Malam itu, 12 Rabiul Awal menjelang fajar, lahirlah seorang anak manusia yang menjadi alasan alam semesta diciptakan. Dia lah Muhammad putra Abdullah, yang di dalam kitab-kitab suci dan kehidupan langit terkenal dengan nama Ahmad.
“Berhembuslah angin sepoi-sepoi di pagi hari, Sekian lama bumi dikekang gersang, dan kini, tibalah saatnya sutra-sutra terhampar padanya dari berrupa-rupa warna tumbuhan. Buah-buahan seketika masak. Pepohonan mendekati orang-orang yang akan memetiknya. Setiap bintang mengabarkan kepada orang-orang dengan bahasa Arab yang fasih bahwa ‘ia’ sedang dikandung. Singgasana-singgasana raja dan berhala tersungkur. Binatang dari berbagai penjuru negeri, barat, timur, serta penghuni lautan saling bersapa. Berbagi suka cita. O, semesta sungguh berbahagia atas kelahirannya.”
Alam seolah tak pernah merelakan dirinya melewatkan momen bahagia ini, suatu hari yang hanya terjadi sekali sepanjang usia semesta. Luapan-luapan perasaan bahagia itu tertuang lewat pena Sayyid Ja’far Ibn ‘Abdul Karim ibn Muhammad ibn Rasul Al-Barzanji dalam Master Piece-nya Kitab Maulid al-Barzanji.
Syair-syair semacam ini masyhur di kalangan umat Islam di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Sejak awal bulan Rabi’ul Awwal, syair-syair maulid nabi ramai di senandungkan di serambi-serambi masjid, aula-aula pertemuan, hingga lorong-lorong pesantren.
Sayangnya, keceriaan alam semacam itu tidak kita jumpai hari ini. Ada banyak wajah murung beberapa hari belakangan. Langit mendung. Hujan deras disertai angin kencang mengguyur beberapa daerah di Indonesia. Menurut BMKG, cuaca ekstrim ini mencapai puncaknya pada tiga hari terakhir (27-30 November 2017) sebagai dampak atas Siklon Tropis Cempaka di sekitar Pantai Selatan Jawa. Akibatnya, beberapa daerah seperti Pacitan, Gunung Kidul, Bantul, Kulon Progo, dan beberapa wilayah di Jawa tergenang banjir, tanah longsor, jembatan putus, pohon tumbang dan kerusakan-kerusakan lainnya. Banyak saudara-saudara kita yang terpaksa meninggalkan rumah dan aktivitas kesehariannya untuk mengungsi ke tempat yang lebih nyaman.
Alam seolah ingin menceritakan keresahannya. Ia bersedih atas kehidupan umat islam yang terlalu terlena dengan kehidupan duniawi. Manusia terlalu asyik hidup di pinggiran lingkaran eksistensi, sampai-sampai lupa pada pusatnya, yakni Allah. Kita tergoda untuk mengejar kekayaan hingga menghalalkan korupsi. Kita terlalu sibuk bertikai, berdebat, saling menghujat dan membenci kepada sesama saudara. Kita terpesona untuk mengikuti idola baru, artis, ustadz-ustadz, politisi, cendekiawan dan tokoh-tokoh yang membawa berbagai kepentingan di balik tindak-tanduknya. Padahal, Allah sudah menciptakan panutan dan teladan, yang paling mulia akhlaknya dalam diri Muhammad SAW.
Memang benar bahwa mungkin tak akan kita temukan kisah Muhammad makan beling, anti-bacok golok, tahan peluru, berjalan di atas bara api, sampai terbang menari-nari di atas langit. Ia memang bukan manusia super seperti Gatot Kaca. Dia bukan orang sakti macam Angling Dharma, Siliwangi, Gadjah Mada hingga Wiro Sableng.
Dia hanya manusia biasa. Yang menjadikannya luar biasa adalah kepribadian dan akhlaknya. Bahkan keagungan akhlaknya ini dikristalkan dalam salah satu ayat suci, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung” (QS (4): 7). Justru karena ia manusia biasa, ia selalu kewes dan pantas menjadi kiblat teladan bagi siapapun, entah ia pedagang, pemimpin, politisi, seniman, guru, orang tua, pemuda, dan anak-anak.
Peringatan maulid nabi adalah momen bagi kita untuk membaca, mengenang dan menggelorakan kembali semangat ittiba’ (mengikuti) kanjeng nabi. Beragama atau berislam tidak cukup dilakukan melalui ibadah ritual semata, tetapi harus diwujudkan dalam praktek hidup dengan sesama. Allah mengutus nabi Muhammad sebagai rahmatallil’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Dia menjadi pembawa kasih sayang Allah bagi seluruh alam raya.
Wajah islam yang diajarkan nabi Muhammad adalah islam yang menjunjung tinggi akhlak. Puncak perjalanan beragama, sebagaimana dikatakan Ibn Arabi, adalah takhalluq bi akhlaqillah (berakhlak dengan akhlak Allah). Sementara akhlak utama Allah adalah Rahman dan Rahim, yakni kasih sayang. Berislam ala Muhammad adalah islam yang ramah, Islam yang merahmati seluruh alam. Islam yang mengajarkan untuk saling mengasihi sesama ciptaan Allah. Artinya, seseorang yang mengaku sebagai muslim dan pengikut nabi, harus mampu menunjukkan sikap rahmah, kasih sayang dan ramah kepada sesama, saling menghormati, dan membantu saudara yang sedang mengalami kesusahan.
Bencana yang menimpa Indonesia hari ini sesungguhnya merupakan wujud kasih sayang alam kepada kita. Sebagaimana ibu yang selalu mengasihi anaknya, alam akan selalu mengingatkan ketika sang anak bertingkah terlalu jauh dari aturan yang sudah ditentukan. Alam tengah mengajak kita untuk berbenah, memperbaiki diri dan membangkitkan kembali kasih sayang yang mungkin mengendap tertimbun nafsu, syahwat, dan keinginan-keinginan duniawi. Alam ingin menggugah kembali rasa kemanusiaan dan kepedulian kita. Alam telah memilih momen Maulid Nabi ini sebagai titik pijaknya. Bencana yang terjadi kini adalah sarana untuk mewujudkan cara berislam kita sebagai ejawantah atas praktik akhlak yang telah diajarkan oleh nabi Muhammad.
Islam bukan klaim/monopoli suatu golongan. Agama tidak diciptakan untuk Tuhan, tetapi untuk kepentingan manusia agar sampai kepada Tuhan. Beragama haruslah dibuktikan dengan aksi nyata. Tidak hanya dalam praktik ibadah ritual, tetapi juga ibadah sosial. Kita tidak hidup sendirian di bumi Allah. Ada orang-orang yang membersamai dimensi ruang dan waktu yang kita tempati kini.
Ketidakseimbangan hubungan antara manusia dengan sesama, baik manusia maupun alam, ini yang terkadang mengundang terjadinya bencana. Namun, bencana bukanlah alasan untuk saling menyalahkan. Toh tak ada gunanya juga jika kita mengutukinya sepanjang hari, bukan? Bencana tak akan beres dengan saling menyalahkan. Dunia tak akan berubah kalau diri kita sendiri tak mau berubah. Setidaknya merubah cara pandang kita kepada orang lain dan kepada alam. Orang lain tak harus salah demi anggapan bahwa kita yang paling benar. Orang lain tak harus masuk neraka, demi satu tempat kita di surga. Surga tak sesempit itu.
Bencana yang belakangan terjadi adalah bentuk ajakan alam agar kita menengok kembali kanan-kiri. Alam menyentil kita, barangkali ada saudara kita yang sedang membutuhkan uluran tangan. Tidak ada paksaan dalam beragama. Begitu pula dalam membantu sesama. Allah tak akan menuntut lebih dari apa yang mampu kita laksanakan.
Dalam konteks bencana yang tengah terjadi, akan sangat berarti bagi para korban andai kita mampu terjun langsung ke lapangan. Membantu dengan harta, tenaga, dan waktu, juga akan sangat meringankan beban mereka yang sedang berduka. Kalaupun hanya mampu berdoa, sesungguhnya Allah adalah Dzat yang tak pernah tuli dari doa hamba-hamba-Nya.
Dan akhirnya, marilah kembali belajar untuk beragama sambil tersenyum kepada sesama.
Wallahu a’lam