Refleksi Para Sufi Tentang Waktu

Refleksi Para Sufi Tentang Waktu

Refleksi Para Sufi Tentang Waktu

Jangan terpesona oleh terangnya sebuah masa

Sebab bisa jadi di dalamnya mengandung kerusakan-kerusakan ~anonim

Waktu (Arab: al-waqt) adalah penanda sebuah masa. Dalam surat An-Nisa ayat 103 Allah SWT berfirman; Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman“. Maksudnya, kewajibannya telah ditentukan dalam waktu-waktu tertentu.

Para sufi mengibaratkan waktu sebagai sebuah pedang. Sebagaimana pedang yang dapat memotong sesuatu, maka waktu (bila tak mampu “dimenej” dengan baik) dapat melewatkan seseorang dari kebenaran dan al-Haq.

Dalam sebuah riwayat, imam Syafii berkata:

Selama aku bersahabat dengan para sufi, aku tidak mendapatkan kemanfaatan (yang sangat utama) kecuali dua kalimat dari mereka. Aku mendengar mereka mengatakan bahwa waktu ibarat pedang. Jika kau tidak mampu “memenej”nya, ia akan membunuhmu. Oleh karenanya, sibukkanlah dirimu dengan kebenaran dan al-Haq, bila tidak, kau akan disibukkan dengan kebatilan.”

Dalam memandang sebuah masa atau waktu, para sufi terbagi menjadi empat kelompok. Pertama, ashab assawabiq. Mereka yang hatinya dipenuhi (dengan dan bersama) Allah. Mereka meyakini bahwa dalam segala hal yang telah ditetapkan di zaman azali tidak bisa berubah. Oleh karenanya, mereka menyibukkan diri dengan ibadah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Tidak begitu memperdulikan sedang berada di sebuah masa apa pun.

kedua, ashab al-awaqib, mereka adalah orang-orang yang selalu memikirkan akhir hayatnya. Mereka berpedoman bahwa segala sesuatu akan dilihat di akhirnya. Apakah khusnul khatimah atau justru sebaliknya. Senandung syair menyiratkan pemahaman kelompok ini:

Jangan terpesona oleh terangnya sebuah masa

Sebab bisa jadi di dalamnya mengandung kerusakan-kerusakan

oleh karenya, bagi ashab al-awaqib, akhir sebuah perjalanan hidup seseorang tidak ada yang tahu. Teruslah berbuat kebaikan.

Janganlah kau merasa heran kepada orang-orang yang rusak dan hancur serta menanyakan bagaimana mereka rusak? Sebaliknya, kagumlah kepada orang yang selamat bagaimana mereka memperoleh keselamatan? 

Ketiga, ashab al-waqt, mereka tidak menyibukkan diri dengan waktu azali sebagaimana kelompok “sawabiq” dan juga masa yang akan datang seperti kelompok “awaqib”. Mereka memfokuskan diri dengan menjaga waktu yang sedang dijalaninya. Mereka berkata, “seorang al-arif (yang telah makrifat) adalah anak zamannya. Bukan masa lalu maupun masa depan.

Keempat, ashab al-haq, mereka menghabiskan waktu bersama pemilik waktu dan pemilik kebenaran. Mereka tidak mempedulikan waktu. Mereka hanya mau menyibukkan diri dengan al-Haq.

Dikisahkan, di sebuah pagi Imam Junaid al-Baghdadi berjumpa dengan sahabat sufi lainnya, Sari As-Saqathi. Junaid bertanya, “bagaimana (kabar) di pagi harimu?”. As-Sari menjawab, “bagiku, tidak ada kabar (kebahagiaan) baik di malam hari maupun di pagi hari. Aku tidak mempedulikan panjang maupun pendeknya sebuah malam.” Ia melanjutkan, “(jika engkau sudah bersama Tuhanmu), maka kau tak akan merasakan adanya siang maupun malam.

Kelompok keempat ini menunjukkan bahwa ketidakpedulian mereka terhadap waktu sebab mereka bersama sang “pemilik waktu”.

Lalu, bagaimana dengan kita, dari keempat kelompok ini, termasuk yang manakah? Atau tidak termasuk sama sekali?

Wallahu A’lam bi as-Shawab