuan pada masa nabi. Mereka harus menerjang sekat-sekat patriarkhi yang telah lama menjamur di budaya mereka, jauh sebelum diutusnya Rasulullah SAW. Keberadaan perempuan untuk belajar, mendapatkan hal yang sama seperti laki-laki adalah hal yang tabu.
Hal ini bisa kita lihat dari kisah-kisah perempuan masa Nabi, Aisyah misalnya. Dalam salah satu tulisan Zainuddin al-Zarkasyi yang berjudul al-Ijabah fi Iradi ma Istadrakathu Aisyah ala Sahabah dijelaskan, Aisyah menguasai tiga bidang ilmu. Namun yang perlu kita ketahui, bidang-bidang ilmu yang dimiliki oleh Aisyah ini tidak didapatkan dengan mudah melalui bangku perkuliahan seperti sekarang.
Aisyah dan para perempuan lain di masanya, tidak dikehendaki oleh ‘masyarakatnya’ untuk menguasai berbagai bidang ilmu tersebut. Pada masa itu tidak ada lembaga pendidikan yang sengaja dan memperbolehkan perempuan untuk ikut terlibat dalam kegiatan belajar mengajar. Perempuan mulai belajar secara langsung dalam suatu majelis ketika ada seorang sahabat perempuan yang meminta kepada Rasulullah SAW untuk menyediakan waktu khusus untuk perempuan belajar.
Setelah sekian lama perempuan secara khusus tidak diberikan waktu untuk menimba ilmu langsung dari Rasulullah SAW, tiba-tiba seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta haknya, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan dan ilmu dari Rasulullah SAW.
Saat itu seorang perempuan, yang oleh para ulama disebut bernama Asma binti Yazid bin Sakan datang kepada Rasulullah SAW dan meminta hak mereka untuk memperoleh pembelajaran sebagaimana Rasulullah SAW memberikan pembelajaran kepada para laki-laki.
Kisah perempuan yang protes dan meminta kepada Rasulullah SAW agar memberikan pengajaran kepada Rasul ini terekam dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dalam bab pengajaran Rasulullah SAW kepada umatnya.
عن أبي سعيد جاءت امرأة إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت يا رسول الله ذهب الرجال بحديثك فاجعل لنا من نفسك يوما نأتيك فيه تعلمنا مما علمك الله فقال اجتمعن في يوم كذا وكذا في مكان كذا وكذا فاجتمعن فأتاهن رسول الله صلى الله عليه وسلم فعلمهن مما علمه الله
“Dari Abu Said menceritakan bahwa suatu hari seorang perempuan menemui Rasulullah SAW kemudian berkata, “Wahai Rasul, para laki-laki bisa belajar hadis-mu, maka sediakanlah waktu bagi kami (para perempuan) untuk datang kepadamu dan belajar ilmu yang telah diajarkan Allah SWT kepadamu.” Rasulullah SAW pun menjawab, “Datanglah pada hari ini dan ini, di tempat ini (menyebut nama tempat).” Saat tiba waktunya, Rasul pun menepati janjinya dan mengajari mereka ilmu yang pernah diajarkan Allah SWT kepadanya.”
Aisyah sendiri lebih banyak memanfaatkan posisinya sebagai istri Rasulullah SAW untuk belajar berbagai keilmuan yang (disebut) dikuasainya. Disebutkan bahwa Aisyah menguasai tiga bidang ilmu, yaitu Fikih, Nasab dan Kedokteran. Yang menarik adalah ketiga ilmu tersebut dikuasai Aisyah bukan dari bangku perkuliahan seperti kita atau dr Reisa Broto Asmoro. Aisyah memanfaatkan kedekatannya dengan Rasul untuk mengetahui dan mendalami ilmu fikih. Sedangkan dalam hal nasab dan syair, Aisyah mengamati dan belajar lebih banyak dari ayahnya, Abu Bakar as-Siddiq.
Hal ini disebutkan oleh Urwah saat bertanya langsung kepada Aisyah. Percakapan antara Urwah dengan Aisyah terkait cara menguasai bidang ilmu tersebut bisa dirujuk dalam riwayat yang disebutkan oleh Abu Nuaim dalam Hilyatul Auliya wa Thabaqatul Ashfiya’.
Di antara tiga bidang ilmu tersebut, yang paling menarik adalah cara Aisyah belajar ilmu kedokteran. Ia bukan belajar langsung dengan ahli kedokteran, melainkan secara diam-diam mengamati para ahli kedokteran yang datang untuk mengobati Rasulullah SAW pada tahun-tahun terakhir sebelum wafatnya.
Perbandingan jauh kondisi belajar Aisyah dengan para perempuan saat ini, termasuk dr Reisa Broto Asmoro yang sedang banyak dibicarakan harusnya menjadi acuan bagi kita bahwa ada perkembangan yang cukup pesat bagi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dari zaman dahulu, perempuan hanya bisa belajar kedokteran dengan cara mengamati ahli yang sedang melakukan pengobatan, sekarang bisa secara langsung kuliah dan belajar dengan ahlinya di perguruan tinggi dan praktik di rumah sakit-rumah sakit ternama.
Munculnya kelompok-kelompok yang menginginkan perempuan hanya di rumah saja dan mengurangi haknya untuk tampil di muka umum, justru akan mengikis kemajuan yang telah diraih Islam. Mereka justru tidak akan kembali pada masa kejayaan Islam yang diharapkan, malah akan terjebak kembali pada masa-masa jahiliyah yang sangat ditentang dan dilawan Rasulullah SAW. (AN)
Wallahu a’lam.