Masa kenabian ialah masa keteladanan. Umat Islam dari berbagai generasi, berbagai mazhab dan aliran dan dari berbagai suku dan bangsa, dari dulu sampai sekarang menjadikan masa kenabian sebagai masa yang ideal untuk ditiru dan dijadikan rujukan dalam berperilaku. Namun dalam usaha untuk mengikuti dan meniru keteladanan ini terkadang ada yang salah dan keliru dan ada pula yang benar.
Termasuk yang keliru ialah orang-orang yang memakai hadis-hadis untuk menjustifikasi tindakan kejam terhadap sesama manusia seperti yang dilakukan teroris-teroris saat ini. Mereka mengklaim bahwa orang muslim yang bekerja di bawah pemerintahan Pancasila adalah orang musyrik atau paling tidak telah murtad dari Islam dan wajib dibunuh.
Karena itu, sangat wajar jika kemudian orang yang murtad saat ini, bagi mereka, harus dibunuh. Pemahaman ini jelas keliru dan tidak sesuai dengan praktik yang dicontohkan Nabi SAW. Taruhlah jika klaim murtad itu benar bisa dilekatkan kepada muslim yang menjadi PNS, tetap saja praktik membunuh dilarang dalam agama dan nabi tidak pernah mencontohkan itu.
Kita akan mencoba melihat beberapa riwayat-riwayat yang dianggap sahih tentang praktik murtad di masa kenabian dan bagaimana Nabi SAW akan menyikapinya, dengan membiarkannya atau membunuhnya:
Sahabat Nabi yang Murtad setelah Kejadian Isra Mi’raj
Ada perbedaan yang cukup mendasar di kalangan sejarawan terkait kapan terjadinya Isra dan Mi’raj. Ada yang mengatakan bahwa Isra terjadi di Tahun Kesedihan, tahun wafatnya Ali bin Abi Thalib dan Khadijah binti Khuwaylid. Dalam hal ini Isra dan Mi’raj terjadi di tahun keenam di masa kenabian.
Sementara sejarawan lainnya berpandangan bahwa Isra Mi’raj terjadi setahun sebelum hijrah ke Madinah. Namun terlepas dari perbedaan pendapat ini, mayoritas sejawaran mengatakan bahwa ada sebagian sahabat Nabi yang masuk Islam menjadi murtad setelah nabi menceritakan pengalaman Isra dan Mi’rajnya.
Ibnu Hisyam melalui riwayat yang didapat dari Ibnu Ishak dari hadis riwayat al-Hasan tentang pengalaman nabi tentang Isra berkata: “…banyak orang yang telah masuk Islam menjadi murtad..”. Namun di sini Ibnu Hisyam tidak menyebutkan identitas orang-orang yang murtad tersebut.
Sementara itu, al-Hakim dalam al-Mustadrak meriwayatkan hadis riwayat Aisyah, beliau berkata: “ketika Nabi melakukan perjalanan malam ke mesjid al-Aqsha, banyak orang yang tidak mempercayainya sehingga ada banyak orang yang telah beriman dan telah memercayai Nabi menjadi murtad..”
Imam Ahmad dalam Musnad dan an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra menyitir riwayat dari Ibnu Abbas. Beliau berkata, “Nabi melakukan Isra ke Bait al-Maqdis kemudian beliau pulang di malam yang sama dan menceritakan perjalananya dan tanda-tanda bait al-Maqdis berserta unta-untanya. Lalu banyak orang berkata: kami tidak mempercayai kata-kata Muhammad. Lalu mereka menjadi murtad dan kafir…”
Imam at-Tabari juga dalam tafsirnya, Jami al-Bayan fi Ta’wil Ayil Quran, ketika menafsirkan surat al-Isra ayat 60, meriwayatkan peristiwa banyaknya sahabat Nabi yang mulanya mempercayainya kemudian menjadi murtad.
Dari beberapa keterangan ini, tidak ada cerita mengenai reaksi Nabi SAW terhadap orang-orang yang telah murtad dan keluar dari agama Islam. Tidak ada pula sunnah untuk membunuh orang murtad di awal-awal masa kenabian ini.
Sahabat Nabi yang Murtad setelah Hijrah ke Habasyah
Fenomena murtadnya para sahabat di masa kenabian juga terjadi setelah nabi memerintahkan hijrah ke Habasyah. Dalam hal ini, kitab-kitab yang menjelaskan sirah kenabian paling tidak menyebutkan ada dua sahabat yang murtad pasca mereka pindah ke Habasyah: Ubaidullah bin Jahsy dan as-Sukran bin Amru.
Terkait murtadnya Ubaidullah bin Jahsy ini, Ibnu Hisyam meriwayatkan kisahnya dari Ibnu Ishak: “Ubaydullah bin Jahsy berhijrah ke Habasyah bersama orang-orang muslim lainnya. Ia hijrah ke Habsyah juga bersama istrinya yang bernama Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Tatkala sampai di Habsyah, ia menganut agama nasrani dan keluar dari agama Islam sampai wafat sebagai nashrani di sana.”
Riwayat mengenai murtadnya Ubaidullah bin Jahsy juga dinarasikan oleh Ibnu Sa’ad dalam at-Tabaqat al-Kubra, al-Baladzari dalam Ansab al-Asyraf, al-Jazari dalam Usdul Ghabah fi Makrifat as-Sahabah. Semua ahli sejarah ini sepakat mengenai murtadnya Ubaidullah bin Jahsy ini.
Sahabat lain yang murtad ketika hijrah ke Habasyah ialah as-Sukran bin Amru. Terkait kisahnya, al-Baladzari dalam Ansab al-Asyraf menyebutkan: “as-Sukran pulang ke Mekkah lalu pulang lagi ke Habasyah dalam keadaan murtad atau menjadi nasrani dan ia mati di sana…”.
Riwayat yang dinarasikan al-Baladzari ini disebutkan dalam beberapa kitab sejarah seperti at-Tabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad, Usdul Ghabah fi Ma’rifah as-Sahabah karya al-Jazari, dan Tarikh al-Umam wa al-Muluk karya at-Tabari. al-Baladzari sendiri menegaskan bahwa riwayat yang menyatakan keluarnya as-Sukran bin Amru dari islam benar dan valid.
Riwayat-riwayat tentang murtadnya dua sahabat yang disampaikan ahli sejarah dan ahli hadis ini menunjukkan bahwa tidak ada perintah dari Nabi SAW untuk membunuh dua sahabat yang murtad.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sikap serampangan kelompok teroris dalam memberi label murtad kepada selain kelompok mereka serta aksi pembunuhan, pemboman dan aksi-aksi kejahatan lainnya yang mereka lakukan terhadap muslim dan non muslim yang mereka anggap telah murtad dan kafir tidaklah sesuai dengan praktik yang dicontohkan Nabi SAW dan karenanya mereka bukanlah pengikut sunnahnya.