Rasulullah Marah Jika Agamanya Dihina, Benarkah Demikian?

Rasulullah Marah Jika Agamanya Dihina, Benarkah Demikian?

Akhir-akhir ini beberapa orang meluapkan kemarahannya atas nama agama kepada beberapa orang yang dianggap “melecehkan” atau “menista” agama.

Rasulullah Marah Jika Agamanya Dihina, Benarkah Demikian?

Akhir-akhir ini beberapa orang meluapkan kemarahannya atas nama agama kepada beberapa orang yang dianggap “melecehkan” atau “menista” agama. Mereka menggunakan hadis Rasul yang menyebutkan bahwa Rasul marah jika menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Allah.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَأْثَمْ فَإِذَا كَانَ الْإِثْمُ كَانَ أَبْعَدَهُمَا مِنْهُ وَاللَّهِ مَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ قَطُّ حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّه

Diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata, “Nabi Saw. memilih perkara yang ringan jika ada dua pilihan selama tidak mengandung dosa. Jika mengandung dosa, maka Rasul akan menjauhinya. Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena urusan (kepentingan) pribadi, tapi jika ajaran-ajaran Allah dilanggar maka beliau menjadi marah karena Allah (lillahi ta’ala).”

Dalam riwayat Imam Muslim, Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, At-Thabrani dan lainnya, juga dijelaskan:

لا تغضبه الدنيا وما كان لها، فإذا تعرض للحق لم يعرفه أحد، ولم يقيم لغضبه شيء حتى ينتصر له.

“Rasulullah Saw tidak marah disebabkan urusan duniawi, tetapi apabila kebenaran itu didustakan dan ditentang, beliau akan marah tanpa ada seorangpun yang bisa tegak dihadapan kemarahan beliau, sehingga beliau memenangkan Kebenaran itu baginya.”

Sebagian orang mengaitkan kedua hadis di atas dengan kasus penistaan agama saat ini. Kata ‘hurumatullah‘ dan ‘al-haq‘ dalam riwayat tersebut ‘dipelintir’ sedemikian rupa sebagai framing ‘hina agama’ dan ‘penistaan agama’. Sehingga muncul sebuah slogan, “Jika berkenaan dengan urusan pribadi, berikan maaf. Jika berkenaan dengan kasus penistaan agama, maka harus marah.”

Padahal, terjemahan yang tepat untuk kata “hurumatullah” adalah ajaran-ajaran Allah, sementara untuk kata “al-haq” adalah kebenaran. Hal ini tentu lebih bersifat universal dan normatif.

Mayoritas riwayat hadis yang menjelaskan kemarahan Rasul berkategori sunnah fi’liyah. Yakni, sahabat “memotret” perbuatan Nabi, kemudian mengisahkannya dengan kalimat-kalimat yang dibuat oleh sahabat sendiri. Sehingga, dalam memahami hal ini, kita harus melihat maqashid syari’ah (inti semangat atau tujuan syar’i) yang terkandung dalam hadis tersebut.

Dari penjelasan ini bisa difahami bahwa Rasulullah merupakan pribadi yang sangat zuhud dan wara’, sehingga urusan pribadi dan keduniawian tidak akan pernah mampu menyulut kemarahannya. Selain itu, Rasulullah juga akan marah kepada siapapun yang melanggar ajaran Allah dan Kebenaran-Nya. Tentu dalam hal ini Rasul juga akan marah dengan orang-orang yang mencaci maki, mengumpat, dan memfitnah orang lain. Karena hal itu sudah tentu bertentangan dengan ajaran-ajaran Allah yang dibawa dan dicontohkan langsung oleh Rasulullah Saw.

Marah dalam konteks ini tidak elok bila dimaknai dengan ngamuk-ngamuk, mata melotot, mengumpat, mengancam, siap gorok leher, dan sejenisnya. Karena, pemaknaan ini tidak sesuai dengan firman Allah Swt:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (Q.S. Al-Qalam; 4)

Sehingga, makna yang cocok untuk menggambarkan kata ‘marah’ dalam hadis tersebut adalah ‘mengingkarinya, kemudian melakukan strategi-strategi dakwah dan perbaikan, demi hadirnya tuntunan yang solutif, bukan tuntutan geram yang menakut-nakuti.

Sebab, durhaka dan melanggar ajaran Allah serta kebenaran-Nya bisa terjadi kepada siapapun dan kapanpun. Jadi, kalau marahnya Rasul diartikan dengan meluapkan kemarahan di muka umum dan lain sebagainya, maka berapa banyak waktu yang hilang sia-sia?

Dengan niat karena Allah Swt, maka hendaknya yang menjadi pegangan dalam berdakwah adalah firman Allah Swt yang menganjurkan untuk berdakwah dengan lembut; dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Sebagaimana tertuang dalam firman Allah Swt berikut;

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl; 125).

Wallahu A’lam.