Bagi para istri, terutama Aisyah, Nabi Muhammad adalah sosok lelaki romantis. “Nabi biasa meletakkan kepalanya di pangkuanku sambil membaca Al-Quran,” kata Aisyah. Di lain waktu Aisyah kembali menceritakan wujud kasih sayang Nabi yang lain, “Setelah Wudlu Nabi biasa mencium istrinya, lalu shalat tanpa berwudlu kembali,” kenang perawi hadis perempuan terbanyak ini.
Cerita Aisyah yang terakhir ini menjadi argumentasi sebagian ulama bahwa mencium istri tidak membatalkan wudlu.
Ya, begitulah Nabi dalam membina keharmonisan rumah tangganya. Momen-momen mesra selalu diciptakan untuk merekatkan rasa. Bisa dengan perilaku, gurauan, tak jarang dengan panggilan-panggilan penuh kasih.
Khusus untuk Aisyah Nabi memiliki beberapa panggilan kesayangan. Mungkin, yang paling sering kita dengar adalah sebutan Ya Humaira, wahai yang pipinya kemerah-merahan. Sebuah panggilan pujian karena bagi masyarakat Arab tempo dulu ciri wanita cantik adalah pipinya yang kemerah-merahan.
Selain Humaira, kadang Aisyah dipanggil dengan Aisy saja, kerap pula disapa dengan Ya Uwaish yang berarti Hai Aisyah kecil.
Di antara istri Nabi, Aisyah memang yang paling muda. Putri kedua dari Abu Bakar ini menjadi gadis satu-satunya yang dinikahi Nabi. Ia resmi disunting Nabi pada tahun keempat hijrah, satu tahun setelah Nabi menikahi Saudah binti Zam’ah (janda dari As-Sakran bin Amr, sepupu Nabi) paska meninggalnya istri pertama tercinta yaitu Khadijah binti Khuwailid.
Saudah, istri kedua Nabi, saat dinikahi Nabi pada tahun ke-3 H sudah memasuki usia monopause alias tak subur lagi. Sedangkan umur Aisyah saat menikah dengan Nabi dalam beberapa literatur masih diperdebatkan. Hanya yang pasti masih tergolong muda, di bawah limabelas tahun.
Dengan usia yang muda itu membuat Nabi memberi perlakuan yang berbeda terhadap Aisyah, namun bukan dalam arti mengistimewakannya dari istri yang lain. Saat senggang Nabi pernah mengajak Aisyah adu lomba jalan cepat. “Aku berhasil mendahuluinya,” kata Aisyah senang.
Di lain waktu ketika Aisyah membawa daging tiba-tiba Nabi menghampiri. “Ayo kita lomba lagi,” Ajak Nabi. Lomba jalan pun dimulai. Aisyah mengerahkan segenap kekuatannya untuk berjalan cepat, tapi ternyata Nabi telah mendahului. Nabi menang.
“Kemenangan ini untuk ganti yang kemarin,” kata Nabi sambil tersenyum penuh kasih. Mungkin dalam bahasa kita sekarang, “Satu, satu,” maksudnya impas.
Bagi Nabi, muk atau gelas bisa juga menjadi sarana menunjukkan rasa cintanya ke istri.
Aisyah bercerita saat bersama Nabi, “Saya biasa minum dari muk yang sama ketika haidh. Setelah saya minum, Nabi mengambil muk tersebut dan meletakkan mulutnya di tempat saya meletakkan mulut, untuk kemudian beliau minum dari sisi itu.”
Nabi mengulanginya lagi. “Kemudian saya,” kata Aisyah, “mengambil muk dan menghirup isinya. Muk itu kemudian diambil lagi oleh Nabi, lalu beliau meletakkan mulutnya pada tempat saya tadi menempelkan sepasang bibirku, dan beliau pun menghirupnya kembali.”
Kalau Aisyah marah, Nabi punya cara tersendiri untuk meredakannya. Nabi akan memijit hidungnya sambil berkata, “Wahai Uwaish bacalah doa,” pinta Nabi. Dan mujarab, karena setelah itu perlahan kemarahan Aisyah menghilang.
Dalam banyak hadis keakraban Nabi memang lebih banyak berkisah tatkala bersama Aisyah. Tapi tak hanya berdua, kadang juga dengan istri lain. Di antaranya dengan Saudah.
Waktu itu Nabi, Saudah, dan Aisyah sedang berkumpul. Mereka bercengkerama. Di tengah canda dan gurau itu Aisyah berinisiatif membuat kue. Namanya kue khazirah, makanan yang terbuat dari tepung dan susu.
Setelah kue buatannya siap, Aisyah menghidangkannya kepada Nabi dan Saudah. “Makanlah,” kata Aisyah menawarkan kue itu kepada Saudah. Namun Saudah menolaknya dengan halus. “Saya tidak suka makanan itu.”
Aisyah sebenarnya sudah tahu kalau Saudah tidak suka dengan kue khazirah itu, namun ia hendak menggodanya. Dengan pura-pura memaksa Aisyah meminta Saudah kembali untuk makan kue buatannya. “Demi Allah! Engkau makan kuenya atau aku olesi mukamu dengan khazirah ini.”
Karena memang tidak suka, Saudah tidak mau menuruti kemauan Aisyah. “Demi Allah! Saya tidak akan mencicipinya,” kata Saudah keukeuh. Karena gemas Aisyah mengambil sedikit kue khazirah yang ada di piring itu, kemudian mengoleskannya ke muka Saudah.
Meski menghindar muka Saudah tetap terkena kue itu sehingga belepotan. Nabi yang duduk di tengah antara Aisyah dan Saudah itu memberi isyarat kepada Saudah agar menuruti kemauan Aisyah. Namun, tiba-tiba sebelum Saudah mengikuti saran Nabi Aisyah telah mengambil kue khazirah itu lagi. Bukannya dioleskan ke muka Saudah tapi ke mukanya sendiri.
Terang saja muka Aisyah dan Saudah menjadi belepotan tidak karuan. Nabi pun tersenyum melihat itu. Sementara kedua istrinya tertawa terpingkal-pingkal.
tulisan ini sebelumnya dimuat di Syir’ah 57