Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu beragam bangsa dan suku, supaya kamu saling mengenal satu sama lain. Sungguh yang paling mulia di antara kamu sekalian di hadapan Tuhan adalah yang paling sadar akan Tuhannya. Tuhan adalah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti. (QS. al-Ḥujurāt 49:13)
Saya beberapa waktu yang lalu kembali dari sebuah kunjungan ke Belanda untuk sebuah konferensi dan rangkaian pertemuan yang diselenggarakan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Belanda. Selama saya tinggal di Belanda, saya mengunjungi Wereld Museum di Leiden, sebuah tempat yang dipenuh dengan artefak yang diambil dari berbagai negara selama masa kolonial Belanda. Sama dengan British Museum di London, Wereld Museum adalah tempat yang sangat menyenangkan untuk belajar mengenai berbagai masyarakat dan kebudayaan. Betapapun, koleksi di sana menimbulkan banyak pertanyaan karena banyak benda yang ada diperoleh pada waktu warga lokal punya sedikit suara mengenai hal ini. Beberapa dibeli secara sah, sebagian lainnya tidak. Fakta ini membawakan kita banyak perenungan mengenai sikap penghormatan, harga-diri manusia, dan bagaimana kita memperlakukan satu sama lain sebagai manusia.
Pada saat Islam Summit di Arnhem, kami mendiskusikan pengalaman-pengalaman Umat Muslim di Eropa, termasuk mereka yang berpindah agama dan mereka yang pindah tempat tinggal ke sana. Satu topik utama yang dibahas adalah dekolonisasi Islam, sebuah topik yang unik dan provokatif yang menimbulkan banyak pertanyaan: Bagaimana Islam secara terus-menerus dipengaruhi oleh kuasa kolonial? Bagaimana kita meyakini bahwa praktik Islam masih relevan secara kebudayaan sembari menghindari cara berpikir kolonial?
Indonesia menawarkan contoh yang menjanjikan, di mana Islam secara lokal dapat ditumbuhkembangkan dan memancarkan kekayaan kebudayaan Indonesia. Posisi ini berbanding terbalik dengan banyak belahan dunia lainnnya di mana Islam seringkali datang dengan beban kebudayaan yang dipaksakan bersamaan dengan keyakinan, utamanya di Eropa dan Amerika. Orang-orang yang berpindah agama ke Islam terkadang merasakan tekanan untuk mengadopsi kebudayaan yang asing, dan bahkan orang-orang yang keluarganya telah bermigrasi beberapa generasi sebelumnya mungkin menghadapi tantangan yang sama. Sembari mengambil inspirasi dari kebuyaan yang berbeda merupakan hal positif, seseorang seharusnya tidak perlu merasa ditekan untuk menerima unsur-unsur yang tidak sesuai dengan mereka.
Pertukaran budaya hendaknya selalu terjadi secara sukarela dan saling-menghargai. Sepanjang sejarah, manusia telah secara alamiah berbagi adat istiadat dan pemikiran, yang mengantarkan pada keragaman indah yang kita saksikan hari ini. Namun, masa kolonial menjadi saksi bagaimana berbagai bangsa yang super-power memaksakan pengaruh mereka kepada yang lain dan menyebabkan kerusakan besar.
Dengan mempertimbangkan tantangan-tantangan yang kita hadapi hari ini, kita mestinya bertanya kepada diri kita bagaimana cara melangkah ke depan. Tegangan-tegangan yang ada di antara berbagai komunitas dan bangsa semakin menguat, dan orang-orang takut tentang kemungkinan konflik global. Pada masa yang tidak menentu seperti ini, sangat penting untuk menumbuh-kembangkan pemahaman di antara berbagai kelompok yang berbeda, baik yang dipisahkan oleh politik, keyakinan, atau etnis.
Membangun jembatan-jembatan pemahaman tidak cukup; kita mesti menyebrangi jembatan-jembatan ini dan secara sungguh-sungguh terhubung satu dengan yang lain. Meskipun perbedaan kita, kita memiliki nilai kemanusiaan yang sama. Perbedaan-perbedaan kita dapat menjadi sumber keindahan dari pada pemecahbelah, menjadikan hidup lebih menarik dan memperkaya interaksi kita.
Maka, mari kita berkomitmen untuk mendiskusikan masalah-masalah yang sulit dengan sikap saling menghargai dan mendengarkan satu sama lain, utamanya ketika kita tidak sependapat. Dengan titik tolak ini, kita dapat membangun dunia yang lebih baik dimana kita saling menghargai dan menghormati daripada saling memecah. Semoga Tuhan menunjuki kita ke jalan yang mulia ini.
*Artikel ini awalnya ditulis dalam bahasa Inggris dengan judul “Bridging Cultures and Finding Unity”, dan diterjemahkan oleh Nur Ahmad.