Allah tidak menghendaki seluruh penduduk dunia ini memeluk agama Islam. Begitu juga, Indonesia merdeka bukan hanya perjuangan umat islam. Persatuan dan kesadaran nasionalisme-lah yang menjadi spirit paling berharga bangsa Indonesia mampu merebut kemerdekaannya. Sehingga, merawat nilai luhur persatuan dan nasionalisme adalah tanggung jawab yang harus dipikul oleh seluruh generasi penerus bangsa ini, tanpa terkecuali.
Persatuan tidak akan terwujud apabila semangat toleransi dan saling menghargai tidak terbina dengan baik. Nabi Muhammad telah banyak mencontohkan keteladanan kepada umatnya tentang toleransi dan saling menghargai antar pemeluk agama. Diantara argumen yang paling terlihat adalah karena bahaya atau akibat buruk yang ditimbulkan akibat perseteruan antar agama lebih besar daripada manfaatnya, sebagaimana akan kita perhatikan dalam pembahasan kali ini tentang QS. Al-An’am ayat 108. Allah berfirman;
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.
Ibnu Katsir, tokoh ahli tafsir terkemuka, dalam Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzim menafsiri ayat ini dengan “Allah melarang Rasulullah dan orang-orang mukmin mencela yang menjadi sesembahan orang non-muslim. Meskipun ada maslahah (kebaikan) dalam hal ini. Sebab akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar yakni mereka balas untuk mencela Tuhan orang-orang mu’min”.
Kebaikan yang dimaksud adalah sesuai dengan keyakinan orang-orang muslim yang menganggap bahwa Tuhan yang benar-benar sebagai Tuhan hanyalah Allah. Dalam artian, yang menjadi perbincangan pada ayat di atas adalah bahwa yang diyakini sebagai Tuhan pada waktu ayat tersebut turun jelas-jelas berbeda antara yang diyakini oleh umat islam dengan lainnya. Sehingga, hemat penulis, Tuhan dalam pembahasan ayat ini tidak bisa disangkut pautkan dengan perkembangan pemahaman yang sekarang mulai berkembang tentang makna dan yang dimaksud dengan Tuhan.
Muhammaf Bâqir Al-Nâshirî dalam Mukhtashat Majmû’ Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’an menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata “sabbu” dalam ayat diatas adalah penyebutan atau menyebutkan dengan label atau kata yang tidak layak (buruk), seperti mencela, menghardik, menista, dsb. Disamping kata-kata tersebut tidak layak untuk diucapkan, menggunakan kata-kata tersebut lebih-lebih diarahkan kepada pemeluk agama yang berbeda bisa mengakibatkan permusuhan dan perpecahan umat atau masyarakat. Sedangkan, perpecahan adalah hal yang paling dilarang oleh Al-Qur’an.
Terkait dengan ini, Al-Baidhawi, sebagaimana dikutip oleh Ibnu ‘Ajibah dalam tafsirnya Al-Bahr Al-Madîd fî Tafsîr Al-Qur’an Al-Majîd, mengungkapkan bahwa perbuatan yang diyakini sebagai bentuk ketaan kepada Allah namun apabila dibalik perbuatan tersebut justru bisa menimbulkan kerusakan atau kemaksiatan yang lebih besar maka harus ditinggalkan, sebab, menurutnya, setiap hal yang bisa menimbulkan keburukan adalah buruk. Ibnu ‘Arabi juga menyebutkan bahwa menjaga harga diri apabila harus dengan meninggalkan kesunahan maka wajib untuk memprioritaskan menjaga harga diri daripada menjalankan kesunahan.
Ketika kita perhatikan, yang menjadi pijakan pemahaman para mufassir diatas adalah sebuah kaidah tentang pentingnya untuk memprioritaskan hal yang paling penting baru yang agak penting (al-ashlah fa al-ashlah). Dalam Kaidah Ushuliyyah dalam Madzhab Malikiyyah dikenal juga sebuah konsep sadz al-dzari’ah (menutup kemungkinan terjadinya hal yang buruk atau paling buruk), sebagaimana disampaikam oleh Ibnu ‘Ajibah. Atau menurut Abdurrahman Al-Sa’dî dalam tafsirnya ayat ini adalah dalil dari sebuah kaidah anna al-wasâil tu’tabaru bi al-umûr allatî tushîlu ilaihâ (sesungguhnya barometer ketentuan sesuatu (instrument) adalah bergantung kepada konsekuensi yang dihasilkan).
Dengan ini, persatuan yang meniscayakan adanya sikap saling menghargai apabila dirusak dengan egoisme kebenaran kepercayaan tertentu hingga akhirnya akan menimbulkan kerugian dan kerusakan yang lebih besar, maka tidak ada ruang untuk menyebutkan bahwa egoisme keyakinan tersebut adalah kebenaran. Singkatnya, itu hanya ilusi kebenaran atau kebenaran fiktif.
Hadis Nabi yang memiliki nafas dama dengan ayat ini adalah larangan Nabi untuk mencela orang taunya sendiri. Semula para sahabat kebingungan terkait maksud Nabi tersebut, akhirnya mereka bertanya maksud dari hadis yang dimaksud. Nabi menjawab, yasubbu abâ rajulin fa yasubbu abâhu wa yasubbu ummahu fa yasubbuhu (seseorang yang mencela ayahnya orang lain sehingga orang tersebut membalas dengan mencela ayahnya orang yang mencela, dan mencela ibunya orang lain sehingga orang tersebut balas mencela ibunya orang yang mencela). Wallahu a’lam bishshawab.
A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir.